4. Wanita baik untuk pria baik

85 5 2
                                    

Aradea bukan anak berandal, ditekankan bukan! Ia tidak shalat hanya saat praktik agama. Lima waktunya setiap hari tidak pernah bolong, Jum'atan tidak pernah ditinggalkan. Mungkin terkadang ibadah wajibnya dikerjakan dengan waktu kendur, tetapi ia tidak pernah malas berangkat ke masjid. Ayah dan Mas Rama yang mencontohkan sekaligus memberi teguran bila ia lalai. Tidak ada alasan baginya untuk tidak beribadah.

Jadi, Aradea jelas sangat percaya diri, bahwa dia adalah manusia baik-baik yang layak untuk mendapatkan gadis baik-baik juga.

Iya, itu asumsinya, Bunda yang mengajarkan dan Aradea percaya sepenuh hati.

Maka dari itu, dia berani mendatangi Faza untuk bertindak sebagai penjaganya, bahkan tidak keberatan disebut "calon" oleh ayah gadis itu.

Toh, Aradea memang berniat ke sana.

Tetapi hari ini, pemuda Hadinata itu seolah mendapatkan penegasan, bahwa dirinya bukanlah orang yang istimewa dalam seri petualangan kecil putri keluarga Irsyad. Faza yang cantik, layak disandingkan dengan pemuda yang setara elok wajahnya. Kakak mantan Ketua MPK itu bisa menjadi contoh konkretnya. Mereka terlihat seperti Rama-Sinta yang terbarukan, tetapi Rama yang dimaksud bukan lagi sang kakak lelaki.

Interaksi keduanya begitu alami saat dipandang, tampak menyenangkan. Aradea bisa mendengar pemikiran cemerlang sang veteran Ketua MPK selagi Faza menanggapi dengan begitu tertarik.

Skakmat, Aradea jelas kalah banyak.

Bel pulang berbunyi dan satu kegiatan rutin berhenti dilakukan. Sore itu, Sean langsung dibawa Aradea pulang ke bengkel Ayah, tidak segera ke rumah selepas sekolah. Mendapati hal yang tidak biasa, Ayah tampak bingung sewaktu mendatangi putra keduanya di muka bengkel. "Lho, kenapa, Ra? Sean ngadat lagi?"

Aradea perlu membuka helm lalu menggeleng. Tubuhnya dijatuhkan ke dipan bambu merapat dinding sebelum hela napas dibuang kasar. Helm hitam di simpan di meja kayu selagi sang Ayah berjalan mendekat.

"Kamu kenapa, Ra? Di sekolah lagi ada apa?" Ayahnya mencoba bertanya sepengertian mungkin, berusaha memahami suasana hati sang anak lelaki.

"Di sekolah nggak ada masalah apa-apa."

Ayah Aradea meredupkan pandangan. "Biasanya kamu cerita ke Bunda, ya? Ayah jadi nggak tau apa-apa."

Tubuh diputar mengarah pada pria yang telah mencecap asam garam kehidupan selama setengah abad di sampingnya. "Nggak, Yah. Betulan nggak ada masalah di sekolah. Ara cuma nggak mau pulang ke rumah." Pemuda itu mengabaikan ponselnya yang bergetar di balik saku celana. Hati kecilnya menguatkan bahwa bukan Faza yang repot-repot menghubungi. Pasti Semesta atau Axel, tanya-tanya soal tugas kimia untuk Jum'at nanti.

Ayahnya kali ini menerka hal lain. Intonasinya sedikit naik. "Kamu bertengkar sama Mas Rama?"

"Nggak, Yah. Aduh, Ara nggak bertengkar sama Mas Rama."

Dua mata Ayah memicing curiga. "Ini ada hubungannya sama kamu yang sering pulang telat dan berangkat lebih pagi?"

Aradea perlu memikirkan jawaban yang tidak memojokkannya. Matanya menatap sang ayah kikuk. "Pulang telat gimana, Yah?"

Senyum tulus menghiasi wajah tegas sang Ayah. "Ayah sudah bersama kamu seumur hidup kamu, Aradea putranya Ayah. Kamu mencari-cari alasan pun, Ayah tahu persis."

Aradea tersenyum. Canggung rasanya kepergok secara tak langsung. "Malu, Yah, kalau diceritain."

