"Did I just give you confusion? Well, I'll tell you the truth once I've found it out."
|
|Hari Senin di minggu yang baru, Jimin sudah kembali masuk sekolah. Semalam, alih-alih lanjut menginap di rumah Namjoon, ia justru diajak untuk tinggal di tempat kediaman keluarga Seokjin hingga dirasa sudah pulih total. Namjoon cukup mengerti dengan keadaannya sehingga ia setuju-setuju saja.
Kini ia dan Seokjin tengah duduk di tangga lapangan untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu tiga puluh hari terakhir. Jimin terus mengamati pemuda berkulit pucat yang tengah mengoordinasikan teman satu timnya di tengah lapangan. Menyusun strategi untuk pertandingan mendatang, mungkin?
Jimin pun menepuk lengan Seokjin yang bertumpu di atas paha kanan, dijadikan penopang dagunya. "Hyung, apakah dia kaptennya?"
"Dia siapa? Yoongi, yang warna bajunya beda sendiri?"
Jimin mengangguk. "Namanya Yoongi?" tanyanya polos. Ia sebenarnya tahu inisial lelaki itu dari yang tertulis di jersey basketnya.
"Iya, dan iya, dia kaptennya. Nama lengkapnya Min Yoongi, sekelas denganku. Dia jago, ya? Tentu saja, karena itulah dia dipilih menjadi kapten regu." Seokjin menjawab pertanyaan yang dilontarkannya sendiri sambil tertawa renyah, karena memang begitulah faktanya. Bohong kalau ia bilang temannya yang bernama Yoongi itu tidak jago basket.
Jimin bergumam kecil kemudian kembali fokus ke apa yang dapat dilihatnya. Atensinya teralihkan lagi-lagi oleh seorang lelaki yang tempo hari ditangkap indra penglihatannya, di tempat yang sama—di tengah lapangan, mengoper bola pada temannya.
Jimin pun berbisik pada Seokjin, telapak tangan kirinya ia pergunakan untuk mengurangi sisi terbuka agar suaranya dapat lebih terdengar. "Hyung, dia melihat ke arahku terus," kemudian ia tunjuk ke arah orang yang dimaksud.
"Lalu?"
Jimin menghela napas. "Waktu itu aku memilih pulang karena takut dengan tatapan yang diberikannya—entahlah. Maaf atas itu. Aku juga tidak tahu nama dia, apa hyung tahu?"
Seokjin tampak berpikir sesaat, kemudian membalas, "Taehyung, Kim Taehyung. Bukankah kalian seangkatan? Kau tidak mengenalnya?"
Jimin menggeleng. Ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada sebagai isyarat untuk 'tidak'. "Kami tidak satu jurusan. Lagi pula, aku memang tidak pernah berbincang dengannya."
Keheningan menjalar untuk beberapa detik setelah Jimin mengatakan hal tersebut. Tidak sepenuhnya salah, karena memang dirinya tidak pernah bercakap sama sekali dengan lelaki bernama Taehyung itu. Namun, ia berpikir bahwa ia pernah melihatnya. Atau itu hanya halusinasinya?
"Apa yang kau pikirkan, Jimin-ah? Jangan melamun." Seokjin menjentikkan jarinya.
Jimin mengerjap, mengumpulkan atensinya kembali pada apa yang benar-benar terjadi sekarang. Ia bungkam. Di satu sisi, ia ingin menjelaskan hal bersangkutan, namun sisi lainnya menolak. Perang dingin antara dua belah pihak bertolak belakang pada dirinya ini memang seringkali terjadi.
"Tidak ada, hyung. Sepertinya lebih baik aku pulang. Oh ya, aku mau mengambil beberapa pakaian dari rumah, apa hyung mau menemaniku ke sana?"
"Tentu saja aku akan ikut. Baiklah, ayo kita pulang," ucap Seokjin yang kemudian bangkit dan merangkul Jimin layaknya adik sendiri.
———
Jimin tengah memilih beberapa pakaian favoritnya yang akan dibawa ke rumah Seokjin untuk persediaan beberapa hari mendatang. Sesungguhnya, ia lebih ingin tinggal sendiri ketimbang di rumah Seokjin. Ia hanya ... tidak ingin menambah beban orang lain. Tetapi, ayah Seokjin masih meragukan kesehatannya. Ia sendiri juga, sebenarnya.
Seokjin mengedarkan pandangannya pada ornamen-ornamen yang ada dalam kamar. Netranya menangkap sesuatu yang cukup menarik perhatian. Ia pun pada akhirnya mengeluarkan suara, "Jim, kau hobi menari?"
Jimin mendadak membeku. Bibirnya terkatup rapat, berusaha untuk tetap bersikap tenang setelah mendengar pertanyaan yang lolos dari mulut Seokjin. Ia berdeham kemudian membalas, "Bisa dibilang begitu, mungkin? Tapi itu dulu saat kaca belum pecah. Sekarang kacanya sudah hancur berkeping-keping dan aku benci menari, sangat." Nadanya begitu datar; tatapannya pun demikian. Kiranya ini pertama kali pertanyaan Seokjin dibalas dengan dingin oleh seorang yang sudah menganggapnya kakak. Atau mungkin selama ini Seokjin hanya melebih-lebihkan.
Seokjin memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut karena dirasanya ini topik yang cukup sensitif.
Setelah Jimin selesai memilih beberapa pakaiannya, ia memutar kenop pintu hendak ke luar. "Ayo, hyung, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Kenapa ... kau tidak menari lagi? Dan kenapa kau menghindari anak tadi?"
Jimin kembali terpaku. Tangannya sudah mengepal kuat—ia benci ditanya perihal menari, sama seperti dirinya yang benci menari itu sendiri. Juga tentang kejadian tadi di lapangan yang bukan pertama kalinya. Tapi ia berusaha terlihat sesantai mungkin, terutama di depan Seokjin. Tangannya lanjut memutar kenop pintu dan kakinya perlahan melangkah keluar dari kamar.
"Ceritanya panjang, nanti saja."
———
Makan malam tidak pernah sehangat ini bagi seorang Park Jimin. Makan malam bersama dengan orang-orang terdekatnya bisa dihitung jari, mungkin hanya tiga atau empat kali selama ia menghirup oksigen di Bumi.
Kali ini Jimin kembali dibuat merasa hidup. Duduk di antara orang-orang yang sudah menganggapnya anggota keluarga sendiri sudah cukup membuatnya bahagia. Sesekali ia tersenyum dan bahkan tertawa saat Seokjin melontarkan pertanyaan-pertanyaan konyol padanya juga ayah-ibunya.
Setelah menelan suapan terakhirnya dari sendok dan menenggak habis segelas air putih, Jimin dan Seokjin duduk di sofa ruang tengah untuk berbincang sementara kedua orang tua Seokjin melanjutkan pekerjaannya masing-masing.
Jimin mengangkat kedua kakinya dan duduk bersila. Kepalanya ia sandarkan ke belakang dan matanya dipejamkan. "Kau tahu, hyung, aku sangat senang bisa ada di sini sekarang. Maksudku, tidak ada yang tahu, bukan, sampai kapan aku akan bertahan?" Ia tertawa kecil setelahnya.
Seokjin lantas terkesiap. Apa yang baru diucapkan Jimin benar-benar tidak lucu—setidaknya untuk ia seorang. "Sungguh, itu tidak ada unsur humornya sama sekali, Jim. Jangan main-main dengan perkataanmu."
Jimin membuka matanya dan tertawa; tawa yang dipaksakan kali ini. Ia menurunkan sandarannya, mengubah posisi menjadi setengah tiduran di atas sofa empuk ruang keluarga Seokjin.
"Soal yang tadi, mungkin sebelum tidur nanti kuceritakan? Tapi aku tidak tahu kapan," ucapnya, mengalihkan topik.
Sebuah malam yang dingin, penuh kesenyapan, dan gersang. Begitu pikir Jimin. Tidak ada yang benar-benar membuatnya tenang.
Ah, tiap hari juga sama saja.
Sedetik ia mendapat paparan sinar matahari yang indah di atas bukit; sedetik setelahnya ia kembali tersadar bahwa sekali saja salah melangkah, dirinya bisa jatuh ke dalam jurang—gelap, sempit, tak berpenghuni.
Seokjin bangun dari duduknya di sofa dan mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Jimin, membuatnya mengernyit bingung.
"Bangunlah, tidur di kamar saja. Ini sudah cukup larut."
Jimin menerima uluran tangan tersebut. Ia mengekor di belakang Seokjin sampai ke kamar.
Untunglah Seokjin tidak punya kekuatan super membaca pikiran. Sebab jika iya, maka segala bentuk pikiran yang ada di benak Jimin kini bisa terbongkar—parahnya lagi, semuanya adalah tentang seberapa besar keinginannya untuk segera musnah.
tbc.
Satu chapter setelah ini akan banyak memainkan perasaan hati. Siap-siap (":
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA [M]
Fanfiction[ON HOLD] Seharusnya, semua berjalan baik-baik saja. Bergerak mulus sesuai alurnya, keindahan datang pada waktunya, dan tak ada hambatan sama sekali di tengah perjalanannya. Tapi, sangat naif rasanya mendefinisikan hidup kalau hanya ada suka tanpa d...