2+4 | Thoughts

21 8 2
                                    

"All inside me were thoughts—good or bad, everything. I like to keep them for myself, because I hate to put a strain on you."

|
|

Seokjin membuka kamar tamu tempat Jimin tidur untuk malam ini dan beberapa hari ke depan secara perlahan. Matanya tak menangkap sumber cahaya apa pun selain yang berasal dari lampu jalanan menyusup masuk melalui jendela kamar yang terbuka sedikit.

Alih-alih mendapatkan presensi Jimin yang tertidur, ia justru melihat sosok tersebut tengah meringkuk bersembunyi di bawah balutan selimut. Ia menangis, setelah sekian lama tidak melakukannya. Atau setidaknya, tidak diketahui Seokjin.

Seokjin berjalan mendekat dan duduk di atas kasur. Ia menunduk untuk mencari celah terbuka selimut yang digunakan.

"Jimin," panggilnya. Ia meraih pundaknya dari luar selimut dan mengusapnya perlahan.

Malam ini tentu akan menjadi malam yang panjang, ditemani embusan angin malam dari luar juga suara jangkrik yang mendominasi. Hawa yang seharusnya sejuk tidak terasa oleh Seokjin karena atmosfer dalam kamar mendadak membuat suhu badannya sedikit panas. Entahlah, ia juga tidak tahu kenapa.

Jimin masih tetap dalam posisinya, tidak menggubris panggilan Seokjin sama sekali. Sedetik setelahnya, justru yang terdengar adalah suara isakannya membesar.

Seokjin menyingkap selimut dan memegang kedua pundak Jimin dengan lembut. "Jimin-ah, apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada senetral mungkin, tidak mau memperkeruh keadaan.

Jimin tambah terisak. Ia tak kuat menahan emosinya dan terus mengeluarkannya lewat air mata. Ia menunduk, menggeleng beberapa kali seolah meyakinkan ia tidak apa-apa. Tapi Seokjin tidak sebodoh itu. Ia tahu Jimin sedang bukan dalam kondisi tidak apa-apa.

Seokjin merangkulnya, menyalurkan kehangatan. "Ssst, menangislah sepuasnya. Hanya ada aku di sini."

Tak ada suara lain yang terdengar selain isakan tangisnya. Sekian lama segala perasaan terus-menerus disimpan sendiri olehnya. Ia merasa butuh rangkulan seseorang dan dapat dijadikan tempat untuk bercerita.

"Kalau kau ingin cerita, silakan. Jangan disimpan sendiri. Setidaknya, bagilah beban yang kau miliki padaku juga. Oke?"

Jimin mengangguk samar. Kepalanya masih tertunduk dan kedua matanya terus mengeluarkan cairan bening itu tanpa henti. Ia masih belum berani menatap Seokjin yang memberikan tatapan iba beberapa inci di sampingnya dengan terus mengusap bahunya perlahan.

Sudah cukup lama Seokjin tidak melihat Jimin dalam kondisi seperti ini. Terakhir kali mungkin saat ia datang membawa bunga daffodil dan mendapati mata adiknya itu sembab, sehingga ia asumsikan habis menangis. Dan juga yang Seokjin tahu, memang sekarang suasana hatinya sering naik-turun; tidak stabil. Oleh karena itulah ia sedikit khawatir—banyak, malah, bukan sedikit lagi.

"B-boleh hy— hyung tolong pegang tangan kananku? S-sakit," ucap Jimin dengan agak terbata-bata. Ia segera menghapus air mata yang membasahi wajahnya dengan tangan kiri.

Seokjin tidak menjawab secara verbal. Ia langsung memenuhi permintaan Jimin—menggenggam telapak tangannya. Terkadang, tindakan jauh lebih dibutuhkan ketimbang membuka mulut dan memberi harapan semu, bukan?

"Ada apa dengan tanganmu, Jim? Perlu diobati?"

Jimin menggeleng. "A-aku memang sering begini. Tanganku terasa sakit di saat seperti ini," jelasnya. Cairan itu masih sesekali meluncur keluar dari matanya, namun ia sudah mulai bisa mengendalikan isakannya.

"Kalau kau mau cerita, cerita saja. Aku akan berusaha menjadi pendengar yang baik. Kalaupun belum bisa juga tak apa. Jangan dipaksakan."

Ucapan Seokjin membuat Jimin kembali terisak—bahunya naik-turun dan napasnya tersengal. Ia menjadi sangat sensitif terkait topik yang Seokjin juga tidak tahu apa.

Lantas ditariknya ia ke pelukan Seokjin. Rasa hangat langsung menjalar ke tubuhnya yang ringkih itu. Seokjin baru menyadari satu hal; lelaki di hadapannya ini semakin kurus.

"Jimin-ah, apa kau kurang makan sebelum hari ini? Kau terlihat semakin kurus ...," tuturnya. Ia masih setia mengusap punggung Jimin dengan perlahan sambil sesekali menepuknya.

Pertanyaannya tidak digubris. Memang, Seokjin tidak mengharapkan jawaban apa pun, mengetahui kondisinya sekarang kurang baik.

"Jin hyung," panggil Jimin, membuat Seokjin sedikit melonggarkan dekapan dan menatap wajah tirusnya itu.

"Aku— aku tidak tahu harus memulai dari mana, dan ...," Jimin memberi jeda sebentar untuk menarik napas dan menghelanya. "Dan sepertinya aku belum bisa cerita sekarang, maaf. Bukannya aku tidak percaya pada hyung, hanya saja—"

Bahkan kalimatnya belum tamat dan rasa sakit di dadanya makin terasa. Seakan-akan ada banyak belati yang menancap di sana. Jimin menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah yang ia sudah tak tahu lagi bagaimana bentuk dan wujudnya.

"Tidak apa-apa, aku paham," ucap Seokjin. Ia membaca dua panah di jam tangannya.

Pukul dua dini hari.

"Omong-omong, Jimin-ah, apakah aku mengganggumu sekarang? Apa kau mau aku tetap di sini atau kau butuh waktu sendiri?" tanyanya hati-hati. Ia menanyakan perihal ini agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara mereka berdua. Ada kalanya seseorang butuh waktu sendiri untuk menyelesaikan 'perdebatan' dengan egonya sendiri. Namun, ada juga saat lain di mana orang itu butuh seorang lainnya untuk menjadi tempat bercerita.

Jimin mengangkat kepalanya, menatap Seokjin yang hanya terlihat sebagai sebuah siluet dari matanya karena membelakangi sumber cahaya. "Sebenarnya tidak masalah, tapi hyung perlu tidur, bukan? Maaf telah menyita banyak waktumu ...."

Seokjin tak habis pikir dengan lelaki di hadapannya. Ia sama sekali tidak keberatan jika memang itu untuk menemaninya di sini, sekarang. Tapi yang ia dapatkan justru adalah permintaan maaf di saat menurutnya tidak ada yang salah.

"Jimin-ah, kenapa kau justru meminta maaf? Aku tidak keberatan, kau tahu. Sama sekali tidak. Apa yang kau inginkan sekarang? Katakanlah."

Jimin mengusap wajahnya, memutus kontak matanya dengan Seokjin. "Aku lelah, sangat. Aku hanya ingin cepat-cepat mengakhiri semuanya."

Seokjin menatapnya iba. Ia tahu, tiap kata yang meluncur keluar dari mulut Jimin bukan sebuah lelucon. Biasanya juga, kalimat yang diucapkan benar-benar berasal dari pemikirannya. Ada dua kemungkinan—ia serius, atau hanya sekadar bergurau.

Untuk yang kali ini, ia anggap itu serius, dan membuatnya jadi takut. Ia takut kalau sewaktu-waktu Jimin akan pergi meninggalkan untuk selamanya.

Oh, tidak. Jangan sampai. Memikirkannya saja cukup membuat kepala panas.

"Jimin ...," gumamnya. Tatapannya berubah kosong untuk sesaat. Sedangkan lelaki di hadapannya memaksakan sebuah senyum, lagi-lagi untuk memastikan keadaannya baik-baik saja padahal realitasnya kontradiktif.

"Aku akan baik-baik saja, hyung."

"Tapi kau tadi menangis pasti ada sebabnya, bukan? Aku bahkan tidak tahu apa-apa dan kau mengatakan 'baik-baik saja'? Aku tahu ada sesuatu yang kau simpan, Jim." Seokjin berusaha mengendalikan nada bicaranya agar tidak menyakiti hati Jimin. Walau sebenarnya hatinya sudah lebih dulu tersakiti. Ia sangat ingin, sekali saja dalam seumur hidupnya, pertanyaan dalam benaknya terjawab langsung oleh yang bersangkutan. Jujur, ia lelah merangkai semuanya sendiri.

Jimin tersenyum miris. Ia mendorong lengan Seokjin menjauh dan kembali ke posisi tidur. Selimutnya ia tarik hingga batas dada dan memiringkan badan ke kiri, membelakangi Seokjin yang tengah menatapnya dalam.

"Aku tidak bisa menceritakannya sekarang, maaf untuk kesekian kalinya. Hyung bisa kembali ke kamar; aku ingin tidur. Kalau aku tidak tidur, berarti aku sedang menyiksa diriku sendiri."

Seokjin tidak paham dengan kalimat terakhir yang terucap. Kalimat tersebut ambigu. Namun, mau tak mau ia harus meninggalkan kamar sesuai yang telah diutarakan.

Di dalam sana, Jimin menatap layar ponselnya, hendak menertawakan dirinya sendiri.

"Mengapa dunia ini seolah-olah tengah mempermainkanku, Tuhan?"

tbc.

Heum ... (":

ARUNIKA [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang