Akhirnya titik puncak dari perjalanan masa putih abu-abu kini tiba. Tepat didepan mata, menguji setiap manusia untuk tetap berlaku jujur. Menggunakan otak dan hati nurani atau menggunakan hasil dari kebohongan.Ujian Nasional, tepat hari terakhir. Akhirnya mereka dapat menyelesaikan masa putih abu dengan banyak lika-liku. Ari dan teman-temanya sedang berada di Rumah Bila, berkumpul bersama setelah beberapa bulan otak mereka terkuras. Di Rumahnya hanya tinggal dengan Ibu dan Neneknya.
Ayah yang sudah berpisah alam tak membuat Bila menyela kehidupan dan takdirnya. Bila termasuk anak yang terkenal di Sekolah karena tutur katanya yang lembut, anak polos dan cantik tapi itu tak membuat Bila besar kepala. Maka dari itu Bila banyak memiliki teman dan sahabat. Hubungan persahabatan yang dilindungi dasar kepercayaan, tak perduli dari latar belakang yang mana, asal mereka tetap membawa kebaikan itulah hal terpenting.
Tak ada nama gerombolan khusus bagi persahabatan mereka. Jika di dalam persahabatan mereka ada Ari yang dingin, maka ada Indah yang supel. Ada Bila, Senja dan Febri yang polos. Fadillah, Tina, Nur, Indah yang banyak bicara juga Yuli, Putri dan Sri yang bijak. Tak lupa Dani dan Revan yang menjadi penengah mereka. Ah! Dan Nisa sebagai pawang Ari. Ari melihat sekelililing, mereka tengah fokus pada pembicaraan yang entah topiknya apa. Ari tersenyum, setidaknya ia bersyukur diberikan sahabat seperti mereka. Mengerti tanpa banyak bertanya, menjadi alarm hidup yang tidak ada duanya yang selalu mengingatkan kepada kebaikan dan menjaga.
Revan dan Dani sendiri dapat dipercaya, menjaga sentuhan dan pandangan pada Ari dan Bila yang alhamdulillah sudah dapat membatasi diri dari lawan jenis. Ari dan Bila tidak memaksa untuk seperti mereka atau harus lebih baik. Yang terpenting sudah diingatkan, karena memaksa sesuatu tak akan berujung dengan hal baik.
Ari keluar, membawa kucing peliharaan Bila yang tidak hanya satu. Ia menghela napas, setelah mengikuti Ujian Nasionalpun pikirannya masih belum terbebas. “Ri,” sebuah usapan pada pundaknya membuat Ari mendongak, pelakunya sendiri Bila. “Masih mikirin kata Putri di Sekolah tadi?” Ari hanya mengangguk.
“Ari ikut Kantin yuk!”
“Nisa?”
“Ke Foodcourt sama yang lain.”
Ari beranjak dari duduknya, menghampiri Bila dan Putri. Teman-temannya yang lain sedang ke Foodcourt di depan Sekolah mereka. Membeli makanan dan minuman untuk di rumah Bila nanti. Memang rencananya mereka akan berkumpul setelah beberapa bulan ini otak mereka terkuras.
“Ri,” Ari menoleh kepada Putri. “Ntar deh pesen dulu, trus duduk.” Ari hanya mengangguk, ketiga remaja itu lalu duduk setelah memesan makanan mereka. “Kemarin aku kumpul sama temen-temen kelas sebelah, ada Bagja juga.”
Ari dan Bila menengok Putri secara bersamaan. Raut wajah bingung terpatri dengan jelas, memang Putri adalah orang yang supel. Dikenal banyak orang pula di Sekolah apalagi kelas sebelah, kelasnya Bagja. “Aku tanya Bagja, dia tahu kamu engga ..., trus dia jawab 'iya'.”
“Lalu?”
“Aku tanya dari mana dia tahu, dia jawab 'dia tahu kamu selalu memperhatikannya', dia juga laki-laki yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar, tidak seperti kamu.”
Ari mendengus, ia yakin kalimat terakhir bukan dari Bagja sendiri tapi Putri memang berniat meledeknya. Sedikit besarnya pula Ari terkejut mendengar jawaban yang Putri katakan. “Lanjutkan Put, aku penasaran,” sepertinya yang semangat disini buka Ari tapi Bila. Ia memang sudah gemas melihat Ari yang terus seperti itu selama tiga tahun. Melupakan tidak tapi memendam malah semakin dalam.
“Aku tanya dia, 'dia tidak akan pacaran, tidak akan pernah mendatangimu, tapi kalau dia jodoh kamu gimana Ja?' Tau Bagja jawab apa Ri?”
“Apa?”
“Ya tidak apa-apa, aku lihat dia juga seperti wanita baik-baik, kalau tebakanku benar ia tak menyukai kebisingan, agamanya juga bagus, kenapa harus khawatir?”
Tubuh Ari sontak menengang, wajahnya meminta penjelasan apakah yang didengarnya ini benar atau tidak. Kembali, yang ada pada dirinya berdetak begitu kencang. “Lalu?” tanyanya pelan.
“Aku tanya dia lagi, 'kalau kamu tahu kenapa tidak mendekatinya?' Bagja menjawab sesuatu yang tidak aku duga Ri ..., kita semua tahu ia punya pacar namanya Ira yang sekarang mungkin wanita keempat selama ia bersekolah di sini.”
Putri kemudian menggeleng takjub, kemudian berusaha menirukan intonasi laki-laki itu. “Katamu dia wanita baik-baik Put, lalu untuk apa aku merusaknya dengan mengajaknya pacaran, aku tahu agama Put, meski sering berganti wanita tapi aku melihat seperti apa wanita itu. Tidak mungkin aku mengajak dia dan membuatnya lebih berdosa. Jika memang nanti berjodoh, kita akan dipertemukan kembali oleh Allah.”
Dibawah meja, kedua tangan Ari saling meremas. Mengurangi rasa yang saat ini membuncah bergelora. Ari tersenyum tipis, “sudah ya Put, jangan membicarakannya lagi,” ujar Ari setelah lama berdiam diri. “Terimakasih sudah memberitahu dan menanyakannya.”
Ari lalu pergi ke Kelasnya meninggalkan mereka berdua yang saling pandang dengan pesanan mereka yang sudah berada di meja. “Biarin aja Put, ntar jadi macan kalau diganggu,” Putri terkekeh lalu mengajak Bila menyusul Ari.
Ari menghela napas, “sebisa mungkin aku sudah menghilangkan rasa ini Bil ... tersiksa selama tiga tahun bukan hal yang mudah dan sebentar, entah seberapa banyak dosaku yang selalu memandangnya.” Bila tersenyum, mengusap tangan Ari. Ia tahu Ari selalu berperang dengan batinnya. Pada sisi lain Ari selalu marah karena tak bisa menjaga pandangannya dari Bagja yang padahal ia bisa menjaga terhadap laki-laki lain. Sisi lain lagi ia merasa senang karena melihat Bagja ia bagai melihat dunia luar. Mungkin Bila tak tahu seperti apa detailnya, hanya saja itu yang selama ini Bila lihat.
Berteman dengan Ari bukanlah hal yang mudah, Bila pula awalnya memang sulit memahami Ari. Namun begitu ia lebih dekat dan ada Nisa yang selalu diam-diam menjelaskan kepadanya, ia jadi sedikit lebih memahami Ari. Ari menghela napas, lalu mengajak Bila kembali ke dalam.
Ari sangat ingin melupakannya, ia tak pantas seperti ini. Seharusnya ia dapat menjaga hati dan pandangannya. Ia selalu marah kepada dirinya sendiri yang tak bisa mengontrol pikiran dan hatinya tentang laki-laki itu. Tersiksa dan perasaan senang ia simpan selama tiga tahun. Itu bukanlah hal yang sebentar dan mudah baginya. Apalagi ia telah menerima kesakitan saat melepas penanya. Terhitung hampir satu tahun ia melepas Dhuha, laki-laki baik yang menghargainya. Apalagi Ari merasa bersalah karena Dhuha sudah terlanjur nyaman—katanya, padahal Ari tahu Dhuha sama sepertinya, sulit berinteraksi dengan orang baru.
Namun diam-diam Ari masih selalu memikirkannya. Diam-diam tanpa sadar selalu memimpikannya. Tanpa sadar, sampai ia sejauh ini. Bahkan perkataan Putri terus terngiang dikepalanya tanpa bisa dihilangkan. Membayangkan bagaimana laki-laki itu berbicara seperti yang Putri katakan.
Namun kembali lagi, tak lama setelah itu ia akan merasa kesal, marah dan sedih. Batinnya terus berperang seperti itu tiap harinya, setiap memikirkannya. Bahkan sampai menganggu konsentrasi hafalannya. Kesal, sedih, marah, senang, semua perasaanya tercampur aduk. Namun kembali, ego dan nafsunya begitu susah dijinakan. Ia kembali selalu kalah dengan ego dan nafsunya.
Ari menghela napas, diam-diam Ari mengamini perkataan Putri soal Bagja. Jika memang nanti berjodoh, kita akan dipertemukan kembali oleh Allah. Meski ia tahu, itu adalah pengharapannya yang sangat tidak rasional.
—————
Publikasi : 1 Agustus 2019
Revisi : 30 Januari 2020- Arrif -
—————
![](https://img.wattpad.com/cover/179940262-288-k49606.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menemukan Cinta Allah [END]
روحانيات[PART MASIH LENGKAP] *Fiksi Remaja Highest Rank #15 - pengagumrahasia (06 Agust 2019) #10 - pengagumrahasia (01 Sep 2019) Allah SWT. berfirman dalam surat Al-Isra ayat 32 : وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَاحِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا wa...