Surgery

922 67 2
                                    

Keesokan harinya di malam hari, Lana bervideo call dengan Feliska dari tempat tidurnya. Aneh rasanya Skype dengan handphone, karena Lana biasanya menggunakan laptop. Tapi setidaknya, dia bisa berjalan-jalan sambil bervideo call. 

"Kapan operasinya?" tanya Feliska yang sedang mengeringkan rambut dengan hair blower. Mereka sudah terbiasa bervideo call sambil melakukan berbagai macam aktivitas. Karena efisiensi waktu sangat penting bagi Feliska, dia tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan bicara dengan sahabatnya, tapi dia juga tidak boleh membuang-buang waktu. 

"Besuk, jam sepuluh pagi." 

Feliska mengangguk-angguk, tapi yang dilihat Lana adalah kepala bergerak naik-turun diselimuti rambut beterbangan kesana kemari. Lana menahan tawa. "Keluargamu ada di rumah sakit sekarang?" Feliska bertanya sedikit kencang agar bisa mengalahkan deru hair blower-nya. 

"He-eh, tapi mereka lagi cari makan. Padahal aku pingin banget ikut mereka, tapi kata dr. Mariana aku harus istirahat."

Feliska mematikan hair blower. Sekarang dia mulai menyisir rambut. "Ya iyalah, kamu sih aneh-aneh. Masa habis pingsan, mau operasi, masih mau kelayapan malam-malam gini?"

"Yee kelayapan... emangnya aku kadal??"

"Mirip sih, haha..."

Pintu dibuka. Abyan masuk sambil membawa baki berisi sup, nasi, telur, dan susu. Sebenarnya sudah sejak tadi pagi Lana melihat Abyan memakai pakaian warna turquoise khas karyawan rumah sakit, tetap saja Lana ingin tertawa setiap kali melihatnya.

"Siapa tuh?" tanya Feliska.

Sementara Abyan menata desk tray, Lana berusaha menahan tawanya. Dia menghadapkan handphone-nya pada Abyan, menunjukkan pada Feliska orang yang dia tanyakan.

"Oh...." Feliska sempat terpana.

Abyan mengerutkan dahi. Dia menutup kamera dengan telapak tangannya.

"Hahaha... ini Feliska, sahabatku. Dia sekarang sekolah di Singapura," kata Lana pada Abyan. "Ini Abyan, kakak kelasku yang bolos sekolah untuk jadi volunteer di rumah sakit."

"Aku nggak bolos. Aku pindah sekolah," koreksi Abyan.

"Oh ya, pindah sekolah. Dia mau pindah ke Medan minggu depan," Lana membuat suara dan ekspresi senormal mungkin. "Say hi dong."

"Hai Abyan," Feliska melambai setelah melempar sisir dan merapikan rambutnya dengan tangan. Apa boleh buat? Dia sedang berkenalan dengan cowok ganteng.

"Hai," Abyan tersenyum singkat sebelum meninggalkan ruangan. "Aku balik ke sini sepuluh menit lagi, makanannya harus habis. Jangan main HP terus, kamu harus istirahat." 

"Siap." 

Setelah mendengar suara pintu ditutup, Feliska langsung berterus terang. "Sumpah, ganteng banget. Dia single, nggak?" 

Lana meringis. "Single, tapi jangan ya... aku udah suka duluan sama dia." 

"Yaah... kenapa sih tiap kali ada cowok ganteng selalu kamu duluan yang kenal?" 

"Hehe... mau gimana lagi? Takdirku sih. Tapi masa di Singapura nggak ada cowok ganteng?" 

"Ada sih. Banyak, malah. Tapi ngapain coba susah-susah cari beasiswa, jauh-jauh ke Singapura kalau akhirnya cari pacar? Bisa hancur semua nilaiku!" 

"Nah, gitu dong. Turun strata kamu kalau jauh-jauh ke sana cuma buat cari pacar." 

Lana mulai makan, sambil terus mengobrol dengan Feliska. Beberapa saat sebelum Abyan kembali untuk mengambil baki Lana, Feliska berkata dia harus log off dan belajar. 

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang