So sowwyy for the long wait~
This chapter is dedicated to the one, who prepared such a beautiful cover for this story :
@sslhalee
Thank you dear <3
[moon]
Jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi, Jane masih mendengar suara dari kamar Jimin. Ia pun melangkah menuju kamar sang anak. Membuka pintu kamar yang memang tidak pernah terkunci.
Jane melongok dari balik pintu. Mengintip anaknya yang masih mengetuk-ngetukkan tongkat xylophone. “Jimin-ah … Kenapa belum tidur, Sayang?” Jane mendekati sang anak yang hanya menoleh sebentar.
Pipi Jimin menggembung. Tangannya masih sibuk menciptakan dentingan dari xylophone di hadapannya. Jane mengelus pelan pipi Jimin, lalu mengusap rambutnya juga. “Ayo tidur, Sayang. Sudah malam. Lihatlah itu. Bagian bawah mata Jimin sudah hitam loh. Nanti kau akan pusing jika tidak tidur.”
Jimin menggeleng. “Tidak mau tidur, Bu. Aku mau menunggu ayah pulang. Kenapa ayah lama sekali? Tadi pagi kan dia berjanji akan memberikan nilai pada gambarku sepulang kerja. Aku tidak mau tidur dulu sampai ayah memberi nilai pada gambarku, Bu.” gerutu Jimin. Jane menghela napas panjang. Matanya menangkap selembar kertas yang berisi gambar penuh warna, yang sudah Jimin buat.
Jane memahami perasaan Jimin. Akhir-akhir ini, Namjoon memang lebih sering pulang terlambat. Berangkat kerja lebih cepat. Jimin tidak sempat lagi bergelayutan dengan Namjoon. Tidak sempat mengadu atau melaporkan hari-harinya di sekolah pada sang ayah. Walaupun ada sang ibu yang siap menampung semua racauan Jimin, tapi bulan kecil itu tetap membutuhkan perhatian dari ayahnya.“Jimin-ah …” Jane memegang bahu Jimin. Membawa tubuh sang anak menuju kasur. Tanpa kata, Jane menggiring Jimin untuk berbaring. “Tidurlah, Sayang. Ayah akan pulang sebentar lagi. Ibu baru saja menelepon ayah dan dia bilang akan segera pulang. Pekerjaan kantornya sedang padat. Kau harus bersabar, ya?”
Jimin masih mengembukan napas kesal. Merengut sambil menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Jane tidak bisa membujuk Jimin jika sudah begini. Jimin akan tetap kesal sampai ia benar-benar lelah sendiri karena merajuk.
Jane pun menyimpan sedikit kesal pada Namjoon yang beberapa hari ini melupakan ritualnya sebagai ayah dari anak semata wayangnya itu. Namjoon melupakan usapan lembut sebelum tidur. Ia melupakan kecupan di puncak kepala Jimin sebelum berangkat sekolah. Selalu melihat ponselnya saat berada di meja makan. Yang mengantarkan Jimin ke sekolah adalah Jane, karena Namjoon tampak tergesa-gesa dalam beberapa pagi.
Hari libur menjadi harapan Jimin. Ia bangun lebih pagi. Sudah mandi dan sarapan. Ia sudah duduk rapi di depan televisi sambil memegang kertas gambarnya. Harapannya masih besar untuk mendapatkan perhatian sang ayah di hari libur begini. Kemungkinan besar, sang ayah mempunyai banyak waktu untuk dirinya.
“Ibu … ayah belum bangun juga?” Jimin bertanya setelah hampir setengah jam menonton televisi. Sang ibu menggeleng pelan. Tapi tidak sampai semenit, Namjoon sudah rapi dengan kemeja dan dasinya.
Jimin langsung beranjak dari sofa, tapi wajah cerianya berubah menjadi heran saat melihat penampilan sang ayah. “Ayah mau kemana?” tanyanya.“Tidak mengucapkan selamat pagi dulu pada Ayah?” tukas Namjoon sambil melemparkan senyum, tanpa menghampiri anaknya. Ia langsung duduk di meja makan. Menyeruput kopi dan menyendok bubur yang sudah disiapkan Jane. Namjoon membuka ponsel. Fokus pada layar ponselnya tanpa menoleh lagi pada siapapun. Jimin mendekati Namjoon.
“Ayah, hari ini kan libur? Bukannya ayah akan bermain denganku?”
Namjoon menelan buburnya, lalu menoleh pada Jimin. Sambil mengusap rambut Jimin, Namjoon berkata, “Maaf, Sayang. Ada yang harus Ayah selesaikan di kantor. Jadi, Ayah tidak bisa menemani Jimin hari ini. Bermainlah dengan Kak Kookie.” Namjoon kembali melanjutkan aktivitasnya. Melihat layar ponsel yang ia letakkan di atas meja dan mengabaikan dengusan kesal sang buah hati.