"Your eyes were caught by mine, and vice versa. Is this a draw?"
|
|Hari-hari berikutnya dijalani seperti biasa oleh Jimin. Ia tetap masuk sekolah dan mendengarkan guru berbicara di kelas (walau terkadang ia hampir tertidur jika teman yang duduk di bangku belakang tidak menepuk bahunya atau menggoyangkan kursi).
Jimin berjalan menaiki anak tangga menuju lantai tiga, di mana kelasnya berada. Ia seorang murid kelas satu sekolah menengah atas yang ingin rasanya mengumpat karena harus olahraga naik-turun tangga tiap hari. Bukan masalah apa, tapi mengapa justru kelas dua dan tiga berada satu lantai di bawahnya? Bukankah ini justru tertukar?
Menyusahkan saja, gerutunya dalam hati.
Hampir saja Jimin menabrak seorang kakak kelas jika ia tidak mengerem langkah kakinya. Ia membungkuk sedikit kemudian melanjutkan perjalanan hingga anak tangga paling atas, berbelok ke kiri menuju kelasnya.
Masih sepi, memang. Ini bisa dibilang masih sangat pagi untuk setidaknya, teman sekelasnya, karena mereka tipe-tipe orang yang akan muncul di kelas semenit sebelum bel masuk berbunyi.
Atau bahkan tepat sedetik setelah bel berbunyi.
Jimin menaruh tasnya di atas kursi dan keluar kelas. Kembali berolahraga menuruni anak tangga menuju lantai dua untuk menemui Seokjin. Entah mengapa dan bagaimana, ia telah menganggap ini sebagai sebuah keharusan tiap paginya. Karena ia merasa seolah-olah hidupnya di sekolah akan terasa kosong jika belum bertemu kakak tidak sedarahnya itu.
"Jin hyung!" Jimin sedikit berteriak dan berlari kecil ke arah kelas Seokjin. Yang dipanggil pun menoleh ke sumber suara.
Seokjin duduk di kursinya dan Jimin mengambil kursi yang masih kosong.
Dikeluarkannya beberapa buku catatan dan diletakkan di kolong meja sebelum akhirnya membuka suara. "Eoh, pagi sekali kau datang, tumben."
Jimin tersenyum bangga, membuat matanya sedikit menghilang. Seokjin menggelengkan kepalanya beberapa kali, gemas melihat ulah adik kelasnya yang satu itu.
Keadaan kelas Seokjin pagi-pagi sudah cukup ramai, tidak seperti kelas Jimin. Hanya saja, ramainya bukan ramai candaan, melainkan jumlah makhluknya. Kebanyakan dari mereka belajar, mengingat ujian kelulusan sudah sangat dekat.
Maka dari itu, Seokjin mengajak Jimin untuk berbincang di kantin saja. Mereka bisa lebih bebas mengobrol di sana sepertinya. Waktu hingga bel masuk kelas juga masih tersisa cukup banyak—kira-kira dua puluh menit.
"Hyung," panggil Jimin saat keduanya telah mengambil tempat duduk di pojok, agar suasana lebih tenang dan sepi.
Seokjin yang tadinya sedang mengedarkan pandangan ke penjuru kantin langsung membawa atensinya ke arah Jimin.
Jimin menunduk, memainkan jari-jemarinya di atas meja, gelisah. Ia ingin mengutarakan sesuatu, namun egonya terlalu kuat.
Seokjin menyadari hal tersebut dan langsung menarik tangan kanan Jimin, memberi kehangatan di antara kedua telapak tangannya. "Katakan saja, Jimin-ah. Aku akan mendengar dan memberi tanggapannya."
Jimin tetap menunduk. Kali ini, kakinya yang digoyang-goyangkan. "Em ..., tahun ini hyung lulus, 'kan?"
Seokjin sedikit kaget akan pertanyaan tersebut. Ia kira, Jimin mau bercerita. Namun ternyata dirinya malah dibawa ke arah pembicaraan ini.
"Doakan saja aku lulus," balas Seokjin. Ia diam sejenak untuk berpikir. "Memangnya ada apa, Jim?"
"Kalau hyung lulus dan berkuliah, apakah hyung akan pindah tempat tinggal ke apartemen? Atau ...?" Jimin menggantungkan kalimatnya, menunggu jawabannya secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA [M]
Fanfiction[ON HOLD] Seharusnya, semua berjalan baik-baik saja. Bergerak mulus sesuai alurnya, keindahan datang pada waktunya, dan tak ada hambatan sama sekali di tengah perjalanannya. Tapi, sangat naif rasanya mendefinisikan hidup kalau hanya ada suka tanpa d...