"There were many fake people. Way too many till I couldn't trust them anymore."
|
|Jimin berjalan menyusuri koridor lantai dua dengan secuil rasa penyesalan akan pilihannya untuk masuk sekolah. Padahal, semalam setelah menyelesaikan aksinya, ia bertekad meliburkan diri dari sekolah selama seminggu lamanya—alias, membolos.
Tapi, apa boleh buat. Dirinya tetap sama, selalu dihadapkan akan dua pilihan bertolak belakang di alam bawah sadarnya. Tampaknya kali ini ia diperintah untuk berbuat baik. Tidak tahu kalau besok, entah ia akan masuk atau tidak.
Setidaknya, ia masih punya tujuan selain belajar, yaitu untuk menemui Namjoon sesegera mungkin. Ini keputusan bulat. Tidak seperti semalam.
Ah, rasanya Jimin ingin menertawakan dirinya sendiri mengingat kejadian semalam. Sinting.
Takdir sepertinya tengah berbaik hati. Netranya menangkap sosok yang dicari tengah berjalan menuruni anak tangga. Dipikirnya Namjoon hendak menuju kantin sekolah di lantai satu, sebab ini memang waktunya istirahat.
Jimin tak mau menyia-nyiakan kesempatannya, sehingga ia sedikit berlari kemudian memanggil, "Namjoon hyung!"
Sadar ada seseorang yang meneriaki namanya, Namjoon berbalik dan detik selanjutnya matanya sedikit terbelalak. "Wow, gaya baru? Kau terlihat lebih keren dengan hoodie begitu, Jim."
Lebih keren, ya?
Jimin mengangguk seadanya, sedikit merasa terganggu dengan pernyataan dari Namjoon barusan. Ia hanya perlu melakukan satu hal sekarang, yaitu bertanya. Memastikan sesuatu.
Dua pasang tungkai tersebut mulai membawa mereka ke lantai satu, bergerak secara perlahan menuju kafetaria—bukan kantin.
Dan ternyata di sini jauh lebih sepi ketimbang kantin yang ramainya minta ampun saat jam istirahat tiba.
"Hyung," panggil Jimin. Nadanya begitu datar dan terkesan dingin, bahkan Namjoon langsung menyadarinya.
"Ya? Ada apa, Jimin-ah? Apa kau sakit? Mukamu lebih pucat dari biasa—"
Jimin mendengus kala mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Namjoon. Ia benci jika dipedulikan oleh orang yang terpaksa untuk melakukannya. Ia pikir begitu.
"Aku tidak sakit. Aku hanya mau bertanya," kemudian tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Ditunjukkannya isi pesan yang masih menjadi misteri. "Apa kau pengirimnya?"
Namjoon mengernyitkan keningnya, bingung dan kaget akan tuduhan yang dilontarkan secara tidak langsung oleh lelaki di hadapannya. Selama ini, hubungannya dengan Jimin baik-baik saja.
Ia dulu memang pernah diceritakan Jimin tentang kehidupannya, semuanya. Tapi, apakah dengan begitu ia bisa membocorkannya pada siapa pun? Bahkan hingga menyebarnya? Belum lagi kalau itu hanya sekadar rumor belaka yang diragukan kebenarannya.
"Aku bahkan baru tahu kalau pesan itu ada, Jim. Kenapa kau berpikiran bahwa aku pengirimnya?" ia berusaha tenang, walau beberapa pasang mata telah mulai mengetahui keberadaannya akibat volume suara yang cukup kencang. "Dan isi pesannya .... Astaga! Kau tidak pernah menceritakan hal sepribadi itu! Kau lupa?"
Jimin menggeleng. Tangannya ditarik kembali dan ponsel ia kembalikan ke tempat semula. Jika diselisik lebih dalam, sebenarnya ia tidak begitu curiga dengan Namjoon. Hanya saja, emosi mengendalikannya. Setidaknya untuk saat ini. Ada banyak tekanan dalam benaknya.
"Jangan berlagak tidak tahu apa-apa kalau sebenarnya kau tahu banyak, hyung! Kau orang pertama tempat aku bercerita, dan sekarang?"
Namjoon terlihat hendak mengeluarkan kata-kata, namun suaranya tercekat. Demi apa pun! Ia tak sedang membuat jebakan sekarang, sebab nyatanya, ia memang tidak tahu apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA [M]
Fanfiction[ON HOLD] Seharusnya, semua berjalan baik-baik saja. Bergerak mulus sesuai alurnya, keindahan datang pada waktunya, dan tak ada hambatan sama sekali di tengah perjalanannya. Tapi, sangat naif rasanya mendefinisikan hidup kalau hanya ada suka tanpa d...