"I feared almost all the time when Dad was with me."
|
|Seokjin menatap Jimin dalam. Ia tak bisa berkata apa-apa setelah mendengar penuturannya beberapa detik lalu.
Situasi bisa berubah serunyam ini ternyata. Padahal, hanya ada mereka berdua. Mereka, yang telah kenal satu sama lain cukup lama.
Ah, pikiran Seokjin selama ini salah. Pasalnya, ia tetap seorang yang kurang bisa dipercaya di mata lelaki yang telah dianggapnya adik—ya, mungkin, hubungan mereka hanya sebatas kakak-adik tak sedarah. Itu saja, tidak lebih juga tidak kurang.
"Aku tidak akan memaksamu untuk memercayaiku kemudian melontarkan semuanya kali ini. Hanya saja, terkadang emosi memang harus dikeluarkan. Kau boleh melakukan itu padaku, sekarang."
Lelaki itu masih terdiam di tempat, pun tak mengeluarkan sepatah kata untuk membalas. Kendati demikian, netranya menjelaskan segalanya. Air mata keluar begitu saja, mengalir deras bersamaan pula dengan bahunya yang mulai berguncang. Ia menunduk. Kedua telapak tangannya berusaha menghalau cairan itu agar tidak terus-menerus keluar tanpa henti.
Seokjin langsung merangkul dan memeluk, membiarkan bajunya basah oleh hasil dari luapan emosi pemuda tersebut. "Tak apa, hanya ada aku dan kau."
Di sela isakannya, ia masih menyempatkan diri untuk memanggil, "Jin hyung ...."
"Kenapa aku bisa ada di sini, sementara mereka tidak menginginkanku?" lanjutnya. "Ah, tidak. Tak ada seorang pun yang senang atas eksistensiku, bukan? Sebab aku saja membenci diriku sendiri, pasti orang lain lebih parah. Bukan begitu?"
Lelaki yang masih merangkulnya menggeleng, menolak kuat kalimat tersebut. "Tidak, jangan berpikir begitu. Justru aku senang bisa bertemu denganmu, Jim. Aku belajar banyak darimu."
Keheningan yang sesekali masih diramaikan oleh isakan itu tak berlangsung terlalu lama. Namun, Jimin masih betah di posisinya. Hingga kemudian ia kembali berucap, "Benarkah?"
"Hmm, aku serius."
"Tapi, sepertinya ada yang lebih serius."
Seokjin melepas rangkulannya untuk sesaat, memegangi kedua bahu Jimin dengan lembut. "Apa itu, Jimin-ah?"
"Em ..., rasa sakit di kepalaku. D-dari tadi sebenarnya. Ini mirip dengan yang saat itu—saat aku menginap di apartemen Namjoon hyung," ucapnya. Pandangannya ditujukan ke bawah, menghindari kontak mata dengan Seokjin yang seperti memberi tatapan ingin tahu kelanjutannya. "Aku tak tahu mengapa, tapi ini seperti terus berulang. Ini bukan yang kedua kalinya setelah waktu itu. Hanya saja, yang kali ini lebih terasa."
Seokjin menatapnya cemas. Ia mengarahkan punggung tangannya ke dahi, sekadar untuk mengecek temperatur. "Sepertinya badanmu sedikit panas, Jim. Lebih baik ganti pakaianmu ke yang lebih tipis. Ini menghambat sirkulasi udara."
"T-tapi, aku sengaja memakai yang lengan panjang, hyung. M-maafkan aku telah berbohong padamu lagi, Seokjin hyung. Soal kemarin malam, a-aku memang melakukannya."
Dan detik setelah pengakuan itulah pertahanannya runtuh, untuk kali kedua. Seolah belum benar-benar selesai dibangun, lalu terkena guncangan baru. Seokjin kembali merengkuhnya dan menenangkannya. "Sst, tidak apa. Jangan menyakiti dirimu lagi, Jimin-ah. Luapkan dengan cara lain. Oke?"
Dibalas dengan ia yang mengangguk samar, sementara tangannya meremas kuat ujung baju Seokjin, tak mau cepat-cepat melepasnya.
"Ah, iya. Jiminie, aku hampir lupa. Setelah minggu ujianku selesai, mau ke Sungai Han bersama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA [M]
Fanfiction[ON HOLD] Seharusnya, semua berjalan baik-baik saja. Bergerak mulus sesuai alurnya, keindahan datang pada waktunya, dan tak ada hambatan sama sekali di tengah perjalanannya. Tapi, sangat naif rasanya mendefinisikan hidup kalau hanya ada suka tanpa d...