Bagian satu : Awal Mula

1.5K 83 34
                                    


Kenyataannya buah bibir dari orang-orang tentang Masa putih abu ialah masa remaja sebenarnya itu benar. Karena aku mengalaminya sendiri. Dimana setiap manusia yang mengalaminya, sebagian besar merasakan perubahan emosi yang signifikan. Dari kekanak-kanakan menjadi pendawasaan diri. Dari memikirkan diri sendiri menjadi perduli.

Bagaimana aku memiliki sahabat yang selalu ada untukku, menghibur, mendengar, memberi pelukan dikala sedih sedang melandaku. Bagaimana masalah datang dan membuatku kadang lebih dewasa atau bahkan menjadi lebih egois. Bagaimana kelabilan seorang remaja yang beranjak dewasa. Dan bagaimana aku bisa merasakan ketertarikan pada seorang laki-laki.

Ah! Yang terakhir aku bahkan tak sadar kapan mulai mengalaminya. Yang aku ingat saat itu aku sadar jika ada rasa tertarik pada laki-laki kelas sebelah. Hanya tertarik saja, untuk saat itu.

Bahkan aku tak ingat atau memang tak tau ada laki-laki berperawakan sedikit lebih tinggi dan putih dari remaja biasanya, dia tampan dan sopan. Poin terakhir yang menambah ketertarikanku padanya ialah tutur katanya yang lembut tak perduli itu sesama lelaki atau lawan jenis.

Aku tak tahu dia hidup satu nama Sekolah, satu angkatan bahkan satu jurusan sama. Pada saat Masa Orientasi Sekolahpun aku tak melihat batang hidungnya atau memang aku yang terlalu acuh. Karena memang pada dasarnya aku hanya siswi biasa, bukan seorang yang masuk Sekolah Kejuruan favorit ini lewat beasiswa atau prestasi yang menonjol.

Sumpah! Saat itu aku benar-benar lupa kapan pertemuan pertama kami. Yang aku ingat adalah saat teman-teman sekelasku menyuarakan namanya dengan teriak-teriak tanpa tahu malu. Kelas kami yang berhadapan dengan kelasnya, meskipun terpisah dengan keberadaan lapang sekolah dan berada di lantai 2.

Dia sering berdiam di luar kelas, duduk di kursi lorong depan kelasnya. Entah untuk sekedar mengobrol dengan teman kelasnya, memperhatikan keadaan lapang atau bahkan memang sengaja berdiam di luar kelas untuk mengisi waktu di jam kosong.

Saat itu kelas kami sama-sama memiliki jam kosong, aku tak tahu dia akan melewati kelasku hanya untuk pergi ke toilet. Padahal toilet dibawahpun ada dan lebih dekat. Karena memang kelasnya berada dekat tangga hanya tersekat oleh satu kelas. Sekolah kami memiliki bagian depan dan belakang, jurusan kami memang selalu dapat di bagian belakang, lantai 2 berbentuk letter U karena Laboratorium dibangun dengan desain satu lantai. Sehingga jika ingin pergi ke toilet Mushola harus memutar melewati jajaran kelas dua belas jurusan kami lalu melewati jajaran kelasku.

Aku berniat membuang sampah yang letaknya diluar. Aku tidak tahu dia sedang berjalan menuju koridor kelasku, tahu-tahu saat berbalik ke belakang akan masuk kelas ia melewati beserta teman-temannya. Hanya melewati, tanpa melihat.

Hingga pada saat itu aku sadar, meski hanya sekilas melihat wajahnya tapi itu menyiksaku. Karena pada hari-hari berikutnya antara sadar dan tidak, aku selalu memperhatikannya dalam diam. Merekam setiap kegiatannya dan menyimpannya dalam memori.

Aku hanya tau nama panggilannya lewat teman-teman kelasku yang sejak awal tak tahu malu. Tak pernah berani mengikuti teman kelasku yang selalu meneriakan namanya atau menyapanya. Aku hanya tahu nama panggilannya, Bagja.

Namanya Bagja.

Bagja.

📎📎📎📎📎

Hari itu entah hari Selasa atau Rabu. Beberapa bulan setelah Masa Orientasi selesai dan aku masih selalu memperhatikannya dalam diam. Hari itu aku baru tahu nama aslinya dari temanku. Parah memang! Untuk beberapa bulan aku memperhatikannya baru hari itu aku tahu nama aslinya.

Saat itu kelas sedang tidak ada guru. Di koridor tidak ada siapa-siapa kecuali Putri, teman kelasku yang duduk di bangku terdepan jajaran dekat pintu tepat sebelah jajaranku. Aku tak berniat menanyainya, tapi karena bosan aku duduk hanya untuk melihat kondisi lapangan dibawah sana. Ada kakak kelas yang sedang berolahraga dan kelas sepuluh dari jurusan lain.

Aku duduk begitu tahu Putri duduk di sebelahku. Sempat diam beberapa saat sampai aku menanyakan kepadanya. “Putri, Bagja ... nama aslinya apa? Kok belakangan ini dia disebut Aja.”

Memang, belakang ini banyak yang menyapanya dengan sebutan Aja. Tapi aku tak tahu kenapa. “Bagja Abdallah As-Sidik, memang itu panggilannya dari dahulu katanya.” Aku hanya mengangguk.

“Kenapa? Suka? Dia memang ganteng sih.”

“Dia memang ganteng, tapi aku engga suka.” Hanya tertarik. Kemudian hal itu berlanjut sampai menginjak akhir semester satu. Dimana aku masih selalu memperhatikannya dalam diam tanpa mencari tahu tentang dia. Meski aku tahu ia memiliki akun media sosial

—————
Publikasi : 25 Mei 2019

Revisi : 30 Januari 2020

- Arrif -
—————

Menemukan Cinta Allah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang