"Everyone was always masked. We buried our true selves because we were too afraid of the society."
|
|Jimin melangkah masuk ke ruang kelasnya dan langsung dihadiahi tatapan tajam oleh seluruh manusia penghuninya, membuat nyalinya menciut seketika bagaikan masuk ke kandang berisi puluhan ekor singa kelaparan yang siap menerkamnya kapan saja.
Apa-apaan ini? Baru juga melangkah sekali.
"Ya, Jimin-ssi, keluargamu makin hancur, eoh?" tanya salah seorang lelaki dengan nada sarkas.
"Bukankah dia memang tidak punya?"
"Ah, iya, benar juga."
Jimin mengepalkan tangannya kuat, berang. Ia ingin membalas, tapi tak tahu harus dengan cara apa. Ia hanya menunduk, berjalan melewati mereka dan menaruh tasnya di atas kursinya kemudian keluar dari neraka sialan itu.
Mengapa hanya dalam sekejap semua murid di kelasnya berubah semenyeramkan ini? Bahkan sepertinya hanya satu dua orang yang mengetahui seratus persen kebenarannya, tuh. Mungkin juga sesungguhnya sebagian besar tadi hanya diam karena takut dengan si penguasa kelas yang secara tidak langsung telah memberinya bully-an secara verbal. Gila.
Sekarang, seperti biasa, ia berjalan menuruni anak tangga menuju kelas Seokjin. Sepanjang perjalanan, rasa takut menghantuinya sebab banyak pasang mata memberi tatapan tak senang padanya. Apakah aku sehina itu di mata kalian? tanyanya dalam hati.
Sebelum benar-benar menginjakkan kaki ke ruang kelas Seokjin, ada yang menepuk pundaknya dari arah belakang. Ia menoleh dan mendapati seseorang yang tidak asing di matanya.
"Namjoonie hyung?"
Lelaki di hadapannya mengulas sebuah senyuman lebar yang menampilkan lesung pipinya. "Pagi, Jiminie. Kau ... mau ke mana?"
"Pagi juga, hyung. Eoh, biasa, menemui Seokjin hyung," balas Jimin.
Namjoon kemudian mengangguk, menepuk bahu lawan bicaranya. "Aku akan memberi tahu mereka-mereka yang tadi mengganggumu di kelas untuk lebih baik bungkam. Mereka tidak tahu apa-apa, bukan?"
Sorot mata Jimin berubah intens. Ia menurunkan pandangannya ke arah sepatu yang dikenakan sebelum kembali kepada Namjoon. "Kupikir mereka tahu hampir semuanya, hyung. Aku tidak mengerti dari mana mereka mendapat informasinya."
"Ah ..., maaf. Mereka memang menyeramkan, sangat. Teknologi juga mendukung semua ini," balas Namjoon sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Stay strong, Jimin-ah. Aku yakin mereka akan mendapat balasan yang setimpal suatu hari nanti. Sebaiknya mereka berhenti sebelum aku melakukan hal yang tidak-tidak."
Jimin berusaha tersenyum. "Terima kasih, hyung. Aku duluan, ya." Ia kemudian melanjutkan langkahnya ke ruang kelas Seokjin. Suasana kelas jauh lebih menenangkan dibanding kelasnya sendiri. Ya, sebelum mereka semua mengetahui fakta dari dirinya, mungkin. Karena, hei, tidak ada satu pun manusia yang tidak menggunakan topeng, bukan?
Ia tidak menemukan eksistensi seorang Kim Seokjin di sana. Maka ia memutuskan untuk duduk di kursi langganannya dan menenggelamkan kepala di antara kedua lengannya. Tidak peduli apa yang ada dalam benak murid lainnya semacam, Untuk apa dia kemari?, atau, Bukankah dia anak kelas sepuluh? Mau coba-coba menyelundup masuk kelas dua belas?
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA [M]
Fanfiction[ON HOLD] Seharusnya, semua berjalan baik-baik saja. Bergerak mulus sesuai alurnya, keindahan datang pada waktunya, dan tak ada hambatan sama sekali di tengah perjalanannya. Tapi, sangat naif rasanya mendefinisikan hidup kalau hanya ada suka tanpa d...