Ayah merangkul gemas bahu anak lelakinya. "Ya, sudah. Ayah tunggu sampai kamu mau cerita. Yakin ini nggak urgent dan nggak perlu kamu cari solusinya hari ini? Nanti kalau telat dapat nasihat, kamu malah udah melangkah terlalu jauh sampai semuanya jadi terlanjur dan nggak bisa diperbaiki."

"Nggak, Yah. Dibandingin sama masalah perut, soal ini mah nggak ada apa-apanya."

Senyum menenangkan itu masih saja menghiasi wajah sang Ayah. "Keluar topik dulu, kamu udah asharan, belum?"

"Udah, kok, Yah. Tadi di sekolah." Aradea menjawab sembari mengangkat dua ibu jari.

_____

Faza Adistia

Ara?    (16:45)

Masih di sekolah?    (16:45)

Maaf, aku pulang duluan naik angkot. Aku nggak lihat kamu di parkiran.    (17:29)

Kamu hati-hati, ya.    (17:30)

_____

Sorenya Bandung, masih saja mendung dan dingin. Aradea menunggu di lahan parkir, tepat dalam naungan rindang pohon mahoni. Dari kejauhan, Faza tampak berlari mendekat dengan wajah berbinar.

"Hai, Ara." sapa sang gadis dengan senyum lebar. "Aku senang, kamu baik-baik aja. Aku pikir ada sesuatu kemarin sampai kamu nggak bisa balas LINE aku."

Aradea memiliki tendensi luar biasa untuk bicara jujur, sulit baginya untuk berkelit. "Kemarin saya ke bengkelnya Ayah."

"Eh, ada apa sama Sean? Mogok?" Faza memiringkan tubuh, mengecek motor bebek 70-an di depannya.

"Bukan Sean yang kenapa-kenapa." Tapi saya.

"Terus?"

Aradea mengambil helm berkaca bulat di stang. "Ini." Tangan terulur tepat di hadapan Faza.

Pemuda itu menghindar, Faza merasakan dingin yang asing dalam dadanya. "Makasih." Si gadis mengenakan pelindung kepalanya sementara Sean diarahkan mundur keluar dari barisan parkir.

Keduanya berkendara dalam hening, Faza sungguh tak suka situasi ini. "Ara?" panggilnya agak kencang.

"Iya?"

"Kamu kenapa?"

"Memangnya saya kenapa?"

"Kamu beda."

Aradea tidak menjawab. Kecenderungannya untuk bicara jujur justru menekan mulutnya untuk tetap terkunci.

Lagi, mereka memilih untuk beribadah petang di masjid Jalan Elang. Belum juga selesai segala urusan, hujan mengguyur deras dataran Bandung dengan tiba-tiba, tampak pula enggan berhenti dalam waktu dekat. Selepas menyimpan ponsel di dalam tas, Aradea bergegas mendatangi Sean, mengambil satu setel jas hujan lalu menyerahkannya pada Faza. "Kamu pake, ya."

Faza hanya menerima, tidak menurut untuk mengenakan jas hujan si pemuda. Aradea berlari kembali ke arah Sean, kick starter dibuka lalu diinjak hingga lolos mendekati paving block.

"Ara, nanti aja starter Sean-nya. Ke sini dulu. Jangan hujan-hujanan." Faza berteriak, suaranya berlomba dengan derap jatuh air hujan. Aradea tak menggubris, masih berusaha menyalakan motornya susah payah.

Faza membentangkan jas hujan, dikenakan di atas kepala sebelum berlari untuk memayungi Aradea seadanya.

"Faza, kamu balik ke masjid aja. Kelamaan kena dingin nanti sakit." Aradea menengokkan wajahnya yang kuyu. Rambutnya menjuntai jatuh menutupi dahi.

"Aku di sini aja, sama kamu. Kamu kehujanan."

"Kalau gini, kamu juga ikut kehujanan. Udah, sana ke dalam."

"Aku ke dalam kalau kamu juga ke dalam."

"Iya, nanti."

"Aradea!"

"Dek!"

Faza menoleh ketika papanya berdiri di hadapannya dengan payung merah dadu. Gadis itu mengerutkan dahinya terkejut ketika justru suara Aradea yang menginterupsi.

"Malam, Om. Maaf udah ngerepotin Om jam segini. Tolong bawa Faza pulang, ya. Maaf saya nggak bisa nganterin Faza sampai rumah."

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang