Savior

1.3K 85 4
                                    

Dokter Mariana sempat berkacak pinggang sebelum telapak tangan kanannya mengelap bagian hidung ke bawah, kemudian melepaskan napas berat yang telah tertahan lama di paru-paru. Di hadapannya adalah salah satu foto x-ray paling mengerikan yang pernah ia lihat, terjepit pada lampu LED persegi panjang. Dahinya membentuk kerutan-kerutan dalam, seperti kain kaku yang ditekuk-tekuk. Lima belas tahun karirnya di bagian ortopedi, dia telah menyaksikan tulang retak, tulang patah, dislokasi, bone fracture berkali-kali, tetapi dia tidak juga kebal melihat semua itu. Seumur hidupnya, dokter Mariana belum pernah mengalami kerusakan tulang, tetapi dia bisa merasakan rasa sakit semua pasiennya, seolah-olah dia memiliki sel syaraf di ujung jarinya, yang bisa menembus kulit pasien ke dalam sraraf di Havers system tulang pasiennya. 

"Tulangnya patah, Dok?" tanya wanita berusia lima puluhan yang duduk di kursi depan meja dokter. Wajahnya terlihat khawatir. Rambutnya telah beruban delapan puluh persen, kerutan-kerutan di wajahnya yang tidak wajar di usia lima lima puluhan membuat wanita itu terlihat sepuluh tahun lebih tua. Jari-jari keriputnya meremas rok batik lusuhnya. 

Dokter Mariana mengambil foto x-ray dari penjepit, mematikan lampu LED. Dengan wajah muram, dia berbalik menghadap wanita itu. Diletakkannya foto x-ray di meja, dia menatap wanita di hadapannya dengan prihatin. "Ini bukan patah lagi Bu, tapi sudah hancur." 

"Hancur?"

Dokter Mariana mengangguk. 

"Jadi anak saya tidak bisa berjalan lagi, Dok?" 

"Anak Ibu harus diamputasi." 

Air bening membasahi pelupuk mata sang ibu. 

"Maaf Ibu, tapi itu satu-satunya cara yang tersisa. Tulang-tulangnya sudah hancur, tidak bisa diperbaiki. Tapi kita masih bisa memasang kaki palsu, sehingga anak Ibu tetap bisa berjalan ketika keadaannya sudah mendukung." 

"Tapi dia tidak bisa lagi main basket," kata si ibu perih. 

Dokter Mariana hanya mengangguk pasrah. 

Selama beberapa detik selanjutnya, ruangan dokter Mariana sepi. Tak sepatah kata pun keluar dari keduanya. Seperempat jam lalu, ambulans datang membawa pemuda berkostum basket yang kaki kanannya berlumuran darah, bentuknya sudah tak karu-karuan. Ketika melihat pemuda itu dipindahkan ke labolatorium radiologi, dokter Mariana sudah menduga dia akan melihat bone fracture seperti ini. Dia juga melihat masa depan pemuda tinggi-sehat itu, yang tidak bisa lagi berlari men-dribble bola di lapangan basket. Rasa simpati itu semakin menguat ketika wali si pemuda, ibunya yang tua dan tertekan itu datang, bertanya apa yang terjadi dengan anak semata wayangnya. 

"Kalau biayanya bagaimana, Dokter? Jujur, saya bukan orang yang mampu." 

Lagi-lagi masalah biaya. Tipikal. Banyak orang menyembunyikan fakta bahwa kesehatan mereka terganggu, takut pergi ke rumah sakit karena biayanya tinggi. Bagi dokter Mariana, ini berlawanan dengan tugas dokter dan seluruh perangkat rumah sakit yang seharusnya menyembuhkan orang sakit. Tapi memang begitulah dunia, tidak ada yang gratis. Dulu dokter Mariana juga menderita karena mahalnya pendidikan untuk menjadi dokter. 

"Ibu bisa ke bagian Jamkesmas di gedung barat lantai satu, itu bisa diurus nanti. Yang penting sekarang kami menangani anak itu dulu," jawabnya.

Tiba-tiba ponsel di saku jas kiri dokter Mariana bergetar. "Permisi sebentar," dia melihat layar ponselnya. Dahinya berkerut. Tidak biasanya anak itu menelefon. Dia mengangkat telefon itu. 

"Halo?" 

Mata sang dokter membulat, tak bisa menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Seketika, dokter Mariana langsung bangkit dari kursinya, berkata cepat pada wanita di hadapannya, "Sebentar Bu, saya kembali lagi nanti." 

Down My SpineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang