"What if all this time I've blatantly told you lies? Although I didn't mean to do so, because me myself was lied to, too."
|
|Jimin menyandarkan tubuhnya pada dinding yang membatasi lorong dengan ruang tari. Ia mengintip ke arah dalam dan menemukan beberapa murid tengah duduk meluruskan kedua kakinya dan memegang botol minum. Sepertinya mereka baru saja selesai latihan, atau mungkin sedang beristirahat.
Presensinya tertangkap oleh sepasang manik mata dari dalam yang menunjukkan ekspresi terkejut. Namun, sedetik setelahnya ia sembunyikan ekspresi tersebut dan tangannya dilambaikan, bermaksud menyuruh Jimin masuk.
Lantas pemuda itu menggeleng, tanda sebuah penolakan. Ia kembali bersembunyi di balik dinding berwarna putih gading yang catnya sudah agak pudar tersebut dan menunduk, membasahi bibir bawahnya.
Beberapa detik setelahnya terdengar suara pintu terbuka yang langsung menampilkan seorang lelaki berpakaian kaus lengan panjang warna hijau muda dengan ripped jeans serta sepasang sepatu kets warna putih. Gayanya cukup menjelaskan kalau dia adalah anak dance.
"Masuklah," ucapnya. Gerak kepalanya mengisyaratkan Jimin untuk ikut, dan entah mengapa ia menurut.
Setelah Jimin masuk, ia duduk menyandarkan punggung ke dinding seperti yang lainnya. Matanya menangkap satu orang yang cukup familier. Otaknya pun berusaha mengingat-ingat nama lelaki itu.
"Aku Jung Hoseok, dan kau pasti Park Jimin. Iya, 'kan?" tebak orang tersebut kelewat cepat.
Astaga, Jimin mengumpat dalam hati. Berarti tadi sorot matanya terbaca—sedang memperhatikan dengan serius.
Jimin mengangguk tanpa ragu. Ia kemudian bersuara setelah beberapa saat bungkam. "Iya, dan kita dulu musuh."
"Wah, kalian dulu musuh?" seorang lelaki lainnya menyergah, membuat Hoseok menatapnya tajam.
"Bukan begitu. Kami dulu memang sempat bermusuhan hanya karena dia berhasil mengalahkanku dalam lomba tari," jelasnya. Jimin terlihat sedang menahan tawa mendengar apa yang Hoseok katakan barusan. Ucapannya terdengar jujur sekali.
Ia pun melanjutkan, "Tapi hanya sebatas itu. Kami juga tidak benar-benar bersaing seperti yang kalian pikirkan. Iya 'kan, Jim?"
Jimin mengangguk. "Tapi, aku sudah lama berhenti menari."
Ucapannya berhasil membuat semua pasang mata menatapnya tidak percaya. Mereka semua, termasuk Hoseok, seolah meminta penjelasan.
Jimin menghela napas panjang. Kepalanya menengadah menatap langit-langit ruangan, berusaha menghilangkan rasa penatnya.
"Aku belum pernah menceritakan hal ini pada satu orang pun, terlebih orang-orang baru seperti kalian. Jadi, kuharap kalian bisa menjaga segala ucapanku."
Salah satu lelaki yang berpakaian kasual memajukan kedua telapak tangannya. "Jimin sunbaenim, tidak perlu dipaksakan untuk bercerita jika itu terlalu personal," ucapnya. Sadar ia belum memperkenalkan diri, ia melanjutkan, "Ah, perkenalkan. Aku Jungkook, satu kelas dibawahmu. Kalau dia yang tadi mengajakmu masuk itu namanya Yeonjun, sekelas denganku."
Lelaki bernama Jungkook itu angkat bicara lagi, "Ya, Yeonjun-ah, kau tidak memanggilnya 'sunbae' tadi?"
Orang yang disebut namanya itu menggaruk tengkuknya canggung. "Eoh, maaf, Jimin sunb—"
"Panggil aku 'hyung' saja. Agak aneh sepertinya jika memanggilku 'sunbae'." Ia tertawa kecil. Jungkook dan Yeonjun saling bertatapan untuk sedetik sebelum akhirnya mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA [M]
Fanfic[ON HOLD] Seharusnya, semua berjalan baik-baik saja. Bergerak mulus sesuai alurnya, keindahan datang pada waktunya, dan tak ada hambatan sama sekali di tengah perjalanannya. Tapi, sangat naif rasanya mendefinisikan hidup kalau hanya ada suka tanpa d...