Sekarang jam sepuluh malam, tetapi Abyan masih duduk di kursi depan mejanya seperti burung hantu. Jam biologisnya telah tereset belakangan ini. Bahkan menjadi volunteer di rumah sakit selama tujuh jam sehari tidak membuatnya lelah di malam hari. Kenyataannya, dia berada di rumah sakit selama sepuluh jam, lebih lama dari ibunya yang memang bekerja di sana.
Tidak ada banyak waktu mengobrol dengan Lana hari ini. Abyan sendiri ragu apakah keluarga Lana sempat mengobrol dengannya. Mereka menemani Lana tanpa jeda, tapi ketika Abyan berpapasan, tak satupun dari mereka berwajah cerah. Mereka khawatir dan lelah, sama seperti Abyan.
Lelah, tapi dia tidak bisa tidur.
When you feel so tired but you can't sleep... stuck in reverse...
Abyan langsung menekan tombol 'next' di window Winamp-nya. Sial, kenapa lagunya bisa pas sekali? Itu menyebalkan. Lagu Fix You itu memang bagus--yah, pada dasarnya semua lagu Coldplay itu bagus--tapi mendengarkan lagu yang memperdalam emosi pada saat-saat seperti ini hanya akan memperparah keadaan mentalnya.
Abyan telah mencari berbagai macam gangguan dari Youtube, Vine, bahkan 1cak, tapi pada ujungnya pikirannya tetap saja berputar dengan Lana sebagai axisnya.
Mamanya bilang, Lana masih dalam masa pemulihan pasca operasi. Tapi menurut Abyan, Lana belum memasuki fase pemulihan sama sekali. Dia masih pada fase 'berperang dengan kesakitan pasca operasi', yang kelihatannya sakit sekali. Beberapa kali Lana diberi injeksi penghilang rasa sakit, kemudian dia tidur. Saat dia terbangun, maka itu hanya untuk penawar rasa sakit yang lain.
Beberapa operasi, bagi beberapa orang, memang bisa sangat menyakitkan.
Jam enam pagi, Abyan terbangun. Kepalanya menubruk tumpukan buku, membuatnya jatuh dari meja. Tangannya bergerak sedikit, kemudian jatuhlah lembaran kertas, bolpoin, dan pensil. Dia berusaha menangkapnya, tapi gagal. Refleks bangun tidur sangatlah buruk. Dia ingin mengambilnya, tapi dia terlalu malas untuk membungkuk.
Abyan menyelipkan jarinya di balik kacamata, mengucek mata. Tertidur di meja dengan benda itu masih menempel di muka, dia benar-benar kacau. Lampu kamarnya masih mati seperti semalam, tapi dengan sedikit cahaya yang menembus jendela, dia bisa melihat kamar berantakannya cukup jelas.
Padahal empat hari lalu dia sudah membersihkannya, mengepak barang-barangnya dalam koper dan tas besar, siap pindah ke Medan. Tapi kemudian dia sadar, waktunya masih seminggu. Tidak ada gunanya menyimpan pakaian dan buku-bukunya, kecuali jika dia sudah memasuki H-1 penerbangan ke Medan.
Sementara dr. Mariana masih menyampo rambutnya, Abyan sudah mengayuh sepeda ke rumah sakit, sama seperti kemarin, hanya saja hari ini sedikit lebih siang. Sinar matahari sudah membanjiri seluruh jalan.
Rumput di taman dalam gedung B rumah sakit sudah selesai dipotong. Setelah memarkir sepedanya, Abyan langsung ke ruang ganti karyawan. Baru saja keluar dari ruang ganti, dia melihat Lana berjalan dengan seorang perawat. Tangan Abyan tertahan di gagang pintu yang setengah terbuka, dia mengamati punggung gadis itu.
Abyan tidak tahu Lana bisa jadi setinggi itu dengan punggung lurus.
“Heh,” Mas Bayu, seorang karyawan baru di rumah sakit hampir menabrak Abyan. “Ngelamun aja,” dia menepuk lengan Abyan, kemudian masuk untuk mengambil sesuatu di lokernya.
Dari ujung lorong yang lain, Mbak Rini berjalan menuju Abyan. Dia membawa setumpuk dokumen yang harus diserahkan ke dr. Ardian. Karena berpapasan dengan Abyan di tengah jalan, dia beruntung.
Kadang Abyan merasa seperti pesuruh. Dia ingin menyapa Lana, tapi Mbak Rini menghancurkan rencananya. Tapi dia menurut saja. Bayang-bayang Mama memberinya penjelasan tentang kode etik volunteer di rumah sakit kembali ke ingatannya. Mama berdiri dengan satu tangan di pinggang, satu tangan lainnya mengacungkan jari telunjuk. “Nomor satu, kamu harus mematuhi semua etika dan aturan rumah sakit. Nomor dua, kamu patuhi semua prosedur dan jangan sampai berbuat kesalahan. Nomor tiga, jangan ikut campur urusan yang bukan bidangmu, biarkan para profesional mengerjakan pekerjaan mereka, kamu hanya membantu mereka. Nomor empat, kamu lakukan apa yang Mama dan Mbak Rini katakan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Down My Spine
Fiksi RemajaLana adalah kutu buku cupu yang mengidap skoliosis. Dia merasa dikutuk. Tapi itu sebelum dia kenal dengan anak laki-laki dokternya. *cerita ini adalah tribute untuk teman saya dan semua orang dengan skoliosis*