chapter 4

3.4K 329 27
                                    

Singto melihat kembali handphone nya dengan gusar, dia sama sekali tidak konsentrasi dengan kuliah nya hari ini. Krist sama sekali tidak menghubungi nya dari pagi.

Pikiran Singto tidak bisa tenang, membayangkan Krist ada di apartemen Peckpalit. Dia tahu betul betapa Krist mengidolakan orang itu, dan yang Krist tidak tahu, Singto tahu betul arti tatapan mata Peck saat menatap Krist.

Krist mungkin tidak menyadarinya, tetapi Singto dengan jelas memperhatikan bagaimana sosok Krist berubah menjadi sosok yang menarik di mata banyak pria.

Krist memang tampan dari awal Singto mengenalnya, tapi bentuk tubuh dan perawakan Krist berubah drastis belakangan ini. Jika dulu banyak gadis yang tergila-gila pada Krist, maka saat ini para pria bisa dengan mudah menyukai sosok Krist.

Saat kelas usai Singto berjalan dengan gusar ke kantin sambil terus memeriksa handphone nya, dia mencari tahu apakah Krist memposting sesuatu di sosial media, tapi dia tidak menemukan apapun.

Matanya sibuk mencari pesan dari Krist seperti tidak ada yang bisa menarik perhatiannya selain itu, padahal pesan lain yang tidak terjawab olehnya ada lebih dari 1000 pesan.

Singto merasa gusar, dia tidak bisa tenang, tapi bagaimana cara dia mengatasinya? Dengan menelpon Krist? Singto sangat ingin melakukan itu, tapi pikirannya bertanya, apa hak mu terhadap Krist?

Singto bersandar di kursi, menenggelamkan kepalanya di dalam tangan, Singto mulai berpikir, apa yang sebenarnya dirinya dan Krist lakukan.

Singto tahu benar siapa dirinya. Banyak orang, termasuk Krist, yang tidak tahu bahwa Singto sejak dulu menyukai pria. Dia tahu benar sulitnya berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang menuntutnya menjadi 'normal.' Beruntung dia menemukan Pintip yang mengetahui rahasia nya dan bisa membantu dirinya menyembunyikan nya.

Singto merasa ayahnya bisa merasakan bahwa dirinya berbeda, tapi dia tidak punya keberanian untuk mengatakan itu dengan terus terang.

Masyarakat tidak ramah terhadap perbedaan, celaan dan hinaan yang Singto lihat terjadi pada banyak orang yang berbeda dengan masyarakat umum membuat dirinya berpikir dua kali untuk membuka siapa dia sebenarnya.

Dulu sebuah fan base pernah menyerangnya, mengatakan dirinya gay dan menjijikan, saat itu Singto hanya diam dan berusaha tenang, berpikir bahwa semua kebencian ini akan berlalu begitu saja. Tapi bagaimana jika itu menimpa Krist, pria manis itu begitu perasa, dan Singto takut Krist tidak akan bisa mengatasinya.

Singto merasa dia sudah 'menulari' Krist, apalagi Krist dulu pernah berpacaran dengan wanita selama 5 tahun. Singto tidak ingin Krist merasakan ketakutan terus menerus dalam hidup seperti dirinya. Di satu sisi Singto ingin Krist kembali menjadi dirinya yang dulu, mengencani seorang wanita dan menjalani hidupnya dengan baik, tapi di satu sisi dia tahu bahwa dirinya tidak akan pernah bisa melepaskan Krist.

Singto tidak tahu perasaan yang dia miliki terhadap Krist, Singto tahu dia menyayangi Krist, tapi sebagai apa? Phi-nong? Kekasih? Atau ini semua hanya perasaan posesif yang tumbuh subur karena dia merasa Krist memberi harapan padanya.

Apakah Krist menyukainya? Singto tidak mau berbesar hati, siapa tahu Krist memang hanya memandang nya sebagai pelampiasan seksual saja. Bagaimana jika itu memang alasanya dan Singto pada akhirnya akan tersakiti? Singto tidak mau itu terjadi, karena itu dia menutup hatinya dengan kuat walaupun terkadang rasa perih yang dia rasakan terasa penuh dan menyeruak keluar.

Handphone nya yang tiba-tiba berbunyi membuat Singto terkejut, terlihat sebuah nama yang mengharuskannya mengangkat telpon.

"Hey nong, dimana dirimu"

"Aku masih di kampus p'Jane" jawab Singto sekenanya, moodnya benar-benar sedang tidak baik.

"Jam berapa ini? Cepat menuju lokasi, kau mau membuat kami menunggu? Ohm bahkan sudah hampir sampai."

Singto terbelalak, dia tidak menyadari hari sudah beranjak sore, ketika pikirannya sedang kacau maka dirinya tidak bisa mengatur jadwal nya sendiri.

"Baik phi, aku tidak akan terlambat." Ujar Singto cepat sambil bergegas pergi.
.
.
.
.
.

"Sing.." Janewit menepuk bahu Singto pelan.   "Tolong jangan ulangi lagi, apapun alasanmu, keterlambatan itu sangat tidak profesional."

Singto mengangguk, matanya terus menatap ke bawah, dia sangat lelah dengan semua aktivitas harian nya. Pekerjaan, sekolah dan seolah belum cukup, sekarang pikiran dan hatinya pun sulit untuk dikendalikan.

Jane mengambil tempat dan duduk disamping Singto. Mereka terdiam sejenak.
"Kenapa kau tidak mencoba jujur saja Sing.." katanya lirih.

Singto menatap mata Jane, mencari maksud ucapan manajer dan teman dekatnya itu, tetapi Jane hanya terdiam sebelum akhirnya menepuk pelan kaki Singto.
"Pulanglah nong, ini sudah malam."

Singto sudah terlalu lelah untuk berdebat, untuk mencari tahu, tenaganya benar-benar terkuras hari ini.

Dia mengambil tas nya, memberikan wai kepada Jane dan semua kru kemudian masuk ke mobil dan mulai mengemudi.
.
.
.
.

Tubuhnya ingin segera pulang, beristirahat tetapi akal dan hatinya mulai mengkhianati, Singto memasuki bagian depan condo Krist dan menelpon nya.

"Au p'Sing.." suara itu menjawab telponya.
"Kit...ee..dimana kau" jawabnya
"Aku baru saja sampai depan condo" sahutnya enteng.

Kepala Singto celingukan mencari sosok yang membuat pikirannya lelah seharian ini. Dan disanalah dia, turun dari mobil, diantar seorang pria yang mengacak rambutnya pelan dan mengucapkan selamat malam.

Matanya menatap tajam, hatinya sakit, digenggamnya telpon di tangannya dengan erat.

"Phi Singto.." suara Krist di ujung telpon membuat nya kembali tersadar.

"Aku akan kesana, tunggu sebentar." Ujar Singto berusaha terdengar setenang mungkin.

Tbc



Say You Love Me (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang