4+6 | Reason

17 6 2
                                    

"Has anyone ever said that giving out reasons is a must? 'Cause I don't have any."

|
|

Malam ini, Jimin sudah berkali-kali memohon kepada Seokjin agar dirinya diperbolehkan ke apartemen tempat Namjoon tinggal. Hanya sebentar, katanya, tapi tetap saja ia tidak diperbolehkan. Percobaan membujuknya hampir menyentuh angka sepuluh kali dan ia belum kunjung mendapat hasil yang sebanding.

Ia tetap bersikeras ke rumah kakak kelasnya yang satu itu. Harus. Tidak boleh tidak. Yah, ia memang bisa berubah menjadi pribadi keras kepala pada saat tertentu.

"Ayolah, hyung, aku tidak akan hilang ke mana. Astaga! Aku bukan anak kecil lagi!" rengeknya untuk ke sekian kali.

Seokjin berdecak gemas. Sudah banyak kata 'tidak' terlontar dari mulutnya sampai-sampai ia bosan sendiri mendengarnya, namun lelaki di hadapannya tetap memaksa.

"Ini sudah malam, Jim. Lagi pula, apa yang mau kau lakukan, sih?"

"Em ..., memastikan sesuatu."

Seokjin menggeleng, membuat Jimin mengerucutkan bibirnya. "Apa tidak bisa kalau kau lakukan itu besok di sekolah?"

Jimin terdiam. Benar juga, pikirnya dalam hati. Tapi ..., "Di sekolah tidak bebas, hyung. Dia pasti lebih banyak menghabiskan waktu mengerjakan tugas atau belajar saat istirahat."

Seokjin kelewat kesal. Ia mengacak rambutnya sebelum memutuskan untuk mengiakan permintaan Jimin (sebab semakin dilarang, orang itu akan semakin menjadi-jadi). "Ah, baiklah, baiklah! Tapi, kau harus jawab pertanyaanku terlebih dahulu."

Netra Jimin langsung berbinar. Kedua telapak tangannya terkepal saking senangnya dan setengah teriak ia berkata, "Akhirnya!"

Seokjin menghabiskan cokelat hangat dari gelasnya sambil menyusun kalimat dalam otaknya. Satu pertanyaan yang mau dilontarkannya dapat disalahartikan Jimin jika kata-kata yang dipakai kurang tepat, dan akan menjadi hal buruk setelahnya.

"Nah, mengapa kau dua hari ini selalu terlihat memakai baju lengan panjang?"

Yang ditanya terkesiap. Seketika ia merasakan sensasi dari dalam tubuhnya yang agak aneh. Degup jantungnya terasa bahkan dari luar dan aliran darahnya jauh lebih cepat dari biasanya. Ia merasa sedang ... diteror, oleh seseorang yang seharusnya dipercayai.

"A-aku harus pergi sekarang. Akan kembali sebelum jam sebelas. Sampai jumpa!" ucapnya sambil beranjak dari kursi tempat ia duduk sedari tadi, menuju ke pintu untuk ke luar rumah.

Seokjin hendak meneriaki namanya namun telat, lelaki itu sudah hilang dari pandangannya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri sebab memilih opsi yang salah; mengizinkan, bukan sebaliknya.

---

Jam dinding yang terus berdetik di ruang tamu rumah Seokjin menunjukkan pukul sepuluh.

Mungkin ia seharusnya mengerjakan tugas, atau ... belajar. Ya, mungkin. Ujian sudah dekat, tidak ada alasan lagi untuknya tidak melakukan hal-hal tersebut.

Namun, kenyataan berkata lain.

Ia tengah terduduk diam di sofa tempat beberapa hari lalu ia dan Jimin berbincang. Bedanya, sekarang hanya ada ia seorang. Ibunya di kamar dan ayahnya di ruang kerja.

Ia sudah mencoba menghubungi nomor Jimin, tetapi tidak diangkat. Ah, lebih tepatnya tidak tersambung. Ponselnya tidak aktif. Padahal ia yakin tadi Jimin membawa ponsel di saku celananya.

ARUNIKA [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang