Ini yang rindu sama bulan.
[moon]
Jane mengernyitkan kening sebelum membuka mata. Kepalanya sedikit pusing setelah tadi malam tidur larut karena suami minta ditemani menyelesaikan tugas kantornya. Entah apa yang Namjoon pikirkan hingga ia masih saja meminta pendampingan Jane meski sudah seharian ditemani bekerja di rumah.
Jane melirik jam dinding. Matanya membelalak saat menyadari bahwa ternyata mereka bangun terlalu siang.
"Namjoon, bangun!" Jane menepuk pipi sang suami, lalu beranjak dari kasur dengan tergesa-gesa.
"Eng... Kenapa buru-buru sekali sih, sayang? Kan tidak ada yang berangkat ke sekolah atau kantor."
"Ini sudah siang, Namjoon. Sudah pukul sembilan pagi. Aku belum membuatkan susu untuk Jimin. Kau tahu kan dia akan merengek jika tidak dibuatkan susu sesuai jamnya."
Namjoon hanya mendengus, kemudian menarik selimutnya lagi. Tentu saja Jane melemparkan pukulan ke paha Namjoon. "Sudah kukatakan bangun sekarang, Namjoon!"
Tidak ada panggilan penuh kasih lagi jika Jane sudah berubah menjadi seorang 'ibu'.
"Aw! Iya, iya. Aku bangun. Tapi bisakah lima menit lagi?" pinta Namjoon manja.
"Jangan mengada-ada. Lima menitmu bisa jadi lima jam. Kau mandi sekarang karena setelah sarapan kita akan ke rumah Hoseok. Memangnya kau tidak mau bertemu dengan anggota baru keluarga kita?"
Namjoon mengembuskan napas. "Ah iya. Kau benar. Kita harus kesana. Baiklah, aku akan mandi. Tapi ..." Namjoon menatap Jane. Bibirnya ia kerucutkan. Memang ekspresi manja yang sama sekali tidak menggugah Jane.
"Apa lagi?" tanya Jane.
Namjoon menunjuk bibir dan pipinya. Jane memutar bola mata. Suaminya ini begitu manja dan ia harus menerima kenyataan itu. Jane mendekat pada Namjoon dan mengecup bibir, serta pipi suaminya. Singkat saja. Namjoon tersenyum puas karena mendapat apa yang ia inginkan.
Sementara itu, Jane melangkah menuju kamar Jimin. Memastikan apakah putranya sudah bangun atau belum. Dilihatnya Jimin tidak ada di kamar. Ternyata, Jimin sudah menyibukkan diri di dapur. Dengan menggunakan kursi, ia meraih susu yang ada di lemari di atas kompor. Kemudian, ia menyiapkan gelas sendiri. Mungkin ia sedikit kebingungan mencari air panas karena beberapa detik ia sempat terdiam sejenak. Tapi ia menemukan teko yang sudah berada di atas kompor dan ia mencoba menyalakan kompor. Sebelum itu terjadi, Jane buru-buru mengangkat tubuh mungil Jimin. Tentu saja Jane tidak akan membiarkan anaknya melakukan hal yang berbahaya.
"Anak Ibu yang tampan kenapa sudah sibuk di dapur sendirian?" Jane mengecup mata dan pipi Jimin mungil. Jimin terkekeh geli karena ciuman ibunya.
"Habisnya, Ibu lama sekali bangunnya. Aku mau minum susu." Rengek Jimin.
"Kan bisa panggil Ibu di kamar. Kenapa tidak panggil Ibu saja?"
"Jimin mau coba membuat susu sendiri. Biar tidak usah repotkan Ibu lagi. Jimin kan sudah besar, Bu."
Jane mengernyitnya hidungnya. Gemas sekali melihat bulannya yang tidak habis kepolosannya.
Keluarga Kim itu memulai sarapan mereka. Jimin melahap roti lapis berisi telur, tomat dan mayonais.
"Ayah, kenapa Ayah tidak makan tomat?" tanya Jimin sambil menunjuk roti sang ayah yang hanya berisi telur dan mayonais.
"Ayah tidak suka tomat."
"Tapi kan ibu bilang tomat kan menyehatkan. Iya kan, Bu?"
Jane hanya menggumam sambil menyiapkan satu telur lagi untuk dirinya sendiri.
Jimin mengeluarkan satu tomat dari rotinya. Sudah terbalut mayonais tapi dengan santai ia memegangnya, lalu menyodorkannya ke Namjoon.
Namjoon terkekeh sekaligus bingung melihat yang dilakukan putranya itu.
"Ini, aku berikan punyaku. Ayah harus coba. Tomat kan enak. Ini enak, Ayah. Aku bisa jamin." Jimin meyakinkan sang ayah.
"Makan, Ayah. Ayo dimakan. Kita makan bersama. Aku akan menggigit rotiku bersamaan dengan Ayah yang menggigit tomatnya."
Namjoon mengernyit ragu. Jika ia tidak menuruti apa yang anaknya katakan, ia khawatir Jimin tidak akan menghabiskan makanannya. Akhirnya, Namjoon membuka mulut, bersiap memasukkan tomat itu ke dalam mulutnya saat Jane datang dan menahan tangan Namjoon.
"Jangan coba-coba memasukkan tomat itu ke mulutmu." Ujar Jane dengan suara setenang air. Namjoon mengembuskan napas lega karena diselamatkan oleh sang istri.
Jane duduk di samping Jimin dan mengusap wajah anaknya yang tampak bingung.
"Jimin-ah, ayah tidak bisa makan tomat. Kalau Ayah makan tomat, nanti kulit Ayah akan memerah. Akan muncul ruam-ruam yang membuat Ayah jadi jelek sekali. Jimin mau Ayah jadi jelek?"
Jimin membulatkan matanya. Memandangi Jane dan Namjoon bergantian. "Ayah tidak bisa makan tomat? Kalau Ayah makan tomat, Ayah tidak akan tampan lagi ya?"
Jane terkikik mendengar kesimpulan sang bulan. Ingin sekali menggigit pipi gembul itu. Akhirnya Jane mengecupi pipi Jimin yang menggemaskan. "Iya, sayang. Nanti Ayah tidak jadi tampan lagi. Makanya, Ayah tidak boleh makan tomat. Jimin mengerti kan sekarang?"
"Maafkan Jimin, Ayah." Jimin berubah menjadi murung. Merasa bersalah karena sudah memberikan tomat. Namjoon beranjak dari kursinya, mendekat pada Jimin dan mengangkat putranya. Ia juga tidak mau melewatkan pagi tanpa mengecup wajah menggemaskan sang anak.
Jimin berhasil terkikik geli karena Ayahnya mengecup pipi, leher dan juga perutnya. "Ayah! Geli! Hihi."
"Tidak apa-apa, sayang. Ayah tidak marah pada Jimin."
Jimin mengeratkan pelukannya pada sang ayah. Ia menyenderkan kepalanya di bahu Namjoon, membuat hati Namjoon menjadi tenang sekali. Rasanya sungguh menenangkan ketika bisa merasakan degup jantung putranya.
"Ayah, jangan jadi jelek ya. Jadi tampan saja."
Sejenak, Jane maupun Namjoon terdiam mendengar pernyataan itu. Lalu, keduanya tergelak saat menyadari maksud Jimin.
Namjoon dan Jane menyadari sekali lagi bahwa anugerah paling indah yang Tuhan berikan pada mereka adalah kehadiran Jimin. Kehadiran sang bulan yang selalu menerangi hidup mereka.
[moon]
Penggalan kisah hari-hari keluarga Kim. Keluarga yang lain menyusul ya.
Nanti kita nikmati kelucuan si bulan lagi ya.
Love
Wella
060420