Mohon maaf cerita dalam tahap revisi dan perubahan alur, terimakasih.
"You can be my bad boy, but understand That I don't need you again."
-Bad Boy (Cascada)***
Laki-laki itu duduk di sofa, matanya menatap layar laptop yang menyala, jari-jarinya bergerak di atas keyboard sementara di sampingnya terdapat banyak bekas bungkus makanan ringan yang berserakan, ia masih fokus pada kerjaannya—membuat power point untuk tugas hari Senin.
"Bang, Mamah berangkat ya." Suara ketukan sepatu yang menuruni tangga membuat ia menoleh sebentar, menatap sosok wanita cantik yang berdiri di depannya.
"Gak mau Abang anter?" tanya Zaki tanpa mengalihkan tatapannya.
"Gak usah, nanti naik taksi aja gampang."
"Mau kemana sih Mah? Masih pagi udah keluar?"
Lista diam mematung, ia menatap Zaki dengan tatapan tak terbaca. Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh anaknya, padahal itu termasuk pertanyaan sepele, sekedar basa-basi, tetapi mengapa untuk menjawabnya butuh banyak sekali pertimbangan. Ia ingin berbohong tetapi tak mau. Kalaupun jujur pasti akan berdampak hal yang lebih parah.
"Makam." Zaki menatap Lista sepenuhnya, bibirnya menampilkan senyum manis hingga kedua matanya menyipit.
"Kenapa gak bilang? Kalo gitu kita berangkat bareng kesana."
"Maksud Mamah, makam Papah Umar."
Senyumnya menghilang, sorot mata berbinar dan tertarik juga lenyap digantikan wajah datar dan tatapan tajam wajahnya memerah dengan tangan mengepal di atas keyboard laptop. Urat-urat lehernya tercetak jelas, menandakan laki-laki di depannya tengah menahan emosi.
Zaki diam, mencoba menahan emosinya untuk tidak berteriak di depan sang Mamah. Ia menghembuskan nafas panjang dan mengeluarkan lewat mulut. Matanya memanas, jika ia tak langsung mengusap matanya, cairan bening akan lolos dari sudut matanya. Rasa marah, benci, dendam, bahkan semua emosi buruk berkumpul menjadi satu membuatnya tak tahan, ingin melampiaskan semuanya kepada orang yang tepat—orang yang telah membuat hidupnya berantakan.
"Mamah pergi aja." Zaki mengalah, kali ini tak mau emosi yang menguasai dirinya, ia pendam amarahnya sendiri daripada harus melampiaskan kepada orang yang tak bersalah. Laki-laki kembali fokus ke layar laptopnya, mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda.
"Kamu gak marah?" tanya Lista dengan khawatir.
"Aku marah juga gak ada gunanya, kalo terus-terusan ngikutin emosi mau sampai kapan. Mamah bilang, itu masa lalu udah seharusnya dilupakan." Zaki mengingat tiap persis kata-kata penenang yang selalu
Lista lontarkan ketika emosinya meluap. Ia membenarkan ucapan Lista jika semuanya memang masa lalu yang tak seharusnya diungkit kembali hingga membuka luka lama yang sudah sembuh, ralat bahkan belum sembuh.Lista tersenyum dengan tatapan prihatin, ia bersalah, tetapi tetap tak akan menyalahkan masa lalunya, ia juga tak mau menyalahkan siapapun.
"Kalo gitu kamu Mamah tinggal nggak papa kan?" Sebenarnya ia ingin urungkan niatnya untuk pergi karena khawatir dengan keadaan Zaki. Tetapi melihat laki-laki tersebut tersenyum di depannya menyakinkan jika Zaki tak apa membuatnya melangkah pergi meninggalkan Zaki dengan sejuta pertanyaan yang selalu ia tanyakan kepada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unfinished Goodbye
Teen Fiction[Tahap revisi] "Karena mencintai tanpa dicintai kembali itu menyakitkan." Pernah mencintai sebegitunya hingga tak sadar bahwa kamu layak juga untuk dicintai, memperjuangkan orang yang entah hatinya untuk siapa, terus menunggu hingga kamu tak mengert...