"I've told you, I'm fine. Don't think too much of me. I'll be alright."
|
|Seokjin kembali ke rumah dengan enggan. Bukannya ia malas bertemu orang rumah, hanya saja pikiran tentang Jimin masih bersarang di otaknya. Ia baru balik dari rumah Jimin-tidak ada satu pun orang di sana. Jadi, agar tidak sia-sia, ia menyiram tanaman saja. Ia juga sudah sempat bertanya kepada guru di sekolah dan tidak ada kabar sama sekali.
Apa dia baik-baik saja? pikirnya.
Seokjin melangkah ke ruangan khusus milik ayahnya-ruang kerja, tepatnya. Ayahnya seorang pemilik rumah sakit sekaligus dokter di sana, namun hari ini ia sedang tidak bertugas.
Tok tok.
Satu sekon setelahnya terdengar suara, "Masuklah."
Seokjin memutar kenop pintu kemudian masuk. Ia duduk di hadapan sang ayah yang tengah memerhatikan layar komputernya dengan serius.
Tak lama setelah sadar akan presensi anaknya, ia pun mengalihkan pandangan pada Seokjin. "Ada apa, Seokjinie?"
Seokjin membasahkan bibirnya sebelum berkata, "Em ..., apakah Jimin sempat ke dokter seminggu terakhir ini?" Ia menautkan jari-jari kedua tangannya yang menjadikan pahanya sebagai tumpuan. Ia cemas, sungguh.
Ayah Seokjin menggeser kursinya sehingga dapat bertatap muka dengan anaknya lebih mudah. "Tidak, Nak. Apa ada yang terjadi padanya?"
Seokjin menghela napas, sedikit kecewa dengan jawabannya. Setidaknya jika Jimin ke rumah sakit, ia bisa lebih tenang karena ada banyak orang berpengalaman yang bisa menanganinya.
"Dia ... tidak masuk sekolah, Yah," ucap Seokjin, berhasil membuat ayahnya memberi tatapan bingung sekaligus tidak percaya. "Terakhir kali dia masuk adalah hari Senin. Sudah empat hari berturut-turut dia tidak menampakkan batang hidungnya di sekolah. Teman-temannya juga tidak tahu kabarnya."
Ayah Seokjin menatap anak semata wayangnya itu dengan tatapan pedih. Fakta bahwa teman dari anaknya yang juga sudah ia anggap anak sendiri tidak masuk sekolah membuatnya cemas. Juga mengingat ia hampir tidak berhasil dalam menangani Jimin pertama kali dilarikan ke rumah sakit beberapa tahun lalu semakin menimbulkan rasa takut.
"Apa Ayah punya data riwayat kunjungan Jimin ke rumah sakit? Yang terperinci itu," tanyanya lagi, penasaran. Ia memang sudah bercita-cita menjadi dokter sejak kelas enam, dan cita-citanya bertahan sampai sekarang. Ia belajar banyak dari sang ayah yang adalah seorang dokter terkemuka di daerahnya.
Ayah Seokjin membuka sebuah folder di komputernya, kemudian mempersilakan anaknya melihat. "Ada di sini semua, sudah Ayah gabung jadi satu folder. Silakan kau lihat, Ayah mau keluar sebentar."
"Terima kasih, Yah."
Seokjin membaca dengan teliti setiap file pada folder tersebut. Ia bahkan tidak memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk istirahat atau mandi dan sebagainya; yang diprioritaskan sekarang hanyalah Park Jimin.
"Skor total GCS hanya sebelas?"
Baru saja ia hendak lanjut ke halaman lain, dering ponsel menginterupsinya.
Itu ponselnya sendiri.
Kim Namjoon
Decline or Accept
"Halo, Namjoon-ah? Ini aku sendiri. Ada apa?" ujar Seokjin setelah panggilannya tersambung.
Di seberang sana terdengar suara napas tersengal-sengal. Sepertinya si penelepon habis lari. "Eoh, Seokjinie hyung, bolehkah aku minta tolong untuk menemani Jimin? Aku sedang bersamanya di rumah sakit."
Mata Seokjin membelalak kaget. Demi siapa pun! Ia jarang sekali ditelepon Namjoon yang notabenenya hanya adik kelas, dan sekali ia mendapat telepon, kabar buruk yang datang? Yang benar saja!
Oh, tidak, tidak. Dia tidak boleh berburuk sangka. Mungkin Jimin hanya ingin sekadar mengecek kesehatannya?
"Aku akan ke sana dengan Ayah. Beri aku waktu lima belas menit."
Lalu sambungan langsung diputus olehnya. Seokjin bergegas keluar dari ruangan sang ayah, menyambar jaket miliknya di atas kursi ruang keluarga.
Sang ayah yang hendak masuk ke ruangannya melihat Seokjin yang terburu-buru dengan bingung. Anaknya langsung buka mulut, "Jimin di rumah sakit."
---
Lama Namjoon menunggu di luar ruang konsultasi, Jimin masih belum keluar juga. Tadinya ingin ikut ke dalam, tapi mengingat ada Seokjin yang lebih mungkin untuk mengerti permasalahannya, lebih baik ia saja yang ikut masuk.
"Sudah kubilang dia tidak baik-baik saja," ucap Namjoon kesal sambil mengacak rambutnya. Sedari tadi ia tidak bisa duduk diam, padahal ada banyak kursi kosong tersedia. Ia memutuskan untuk membawa Jimin ke rumah sakit karena keluhan nyeri di kepalanya yang tidak kunjung berhenti. Ia tak mau ambil risiko.
Di dalam ruang konsultasi, dokter tengah memeriksa Jimin, dengan Seokjin yang menemani tentu saja.
"Apakah nyerinya terasa sangat sakit sampai tidak bisa tidur?" tanya si dokter, tak lain tak bukan adalah ayah Seokjin.
Mungkin ini salah satu keunggulan jika kau dekat dengan seorang anak yang orang tuanya pemilik rumah sakit. Bukan masalah finansialnya, hanya saja untuk pengecekan dipermudah karena dilakukan oleh orang yang memang sudah kau percayai-tanpa meremehkan dokter yang lain, tentu.
Jimin mengangguk. Ia kemudian menjelaskan, "Semalam terasa paling parah. Aku sudah minum parasetamol, tapi tidak membuahkan hasil. Aku tetap tidak bisa tidur. Oh, bisa sih, setelah terlewat beberapa menit atau bahkan jam."
Ayah Seokjin nampak berpikir sebentar sebelum menanyakan lebih lanjut, "Tapi, apakah kau sempat merasa mual dan muntah?"
Kini yang ditanya menggeleng. "Tidak, Dok. Untunglah tidak separah itu." Ia tersenyum meyakinkan.
"Kalau sekarang, ada rasa nyeri atau sakit di kepalamu?"
"Sedikit."
Ayah Seokjin tersenyum seraya mengangguk kecil. Walau sudah menginjak usia akhir empat puluhan, beliau tetap terlihat gagah dan segar. Tidak salah lagi jika anaknya pun demikian-pintar dan tampan, digemari banyak orang.
"Baguslah kalau begitu, tidak ada gejala pascatrauma. Ayah akan buatkan resep obatnya. Diminum dua kali sehari setelah makan; hentikan saja jika rasanya sudah membaik. Bila ada keluhan lain, kau bisa kemari lagi. Ayah takut kalau gejala pascatrauma itu muncul lagi."
Air muka Jimin berubah sedih. Kenyataan kembali menamparnya. Tentang masa lalunya itu ....
Seokjin yang duduk di sebelahnya menyadari perubahan itu. Ia menepuk-nepuk bahu Jimin beberapa kali. "Tidak ada yang berani mengganggu kesehatanmu lagi, Jim. Aku yakin. Iya 'kan, Yah?"
Ayah Seokjin hanya mengangguk dan memaksakan sedikit senyum, ragu. Ia tidak bisa berjanji karena ia sendiri sesungguhnya kurang yakin. Sementara ia melaksanakan tugas lainnya sebagai dokter, Seokjin dan Jimin dipersilakan keluar terlebih dahulu.
Namjoon langsung tersadar akan presensi keduanya. Ia terlihat cemas, namun Seokjin yang bersikap tenang membuatnya sedikit lega.
"Tidak ada gejala serius, Namjoonie hyung. Aku hanya perlu banyak istirahat dan meminum obat yang diresepkan," kata Jimin membuka percakapan di antara mereka bertiga. Ia pun menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Selalu ada sesuatu di balik tiap senyumnya.
"Baguslah kalau begitu," ucap Namjoon. Ia beralih pada Seokjin, "Kau tahu, aku sudah sangat gelisah dari semalam. Untung tidak ada yang parah."
Seokjin menunduk sesaat, menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Aku tahu. Terima kasih, Namjoon-ah. Terima kasih sudah membawa Jimin kemari."
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA [M]
Fanfiction[ON HOLD] Seharusnya, semua berjalan baik-baik saja. Bergerak mulus sesuai alurnya, keindahan datang pada waktunya, dan tak ada hambatan sama sekali di tengah perjalanannya. Tapi, sangat naif rasanya mendefinisikan hidup kalau hanya ada suka tanpa d...