03. Debaran Didada

30 3 0
                                    

Mungkin kita jauh dalam jarak, tapi kita dekat dalam doa. Dan Allah tahu, kapan waktu yang tepat untuk mendekatkan jarak kita.

🌻🌻🌻

Ibuku benar-benar rajin, jam 4 tepat sudah berada di sekolah untuk menjemputku. Padahal aku belum menelfon ibu jika aku sudah pulang.

Kini kami sedang menuju rumah Tante Lina. Disepanjang perjalanan aku melihat keluar jendela, menikmati suasana kota Jogja. Mobil hitam ini tengah melaju melewati jalanan Malioboro.

"Apa masih jauh bu?," tanyaku pada ibu.

"Sebentar lagi sampai Zulfa," jawab ibu yang tetap melihat kearah depan.

Saat berhenti di perempatan lampu merah, aku melihat ke arah kiri. Banyak orang yang berada disini. Ada yang sedang foto - foto, jalan - jalan, berbincang sambil duduk dikursi, bahkan ada yang berseragam abu-abu putih sedang bermesraan.

Astaghfirullah!.

Tatapanku terhenti ketika melihat seseorang yang familiar. Aku membuka setengah kaca jendela agar terlihat lebih jelas lagi.

Orang itu menyadarinya jika aku menatapnya sedari tadi. Dia berjalan mendekat ke arahku.

Ternyata dia ILHAM.

Ya Allah kenapa harus dia lagi. Dari sekian banyak orang kenapa dia?. Aku berusaha menghindarinya di sekolah tetapi malah bertemu disini.

Aku cepat-cepat menutup kaca mobil dan memalingkan pandanganku.

Kenapa lampu hijaunya lama sekali!.

Aku tau Ilham tidak mungkin sampai menghampiriku. Tapi aku merasa dia terus melihatku. Karena merasa penasaran aku menengok ke sebelah kiri lagi.

Dan benar saja, dia berdiri di pinggir jalan dan melihatku sambil tersenyum.

"Ibu, apa ayah sudah pulang," karena refleks ingin menghindar aku bertanya pada ibu yang jelas-jelas aku tahu jawabannya.

"Ayah belum pulang, Zulfa."

Akhirnya lampu hijau menyala. Ibu menginjak gas dengan perlahan.

Aku berkali-kali beristighfar dalam hati. Semoga bayangan Ilham hilang dari pikiranku.

Mobil berhenti di depan rumah yang cukup mewah. Bangunan berlantai 2 itu tampak elegan dengan warna putihnya.

Aku berjalan di belakang ibuku. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu dengan Tante Lina, sekarang aku merasa gugup.

"Assalamu'alaikum Lina," ibu mengucapkan salam setelah memencet bel disebelah kiri pintu.

Tidak lama kemudian ada seseorang di dalam yang menjawab salam.

Pintu besar itu terbuka. Memperlihatkan sosok wanita bergamis biru dan berkerudung hitam.

"Wa'alaikumsalam."

Kedua wanita bernama Zahra dan Lina itu berpelukan dengan erat. Melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu.

"Bagaimana kabarmu Ra?," tanya Tante Lina kepada ibu.

"Alhamdulillah baik. Kamu gimana?. Sehatkan?."

"Iya sehat Ra, Alhamdulillah."

"Kamu Zulfa ya?. MasyaAllah udah besar ya sekarang," sambung Tante Lina.

"Iya tante, saya Zulfa."

Aku mencium punggung tangan kanan Tante Lina. .

"Ayo masuk. Saya senang sekali kalian menyempatkan waktu untuk datang kesini," ajak Tante Lina.

*****

Ibu sangat senang bisa bertemu temannya yang sudah lama tidak bertemu begitu juga Tante Lina. Mereka berdua sangat asyik membicarakan segala hal. Hingga tak terasa sudah waktunya shalat Maghrib.

"Lin, aku dan anakku shalat disini ya. Takutnya kalau di rumah nanti sudah Isya'," kata ibu setelah mendengar adzan berkumandang.

"Iya Ra. Kita sekalian saja shalat berjamaah."

Disaat kami akan menuju mushola rumah, ada seorang yang membuka pintu.

"Assalamu'alaikum Umi," laki-laki berjaket hitam itu mencium tangan Tante Lina.

"Wa'alaikumsalam. Tumben sudah pulang nak."

"Iya Umi. Karena hari ini kajian libur jadi bisa pulang cepat."

Aku mengamati interaksi antara keduanya. Aku menebak-nebak, apakah ini anak Tante Lina yang pertama atau kedua?.

"Adnan ini Tante Zahra. Teman yang sering Umi kunjungi waktu di Bandung. Dan ini Zulfa, anaknya Tante Zahra. Dulu kamu deket banget sama dia," Tante Lina memperkenalkan kami berdua.

"Ya Allah, Adnan sudah sebesar ini. Sekarang masih kuliah apa sudah kerja?," tanya ibu.

"Saya masih kuliah Tante," jawab Kak Adnan.

Sekarang aku ingat. Kak Adnan adalah anak yang pertama. Dulu aku mengidolakan dia karena dia selalu membantuku dan yang paling aku sukai ketika mendengarkan Kak Adnan saat melafalkan Al-Qur'an.

"Assalamu'alaikum Zulfa," salam Kak Adnan dengan senyuman manisnya.

"Wa'alaikumsalam Kak," jawabku membalas salam dan senyumannya.

Deg deg deg

Apa ini?. Kenapa debaran jantungku terasa cepat?. Kenapa aku jadi salah tingkah, padahal Kak Adnan hanya mengucap salam.

"Adnan, kamu jadi imam sholat ya nak," pinta Tante Lina.

"Iya Umi," Kak Adnan mengiyakan.

Kami berempat langsung menuju tempat wudhu dan mengambil air wudhu secara bergantian.

Aku, ibu, dan Tante Lina sudah selesai memakai mukena, tinggal menunggu Kak Adnan untuk menjadi imam sholat.

Ketika Kak Adnan masuk, entah mengapa aku sulit untuk mengalihkan pandangan. Entah karena terpukau atau apa, yang jelas aku terpengaruh rayuan setan dengan terus memandangnya.

Astaghfirullah Zulfa!. Jaga mata, jaga hati, jaga pandangan, jangan terpedaya oleh setan!.

Aku memejamkan mata sambil menggeleng pelan.

"Allahuakbar," Kak Adnan memulai takbiratul ihram.

Suara ini, dulu aku sangat mengidolakannya. Lantunan ayat suci Al - Qur'an yang merdu, membuat hati ini damai mendengarnya.

Bahkan dulu belum semerdu ini. Sekarang, dengan suaranya yang lebih berat dan pelafalan yang lebih sempurna, kurasa aku jatuh cinta pada lantunan ayat suci Kak Adnan.

=> => =>

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelengkap HijrahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang