0+1 | Promise

69 11 18
                                    

"I hope you won't deny the promise you've made."

|
|

Jam dinding kamar sederhana milik seorang pemuda yang sedang terdiam dalam posisi telentang di atas kasur itu kini menunjukkan pukul tiga subuh.

Bukannya ia sudah bangun, tapi ia belum tidur. Dari semalam.

Entah mengapa, tapi yang bisa dipastikan—juga paling logis—adalah segala pikiran yang menghantui benaknya.

"Astaga, bagaimana sekolahku hari ini?" gumamnya, bertanya pada diri sendiri.

Kendati sudah membolak-balik badannya beribu kali, tetap saja dirinya tidak bisa tidur. Memejamkan mata saja rasanya terlalu susah. Walau sesungguhnya kedua matanya terasa berat.

Tak lama setelahnya, ia memutuskan untuk bangkit dan berjalan ke arah lemari baju, membukanya dan mengambil sebuah kertas usang yang sengaja ia tinggalkan di dalam sana. Ia juga membuka jendela yang mengarah ke halaman depan rumah, menikmati embusan angin dan suara jangkrik bersahutan.

Kemudian ia kembali ke arah kasur, merebahkan diri. Menghela napas panjang dan memejamkan matanya sejenak yang ia tutupi dengan lengan kirinya.

Tanpa disadarinya, cairan bening itu lolos dari kedua indra penglihatannya, lagi.

Ia benci keadaan seperti ini; keadaan di mana ia sangat berharap ada seseorang yang memeluk dirinya dan berkata 'Semuanya akan baik-baik saja'—walau satu kalimat itu pun adalah harapan semu yang tidak mungkin terealisasikan. Belum waktunya.

Namun, realitas tetaplah realitas. Tidak ada satu orang pun di sekitarnya, untuk saat ini.

Sebutlah ia seorang pemuda cengeng yang hanya tahu menangis tanpa melakukan satu pun hal, tapi memang beginilah kenyataannya. Menangis adalah satu-satunya hal paling wajar yang bisa ia lakukan. Ketimbang melakukan hal di luar dugaan yang untungnya sekarang terkubur jauh dalam benaknya. Hanya untuk sekarang.

Tok tok tok.

Itu bunyi pintu rumahnya diketuk tiga kali. Entah oleh siapa, ia tidak tahu.

Pemuda itu pun beranjak dari kasurnya, keluar dari kamar. Ia menghapus air matanya untuk mengurangi kemungkinan munculnya kecurigaan. Barulah setelahnya ia membuka pintu rumah.

Respon pertamanya adalah heran bercampur bingung. Ia mengernyit setelah menatap orang yang tengah berdiri di depannya dengan membawa satu pot berisi bunga.

"Kukira kau belum bangun." Satu kalimat yang berhasil lolos dari tamu tak diundang tadi, disusul dengan senyuman tanpa rasa bersalah karena telah datang di waktu yang kurang tepat.

Si empunya rumah menggeleng pelan dan mempersilakan tamu tersebut masuk dan duduk di lantai ruang tengah. Entahlah, duduk di lantai jauh lebih nyaman dibanding di kursi.

"Bukankah seharusnya aku yang berkata demikian, hyung? Ada apa kau ke sini pagi buta begini? Tidak seperti seorang Kim Seokjin yang terkenal sering bangun siang itu."

Seokjin menunjuk ke arah pot bunga yang sebelumnya telah ia letakkan di lantai. "Kuharap mereka bisa membantumu, Jim. Namanya daffodil. Kau bisa cari di internet untuk artinya. Well, tidak ada tujuan lain selain mengantarkan bunga itu."

Jimin kembali dari dapur dengan membawa segelas air minum untuk diberikan pada Seokjin dan ikut duduk di seberangnya.

Kapan terakhir kali ia kedatangan tamu di rumah, ya? Sepertinya sudah lumayan lama. Sampai-sampai ia lupa kalau setiap tiga bulan sekali, manusia di hadapannya ini akan menampakkan diri. Mereka memang bertemu di sekolah hampir tiap hari, tapi berbeda konteks dengan yang satu ini.

ARUNIKA [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang