Momentum

823 65 1
                                    

Author's note:

I would like to pay tribute for my aunt's expensive original Japanese Diesel watch given by her husband that is currently broken because of her toddler named Abyan (a.k.a my cousin). He threw it, and he didn't even say sorry. Just saying, but this Abyan has nothing to do with our charming Abyan, it's a pure coincidence. Our Abyan is actually named after my friend's special friend. 

Anyway, have a good day, readers.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Abyan melanjutkan kegiatan volunteering-nya. Dia masih tetap pulang jam delapan dan melanjutkan aksi overnurturing-nya pada Lana tanpa menyadari kalau Lana tahu tentang batas waktu enam jam itu. Mereka sering mengobrol pada waktu senggang Abyan, tapi tidak banyak yang terjadi setelah hari di mana Lana tersedak kue itu, kecuali satu: mereka sekali lagi berada di atap gedung B bersama seprai-seprai, tali dan penjepit jemuran.

Itu adalah lima hari setelah operasi Lana, tiga hari sebelum kepindahan Abyan. Lana sudah berjalan sendiri dengan rompi di punggungnya tanpa harus menyeret tiang infus kemana-mana. Tapi dia masih mengenakan pakaian pasien dan selop kelinci pink dari Rangga.

Siang itu, mendung menutupi terik sinar matahari. Langit berwarna abu-abu. Mbak Rini menyuruh Abyan mengambil seprai-seprai yang dijemur di atap. Lana sedang sekarat kebosanan di tempat tidurnya. Keluarganya sudah kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dia hanya mendapat kunjungan dari sore sampai pagi.

Menengok keluar jendela, Lana melihat lelaki bertopi oranye berlari kecil ke bagian resepsionis. Tukang pos datang hampir setiap hari ke rumah sakit, menyampaikan hadiah dari kerabat-kerabat pesakit yang terlalu sibuk untuk mampir menjenguk, surat-surat untuk dokter dan staf yang bekerja di sana. Lima menit kemudian, seorang perawat berjalan ke arah Lana dengan amplop coklat di tangannya. Di belakangnya, Abyan membawa kantong-kantong seprai kosong, menyeret kakinya yang beralaskan sandal jepit.

Abyan baru kembali dari musala rumah sakit. Kepalanya sedikit pening.

“Apa ini?” Lana bertanya pada perawat yang menyampaikan amplop cokelat itu, tapi matanya melirik pada Abyan yang mulai menghilang di balik tembok menuju tangga.

“Nggak tahu ya, kamu buka saja. Kamu kenal pengirimnya?”

Lana membalik amplop, melihat nama pengirimnya: Keira, teman sekelas Lana. Dia dan gerombolannya menjenguk Lana beberapa hari lalu, tapi dia tidak berkata apa-apa tentang kiriman ini. Saat Lana membuka amplopnya, dia melihat sebuah undangan ulang tahun yang mewah.

Ah, tentu saja. Keira. Tidak ada yang menghentikan gadis itu. Putri tunggal keluarga kaya. Ayahnya adalah CEO perusahaan terbesar di kota ini, ibunya pengacara terkenal yang selalu memenangkan klien-klien bersalah nan kaya raya dalam persidangan. Tak satu pun ulang tahunnya terlewat tanpa sebuah pesta.

Membawa undangan itu, Lana menaiki tangga ke atap.

Itu adalah pertama kalinya Lana menyaksikan Abyan versi malas. Kadang Abyan memang berjalan seperti orang malas yang benci sinar matahari, tapi yang Lana lihat sekarang adalah versi malas yang paling kronis.

Lana memergoki Abyan tiduran di meja rendah dekat tali-tali jemuran.

"Hei," Lana menyentuh lengan Abyan dengan ujung kaki kanannya.

Abyan sontak bangun dan tergagap. Dia jatuh dari meja rendah itu.

"Aduh..."

Memandang tampang berantakan Abyan, dia menjadi ragu dengan rencana awalnya kemari. Cowok itu tidak terlihat sehat. Dia memasukkan undangan dari Keira ke sakunya, kemudian mengambil dua kantong seprai yang masih kosong. 

"Eeh, jangan, jangan! Ini tugasku. Kamu balik aja ke ruanganmu," Abyan berusaha mengambil dua kantong itu dari tangan Lana, tapi Lana menghindar dari jangkauan tangan Abyan.

"Aku bosan. Kamu nggak senang dibantu?"

"Yaa nggak gitu juga... kamu kan masih sakit."

Lana tidak menghiraukan kata-kata Abyan. Dia mulai mengambil seprai dari tali jemuran, melipatnya, kemudian memasukkannya ke dalam kantong.

"Lan, jangan gitu dong. Aku bisa dimarahi Mama."

Lana tetap tidak menggubris.

"Lan, aku serius."

Lana menurunkan satu lagi seprai.

"Lan!"

Abyan mencengkeram tangan Lana. Lana menampiknya. Sekarang Abyan sadar Lana juga sedang serius.

"Kenapa sih kamu selalu overwhelming?"

"Overwhelming maksud kamu? Aku cuma melakukan tugasku sesuai aturan. Tugasku itu membantu dokter dan perawat supaya pasien cepat sembuh, bukan membuat pasien tambah sakit." 

"Hah. Mematuhi aturan. Volunteering tidak lebih dari enam jam juga aturan."

Abyan langsung terdiam. Bagaimana Lana tahu?

"Aku lihat papan shift dekat ruang loker karyawan." 

Abyan menundukkan kepala. Dia tidak tahu harus berkata apa. 

Lana menarik nafas dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya. "Aku suka kamu. Aku suka kamu sejak pertama kali pertemuan kita di halte. Aku suka--" Lana tidak bisa menahan ledakan udara di dadanya, ledakan udara yang naik ke kelenjar air matanya. Matanya bocor. Dua puluh senti di hadapannya, Abyan menatapnya dengan mata terbuka lebar. "Aku suka kamu, jadi tolong jangan lakukan ini. Jangan pulang jam delapan malam, jangan memaksa dirimu sendiri, jangan membuatku merasa bersalah." 

Abyan masih memandang gadis di depannya itu tak percaya. 

Apakah momentum ini nyata?

Apakah ini mimpi?

Apakah dia benar-benar sudah terbangun dari tidurnya tadi?

Apakah ini halusinasi karena sakit kepalanya?

Abyan merasakan dua-tiga titik hujan jatuh kepadanya. 

Lana menyedot hidung dan mengelap air mata di sudut kelopak matanya. Dia masih berdiri tegak menghadap Abyan meskipun seluruh tubuhnya merinding, tak percaya dia telah memuntahkan pengakuan itu. 

Abyan maju satu langkah, meletakkan tangan di bahu Lana. 

Seluruh tubuh Lana kian merinding tak dapat dikendalikan. 

"Sudah hujan. Kita harus cepat," kata Abyan. 

*****

Done. The shortest part ever. 

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang