Bagian Dua : Terbuai Waktu

759 54 24
                                    


Waktu itu menyesatkan. Waktu itu memabukan. Waktu itu membuat kita terlena. Sampai aku tak sadar, aku terlalu terlena untuk sekedar memperhatikannya tanpa berniat maju melangkah kedepan atau menghentikannya.

Aku terlalu menikmati saat-saat pandangan ini tak berpaling darinya, sampai-sampai aku menyimpan kebahagiaan itu bukan dalam memori otak melainkan dalam hati. Dan aku tak sadar, kalau saat itu ialah saat-saat rasa ini semuanya berawal.

Dari yang asalnya tertarik lalu semuanya berawal. Berawal aku menyukainya.

Berawal aku lebih mendalam memperhatikannya tanpa diketahui. Dan berawalnya perasaanku bertambah terus bertambah setiap harinya.

Seperti biasanya, teman-temanku yang tak tahu malu mencandai siapa saja untuk meneriakan namanya kepada Bagja. Aku pikir dengan aku berada di samping mereka, aku takkan terkena candaan mereka.

“Bagja! Kata Ari salam!”

“Eh enggak ya!” ucapku setelah sadar dari keterkejutan. “Bohong itu bohong!” Detik berikutnya aku sadar, karena tingkah bodohku teman-temanku kian merajalela menyalamiku dengan Bagja.

“Ga usah salting gitu kali Ri,” Putri terkekeh melihat tingkahku. Aku memberenggut, kembali ke kelas untuk menormalkan ekspresi. Menormalkan detak yang beirama tak sebagaimana biasanya.

Aku fikir dengan aku kembali ke Kelas teman-temanku akan berfikir aku tidak suka dengan disorak-sorak seperti itu. Nyatanya aku salah, teman-temanku malah semakin menjadi kian hari. Dan ketenanganku terganggu sejak itu.

Namun nyatanya otak tak selalu selaras dengan hati. Tak warasnya aku malah menyimpan itu dengan rapih ditempat tersendiri tanpa disadari. Hingga waktu membias sampai sudah satu tahun kemudian aku menyadari, bahwa aku terus seperti ini tanpa ada niat maju atau berhenti.

Waktu semakin beranjak dan diam-diam aku selalu senang sampai menapaki kelas sebelas. Masih dengan setia memperhatikannya dalam ruang tersembunyi tanpa diketahui oleh teman-temanku bahkan mereka yang sering menyoraki kini menjadi sahabatku karena kebersamaan kami.

📎📎📎📎📎


Liburan akhir tahun pelajaran sudah usai. Tak ada yang istimewa memang dengan agenda liburanku, memang apa yang bisa dilakukan oleh anak rumahan selain bersemedi di Rumah setiap harinya.

Perasaan sedikit kesal tertambat dalam hati saat aku tahu Kelas kami berubah. Semalam aku melihat obrolan grup kami, Kelas kami tak terlalu jauh dari gerbang. Tepatnya jajaran Kelas dihadapan Lapangan. Jurusan kami kelasnya berada dua Kelas dipojok Lapangan membentuk huruf L, dua di jajaran sudut Vertikal dan dua lainnya di jajaran sudut Horizontal.

Kami kira Kelas kami di sudut jajaran Horizontal. Tapi ternyata di sudut jajaran Vertikal. Padahal kami sudah mem-booking tempat duduk. Prinsip ‘siapa cepat dia dapat’ selalu tertambat di Kelas kami setiap memasuki tahun ajaran baru. Tapi ternyata harus berubah secepat kilat. Tak apalah aku sabar, hanya saja tempat duduk yang didambakan  harusnya berada di depan papan tulis harus bergeser di jajaran kedua dekat pintu.

Aku tak masalah dengan penempatan dudukku itu, karena aku akan tetap duduk bersebelahan dengan Nisa—teman pulang bersama yang kini berubah menjadi sahabat. Yang membuatku kesal pagi ini adalah Kelasku ternyata berhadapan dengan Kelasnya. Sudah bisa membayangkan jika kalian membentuk garis sudut 90 derajat dari titik ke titiknya. Sedekat itu jarak kelas kami!

Hari pertama masuk sekolahku kacau. Otak teman-temanku—Nisa, Bila, Senja, Fadilah, Sri, Indah, Febri, Putri, Nur, Yuli dan Tina sepertinya membuat Auto Program menyoraki namaku saat melihat Bagja di sekitaran kami. Semakin jelas saja wajahku dihadapannya. Tolong! Siapapun sembunyikan wajahku! Karena butuh tenaga untuk membuat raut wajah tetap pada biasanya.

Beruntung bel segera berbunyi, membuat fikiran mereka sibuk seketika akan makanan apa yang akan sekarang mereka makan.

Setidaknya aku bisa mengisi perutku dengan tenang

—————

Publikasi : 1 Juni 2019
Revisi : 30 Januari 2020

- Arrif -
—————

Menemukan Cinta Allah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang