2+1 | Insecure

22 9 2
                                    

"I was always insecure of myself. I couldn't help but trust nobody, sorry."

|
|

"Eoh, Park Jimin, sampai kapan kau akan terus di sini?"

Jimin tidak menggubris pertanyaan tersebut. Ia justru mengambil sebuah jarum yang ada di atas meja dengan cepat.

Pergerakannya disadari oleh si penanya, dan dengan gesit pergelangan tangannya langsung ditahan. Ia sama sekali tidak mengantisipasi tindakan seperti ini.

"Apa yang mau kau lakukan, hah!? Jangan bertindak aneh-aneh, kumohon."

Jimin meronta, hendak melepaskan genggaman pada lengannya sambil meracau banyak kata yang tidak bisa dipahami oleh lawan bicaranya.

"Aku benci diriku sendiri, Namjoon hyung!" ujarnya sambil menunjuk dirinya sendiri. Itu satu kalimat yang jelas diucap.

Namjoon langsung bangkit dari posisi pertamanya dan menarik Jimin dalam dekapannya. Akhir-akhir ini emosinya memang susah terkendali. Ditepuklah bahunya beberapa kali, menenangkan. Hangat, bisa dirasakan olehnya.

Awalnya Jimin hanya mau menginap dua hari, namun Namjoon takut jika ia tinggal sendiri di rumah akan melakukan banyak hal di luar dugaan.

Namjoon tahu, temannya itu butuh orang lain di sekitarnya. Ia tidak bisa terus-menerus sendiri. Namjoon adalah satu-satunya orang yang membuat penalaran paling logis semenjak Jimin ditinggal keluarganya; belum ada sosok Kim Seokjin pada kehidupannya. Saat itu Jimin masih berumur dua belas tahun-terlalu muda untuk tinggal sendiri dan nampaknya terlalu tua untuk merengek agar ia tetap bisa tinggal bersama.

Setelah Jimin puas mengeluarkan semua air mata yang ditahannya sejak tadi, ia berkata dengan suara serak, "Hyung, bagaimana kalau waktu itu aku tidak berhasil?"

Namjoon tersentak. Kejadian beberapa tahun silam kembali diungkitnya lagi, membuka luka lama yang telah ia coba timbun dengan masa-masa bahagia. Walau dirinya tak secara langsung bersangkutan, pedih masih dapat dirasanya karena ia orang yang turun tangan pertama kali.

"Kau ...," Namjoon tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Semakin lama pembahasan ini berlanjut, semakin susah pula untuk ia dapat melupakan segala yang telah berlalu.

Beberapa saat setelahnya, Namjoon merasakan sebuah perubahan-orang di hadapannya berubah lemas, tidak seperti biasanya. Ia segera merebahkan tubuh Jimin di atas kasur. "Park Jimin! Kau kenapa!?"

Namjoon segera meraih ponselnya, hendak menghubungi Seokjin-ialah yang cenderung bisa menangani masalah medis. Namun, ujung bajunya ditarik oleh Jimin.

"Tolong jangan beri tahu Jin hyung .... Aku baik-baik saja," ucap Jimin lirih.

"Tidak! Kau tidak baik-baik saja, aku tahu itu. Sekarang pilih, Seokjin atau rumah sakit?" Namjoon berkata dengan cepat, masih dalam posisi di samping tempat tidur dan memegang ponselnya di tangan kanan.

Jimin menghela napas, ia pasti kalah jika mengelak dari Namjoon.

Lama ia bungkam, Namjoon akhirnya menyimpulkan, "Baiklah, kita ke dokter. Oke?"

Sekarang jam menunjukkan pukul satu siang. Rasanya belum telat untuk ke rumah sakit. Tapi yang menjadi masalah, mereka belum membuat janji dengan salah satu dokter.

"Hyung ...."

Namjoon membuang napas kasar, melirik ke sumber suara. "Apa lagi!?"

Ia mengacak rambutnya, merasa sedikit bersalah karena telah membentak temannya itu.

ARUNIKA [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang