Bagian Sembilan : Kesia-siaan

215 18 0
                                    


Masa Ulangan Akhir Semester.

Masa itu sudah terlewat beberapa hari yang lalu. Sekolah tengah mempersiapkan acara untuk kenaikan kelas, sekaligus perpisahan dengan kelas 12. Panitia tengah sibuk hilir mudik mempersiapkan semuanya. Acaranya—Prom Specta akan diadakan satu minggu lagi.

Tak luput siswa-siswa lain pula ingin unjuk bakat mereka, ikut memeriahkan acaranya. Entah bermain musik, vokal, menari atau yang lainnya. Penampilan terbaik tengah disiapkan, termasuk kelasnya. Ikut menampilkan dua tampilan berbeda, band yang vokalnya diisi oleh Nita yang bersuara bagus juga unik dan dance.

Mengingat kata dance, membuat dirinya menghela napas. “Ari tolong tutup pintunya!” Ari menutup pintu dari luar, lalu kembali duduk bersender dikursi koridor. Dance dari kelasnya akan dibawakan oleh Indah, Nur, Bila, Nisa, Fadilah, Dani dan Gada. Semuanya teman dekat Ari, hanya Gada yang sekadar Ari kenal satu kelas. Tak ada kedekatan apapun, ia lebih dekat dengan Gada akhir-akhir ini mungkin karena Gada menggantikan posisinya.

Iya, Ari sempat ikut andil karena ia juga menyukai musik yang akan dibawakan mereka. Namun sehari ia mengikuti latihan, hatinya kembali bergerak gelisah sangat tak karuan. Kata 'salah' terus terngiang dikepalanya menggangu sampai ia tak bisa tidur, selain karena memang abinya yang tak akan setuju seratus persen hatinya juga berkata ia tak pantas melakukan seperti ini.

Istigfar terus ia panjatkan, salahnya yang terlalu terbuai. Memang bukan ia yang mengajukan diri, Nisa merekomendasikan kepada Indah yang notabenenya adalah ide dari semua ini juga koordinatornya karena ia dan Nisa memiliki satu kesamaan penyuka musik yang memang musiknya akan dibawakan dance nantinya.

Sampai keesokan harinya ia memutuskan undur diri terlebih dahulu, sebelum terlalu jauh. Kemudian Gada datang, menawarkan diri. Ia bahkan baru tahu, Gada juga menyukai musik yang sama dengannya dan Nisa. Yang sekarang Ari bisa lakukan hanya menunggu mereka, sayangnya hari ini ia tak bawa novel. Nisa yang memang energik pasti semangat dan Bila, ia tak sangka Bila juga akan ikut memeriahkan acara sekolah ini.

“Hey, you fine?”

“Aku baik-baik saja Nis, nanti juga aku bisa membantu kaliankan? Jadi apa yang harus dikhawatirkan?”

“Hatimu yang perlu dikhawatirkan, jangan terlalu menekan diri Ri. Semuanya juga membutuhkan proses.”

Ari tersenyum kecut, “Sudahlah sekarang kembali latihan, tinggalkan headsetmu disini.” Nisa hanya menghela napas, ia menepuk pundak Ari lalu mengusapnya. Menutup pintu kembali, melanjutkan berlatih. Ari menghela napas, ia menutup matanya ketika alunan irama terdengar ditelinganya. Tanpa ia sadar kalau ada yang melintas dihadapannya meliriknya secara sekilas. Yang ia inginkan sekarang ialah ketenangan, syukur alhamdulillah sedikitnya ia lebih tenang dengan alunan dari ponselnya yang sekarang sudah tujuh puluh persen terisi dengan shalawat dan murotal.

📎📎📎📎📎

Hari acara Prom Specta akhirnya tiba, tepat didepan mata. Beruntung Ari diminta untuk membantu persiapan teman-temannya, jadi ia bisa ikut ke dalam ruangan yang sudah dipersiapkan panitia. Semua siswa-siswi yang tidak menampilkan sesuatu harus menonton dilapangan tanpa ada yang ke kelas.

Sedikitnya Ari senang bisa berada di dalam kelas, bukan berarti ia takut kepanasan atau apalah itu. Hanya saja dalam satu lapangan ada dua ribu siswa lebih dan dapat terbayang bagaiman pusingnya Ari, telinganya akan pengang tanpa bisa berhenti dan pasti ia akan mudah marah. Sebesar itu memang Ari tidak menyukai keramaian.

