Bagian Sebelas : Nikmat Tiada Tara

221 19 0
                                    


Oktober, masa akhir kisah.

“Anak-anak, seperti yang bapak bilang pada pertemuan kemarin ... Ujian Praktek Sekolah mata pelajaran bapak akan dimulai dipertemuan selanjutnya sampai akhir Maret nanti. Ingat, menyicil lebih baik dari sekarang. Hafalan kalian 2 juz terakhir di Al-Qur'an dan do'a sehari-harinya lima puluh do'a ya.”

Helaan napas terdengar serentak di dalam kelas tersebut. Diingatkan kepada masa-masa Ujian rasanya membuat kepala pecah. Meskipun ada keringanan, tetapi tetap saja hafalan 2 juz Al-Qur'an dan 50 do'a sehari-hari bukanlah hal yang mudah untuk dihafal bagi sebagian orang.

Furqon—guru Pendidikan Agama Islam itu tersenyum, aura kewibawaan dan ketegasannya selalu menguar begitu saja tanpa mengurangi keramahan kepada anak didiknya. “Sudah-sudah, kan kemarin bapak bilang kenapa dicicil dari minggu depan agar kalian lebih mudah menjalani bulan-bulan Ujian. Jangan lupa, akan ada hadiah atas kerja keras kalian bagi dua puluh orang pertama satu angkatan yang menyelesaikan hafalannya.”

“Apa hadiahnya?”

“Hadiahnya apa pak?”

Dan berbagai pertanyaan lainnya pasal hadiah. “Rahasia. Juga jangan dilihat dari seberapa besar hadiah itu, lihatnya akan pahala dan kerja keras kalian. Paham?” Furqon tersenyum, melihat para anak didiknya.

“Paham!” Furqon masih tak luput tersenyum, “ya sudah sekarang kalian mulai menghafal ya sampai jam pelajaran bapak selesai. Assalamu'alaikum.” Begitu selesai menjawab salam, kelas seketika menjadi ramai sibuk membicarakan hal-hal yang menyangkut Ujian Praktek mata pelajaran pak Furqon itu.

Respon dengan hal berbeda diberikan oleh seseorang yang menduduk bangku kedua jajaran kedua juga, siapa lagi jika bukan Ari. Ia segera keluar dengan earphone setianya. Nisa menghela napas, lalu menengokan kepalanya sekilas kepada Bila. Sebuah kode bahwa mereka harus menyusul Ari, Bila sendiri menyadari jika kelas memang begitu berisik saat ini.

Ketika seperti ini Ari takkan jauh dari koridor depan kelasnya, menyandar pada dinding pondasi lalu memutar apa yang ada pada ponselnya cukup keras seperti yang Bila dan Nisa lihat saat ini. Entahlah, Nisa pikir semakin beranjaknya waktu ia semakin menyadari bahwa Ari semakin menjadi. Banyak yang terjadi setelah mereka menginjak bangku kelas akhir di Sekolah ini yang juga semakin mempengaruhi Ari untuk menutup diri.

“Ri,” usap Bila lembut, “shalat dhuha yuk!” Bila memperlihatkan mukena mereka yang tadi ia bawa. Ari hanya mengangguk, lalu berjalan beriringan menuju Mushola. “Soal hafalan, hafalan mu sudah lebih dari target Ujian Praktekkan? Jadi, mungkin kamu tinggal menambah hafalan do'a.” tanya Bila yang hanya dijawab anggukan oleh Ari.

“Berapa? 7? Eh 8 juz ya? Hafalan do'a mu juga aku yakin sudah lebih dari itu.”
“9, satu halaman lagi,” gumaman Ari cukup membuat pertanyaan mereka. Ari mungkin akan menjadi yang pertama di kelasnya. Namun, Nisa tidak yakin Ari akan puas. Ia tahu bagaimana berusahanya Ari menambah hafalannya itu. “Kapan setor?” Ari hanya mengendik bahu lalu pergi ke tempat wudhu.

📎📎📎📎📎

Ramainya suasana kelas tak terbantahkan. Seminggu berlalu, waktunya memulai penyicilan Ujian Praktek hafalan. Setiap siswa harus membuka kuncinya terlebih dahulu. Surat Al-Mulk untuk juz 29, Surat An-Naba untuk juz 30 dan do'a Tahajud untuk hafalan do'a sehari-hari.

Pak Furqon memberi waktu untuk mepersiapkan diri, bagaimana metode menghafalnya tidak beliau larang, asal tidak mengganggu teman-temannya. “Oke, siapa yang mau pertama?” kelas hening seketika, tidak ada yang mengacungkan diri.

Ari hanya memejamkan matanya, menyender pada kursinya sambil mendengarkan murotal juz yang akan diujiankan. Furqon terkekeh, “lalu siapa yang menurut kalian sudah hafal sebagian atau kuncinya?”

Menemukan Cinta Allah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang