Raina POV
Suara gemercik hujan sore ini kembali mengingatkan gue pada kejadian dua tahun lalu, awal pertemuan kita, sampai hari dimana gue mempertaruhkan rasa malu demi perasaan gue.
Hari itu, gue pulang agak sorean karena ada upacara penutupan ospek. Badan gue rasanya capek banget, karena kegiatan dimulai dari pagi, ditambah lagi barang bawaan gue yang membuat ransel gue sampai mekar, berasa kayak pindah kost-an, tau nggak.
Udah sekitar 10 menit gue menunggu jemputan ayah, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda kemunculannya. Gue yang udah nggak tahan karena capek, akhirnya duduk di salah satu gazebo yang letaknya nggak jauh dari tempat gue nunggu ayah tadi. Sambil mengipas-kipaskan buku catatan ke wajah gue karena gerah, gue juga berniat istirahat, mungkin merem bentar bisa bikin badan gue lebih segar, begitu pikir gue.
Gue nggak benar-benar tidur, cuma merem. Mana mungkin gue bisa tidur dengan posisi duduk, dan kepala yang gue sandarkan ke tas. It's not comfortable.
Nggak lama setelah gue merem, gue merasakan ada seseorang yang duduk di sebelah gue. Gue nggak berniat buat membenarkan cara duduk gue, atau sekadar melihat siapa yang duduk nggak jauh dari tempat gue.
Tapi setelah mencium bau parfum yang sangat familiar menusuk hidung gue, mata gue perlahan terbuka, memastikan kalau indera penciuman gue ini nggak salah. Dan ternyata benar, dia yang duduk disitu. Matanya menatap gue lekat dibalik kacamata yang dia kenakan, akhirnya tatapan mata kita bertubrukan, dan dengan segera gue mengalihkan pandangan ke arah lain, selain dia.
"Enggak pulang?" katanya.
Gue nggak bisa mendefinisikan jenis apa suaranya. Gimana ya, suara dia tuh berat, dalam, but soft.
"Nunggu jemputan." setidaknya mulut gue masih bisa menjawab pertanyaannya yang terkesan dadakan. Meskipun mungkin komuk gue saat itu nggak terkondisikan.
Dan dia hanya mengangguk mengerti. Gue juga nggak berniat buat nanya balik, karena kalau sampai gue buka mulut, yang ada tingkah salting gue makin kentara dengan suara gugup dan gelagapan gue.
Dan bagaikan drama, tiba-tiba aja turun hujan. Awalnya nggak begitu deras, cuma gerimis, tapi nggak lama setelah itu, hujannya makin deras. Sampai-sampai sepatu gue ikut basah.
Gue mulai gelisah, bolak-balik ngecek handphone siapa tau ayah ngasih kabar kalau dalam perjalanan jemput, atau gimana. Tapi nihil. Nggak ada balasan dari ayah.
"Kok tiba-tiba hujan sih." gumam gue, yang gue kira hanya gue sendiri yang dengar. Tapi ternyata, dia juga dengar.
"Dari tadi udah mendung kali. Elo aja yang bengong, makanya gak tau." sahutnya.
Eh? Masa sih. Gue nggak sadar kalau tadi mendung. Apa karena gue terlalu larut dalam pikiran gue, ya?
Gue tersenyum, nggak menanggapi ucapannya. Mata gue sibuk memandang langit berwarna keabu-abuan, yang menumpahkan rintikan air.
Hujan..
Gue mungkin satu dari sekian ribu orang yang nggak suka hujan.
Makanya, setiap hari gue selalu membawa payung lipat untuk berjaga kalau sewaktu-waktu hujan turun kayak gini.
"Kok lo diem aja sih, Na. Lo laper, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Boyfriend
Teen FictionKAMU Satu yang paling ngeselin, Satu yang sukses buat aku jatuh cinta semakin dalam, Juga satu misteri yang sulit di pecahkan jawabannya. #Adult detect🔞 Note: Jangan hanya baca bagian awal cerita, karena bagian awal merupakan penghantar dari inti c...