Akhirnya teman-temannya sukses menampilkan dengan hasil tepuk tangan yang meriah, banyak Ari dengar kaguman dari kakak kelas atau adik kelasnya. Ari buru-buru masuk ke ruangan kembali setelah mereka selesai tampil, teman-temannya tengah melaksanakan pemotretan untuk diunggah di media sosial. Tanpa Ari tahu, ada seseorang yang melihatnya jalan begitu terburu-buru. Iya, dia orang yang sama saat melewati Ari yang sedang memejamkan mata saat di depan kelasnya itu.

Waktunya ishoma telah tiba, Ari yang memang sebelumnya menempati mushola terlebih dahulu agar mudah shalat telah melaksanakannya. Niatnya setelah shalat ia akan pulang bersama Bila, karena keduanya memiliki kesamaan. Tak ingin berlama-lama diacara seperti ini, sekalipun artis yang diundang pihak sekolah artis ternama. Hanya saja harapannya harus pupus, panitia tidak memperbolehkannya pulang. Bibirnya semakin ia tipiskan, mengingat kekesalannya hari ini.  “Gimana dong Ri?”

“Ruangan,” ucapnya dingin, Bila yang tahu Ari tengah menahan kesal mengelus pundaknya lalu menggandengnya menuju ruangan. Bila merilik sekilas saat ia berpapasan dengan seseorang, biasanya ia akan mengatakan kepada Ari. Namun mengingat kondisi Ari tengah seperti ini, lebih baik ia urungkan. Dan memutus kontak mata dengan dia—Bagja dan temannya.

📎📎📎📎📎

“Dari mana saja kamu? Acara sekolah kenapa bisa sampai sesore ini?”

Tepat setelah mengucapkan salam, Ari diberi berbagai pertanyaan yang begitu tegas. Ia menghela napas, sudah tertebak hal ini akan terjadi kepadanya. “Afwan abi, tadi selepas dzuhur teteh sudah akan pulang, namun panitia tak membuka gerbang barang sedikitpun.”

“Lain kali jangan seperti itu lagi teh, semua itu hanya kesia-siaan belaka. Kalau bisa menghindar kenapa tidak? Kalau bisa menghentikan kenapa tidak? Kamu harus lebih bisa mengontrol nafsumu.”

Ari mengangguk, lalu pamit pergi ke kamarnya. Di kamar ia berbaring, memijat pangkal hidungnya sesekali menghela napas. Rasa kesal melandanya setiap kali abinya selalu berhasil menasehati Ari pada titik tumpu yang sangat tepat.

Kalau bisa, Ari sudah hentikan ini sejak awal abi. Namun nyatanya tak bisa. Batinnya selalu berkata seperti itu. Setiap hari ia selalu berusaha, namun setiap hari juga ia selalu seperti ini. Ia tahu, tidak akan ada proses yang berhasil dalam satu kedipan mata. Namun, ia selalu berfikir akan sampai kapan ia seperti ini. Entahlah ia pula tak tahu waktu itu kapan datangnya. Yang ia bisa sekarang hanya mencoba terus mencoba, meski ia tahu yang ada di dalam hatinya terus kian membara tanpa bisa ia cegah.

Perkataan abinya memang tak menyentak, namun lebih dari sentakan ia lebih segan kepada ketegasan abinya. Meski sejak kecil Ari selalu bersama abinya, ia tetap tak bisa seenaknya kepada ayahnya. Tidak seperti anak lain yang dengan mudah memeluk ayahnya, Ari tak bisa seperti itu. Entahlah, ia sangat segan dan menghormati ayahnya itu. Ketegasan aura, perintah, juga apa yang ada terhadap abinya itu membuatnya kecil.

Ari kembali memijit pangkal hidungnya, menetralkan hatinya yang sejak di Sekolah sudah dirundung rasa kesal. Bahkan ia baru menyadari bahwa Bila sedikit takut terhadap emosinya tadi siang. Astagfirullah, ampuni Ari ya Allah. Ia harus meminta maaf kepada Bila setelah ini. Kemudian Ari bergegas ke kamar mandi, mendinginkan emosinya lebih baik dari pada terus dipikirkan seperti ini yang hanya membuatnya tambah pusing saja.

Astagfirullah ya Allah ampuni Ari.

—————
Publikasi : 27 Juli 2019
Revisi : 30 Januari 2020

- Arrif -
—————

Menemukan Cinta Allah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang