8+7 | Weird

10 1 0
                                    

"It's getting even weirder as days passed. What's actually wrong with me?"

|
|

Sudah berapa jam Jimin tertidur pulas? Bahkan fajar belum terbit saja dirinya lagi-lagi terbangun. Jangan tanya kenapa sebab jawabannya membosankan—kepalanya yang masih nyeri.

Ia bolak-balik berpikir untuk membangunkan orang sekamarnya itu atau tidak. Ia merasa sudah menyusahkan dalam banyak aspek, jadi untuk yang satu ini sangat dipertimbangkannya. Seperti mau membangunkan macan buas saja.

Dan akhirnya setelah semenit berpikir, keputusannya tercapai. Ia sudah menyerah. Lelah mempertahankan diri sendiri agar tetap terjaga dengan kondisi setengah menyedihkan begini. Padahal semalam ia sudah minum obat, namun bisa-bisanya nyeri kembali menyerang. Bermusuhan sekali mereka sepertinya.

Badannya digeser ke ujung kasur, tangannya berusaha menggapai bahu Seokjin dan menepuknya pelan. "Hyung, aku tetap tidak bisa tidur."

Seokjin menggeliat kala badannya menangkap sebuah sentuhan di bagian punggungnya. Butuh waktu beberapa saat menunggu hingga akhirnya ucapan Jimin dibalas dengan ia yang membuka mata, menggerakkan tulang belakangnya dan bersandar. Tampaknya setengah nyawanya masih di alam mimpi.

"Astaga, ini sudah pagi?" adalah satu kalimat pertama yang keluar.

Jimin menggeleng, yang hanya tampak samar-samar dari si penanya. "Belum."

"Lalu?"

Jimin menunjuk kepalanya, sudah terlalu lelah membicarakan hal ini terus. Ia saja bosan, apalagi orang lain. Ini sebelas dua belas dengan Seokjin yang mulai bosan dengan teori-teori atom atau apa pun yang berbau sains. Tapi bagaimanapun juga ia tetap harus belajar, sebab sebentar lagi ujian.

Tak apa, berjuang dulu di awal, senang-senangnya belakangan saja. Toh, hidup masih panjang.

"Aku rindu ayahku, hyung."

Kalimat itu terlepas begitu saja dari mulutnya, yang jelas mengagetkan Seokjin. Diubahnya posisi menjadi benar-benar duduk, juga memperbolehkan Jimin duduk di hadapannya setelah beranjak turun dari kasur. Matanya menatap sendu presensi orang di depannya yang menampilkan kegetiran dalam raut wajahnya.

Tak kuat. Seokjin tak kuat menahan ego untuk tidak membawanya langsung ke dekapan hangatnya.

"Tapi apakah dia merindukanku juga? Sepertinya—"

Jimin menengadahkan kepalanya ke atas dan menghirup oksigen dengan rakus. Seolah ini titik penghabisannya.

"—tidak."

Seokjin hanya bisa mengusap punggungnya perlahan. Ia tentu tidak mau memperparah keadaan dengan berkata hal-hal tidak jelas.

"Jadi, sesungguhnya tak ada guna merindukannya, 'kan?"

Pemuda yang mendekapnya masih bungkam, tak berani membalas. Di saat seperti inilah ia sangat berharap untuk menjadi sosok yang membantu, kendati realitas berkata lain. Ia tidak bisa memberi apa-apa selain dorongan mental, walau terkadang sebenarnya ia seorang juga butuh.

Tapi, ya, ia bersyukur bisa membantu orang lain terlebih dulu. Setidaknya begitu prinsipnya, hingga ia sudah tak kuat lagi, nanti.

Maka Seokjin menjauhkan kedua tangannya dari badan Jimin, menatap sekilas ke arah karpet guna mencari akal sehat sebelum mengangkat kembali kepalanya dan berucap, "Hei, Jim, coba tatap mataku sebentar."

Seokjin meremas pelan bahunya. Ia mencari secercah sinar dari netra di hadapannya. Walau gelap, ia yakin cahaya tetap bisa terlihat jika itu dari matanya yang indah bagai bulan sabit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARUNIKA [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang