11. Hukum kepantasan

64 4 0
                                    

Bukan hal yang menggemparkan bila kasus tawuran sore lalu terendus pihak sekolah. Rabu pagi, tak biasanya seluruh murid dikumpulkan di lapangan. Pak Sudirga sebagai koordinator menarik paksa Aradea dari barisan siswa di pojok lapangan dekat rindangnya pohon mahoni. Setengah digeret, Aradea akhirnya berdiri tepat di bawah podium pembina upacara. Pak Sudirga bertanya keras-keras di depan wajah si pemuda, menginterogasi apakah ada murid lain yang ikut serta dalam tawuran kemarin. Pasti yang terlibat tidak hanya satu, begitu pikirnya. Namun Aradea tampak kukuh tak mau menjawab, hingga kerah bajunya ditarik kasar.

"Lihat mata saya kalau kamu sedang diajak bicara!" Dan sebuah tamparan keras melayang ke pipi sang anak didik.

Aradea memicingkan dua alat pandang. Wajahnya menyatakan perang, masih tutup mulut seolah enggan membongkar identitas siapapun untuk terseret bersamanya ke situasi pelik buatan Pak Sudirga.

Dihentak cepat, Aradea akhirnya dilepaskan. Pak Sudirga menatap nyalang semua murid di lapangan, tak terkecuali sekumpulan anak OSIS di sayap kiri dekat ring basket. "Ini contoh murid yang bikin malu sekolah! Ah, bukan! Saya enggan menyebut anak ini sebagai murid!"

Faza menelan ludah, memaksa menghilangkan kerikil imitasi di kerongkongannya. Hatinya ngilu melihat Aradea ditampar tepat di depan mata oleh pendidik yang seharusnya dihormati seluruh warga sekolah. Gadis itu mendesakkan dirinya menembus kerumunan, berdiri paling depan untuk bergegas berlari bila Pak Sudirga mulai kalap.

Kejadian selanjutnya benar-benar tidak diduga, Pak Sudirga tampak mengatakan sesuatu yang membuat dua mata Aradea melotot naik pitam. Faza kontan berderap cepat ke arah podium ketika kekasihnya hendak mendaratkan sebuah tinjuan mentah ke wajah sang pengajar.

"Aradea! JANGAN!"

Faza datang tepat waktu, cekalannya berhasil menahan kepalan tangan Aradea ke bawah, hingga pukulan keras itu malah mendarat telak di bahu sang gadis.

Putri Irsyad tersebut terhuyung ke belakang, menabrak tubuh depan Pak Sudirga yang tampak begitu terkejut. Namun bukannya berhenti, emosi Aradea justru semakin menyalak naik. Pemuda itu menyingkirkan tubuh Faza yang bersikukuh menerjang ke depan untuk memeluknya.

"Aradea... Berhenti. Aku mohon... Aradea..." Faza berbisik lirih di dada sang pemuda disusul rasa basah di kemejanya. Tangis tertahan itu seolah menampar Aradea lebih keras ketimbang sambaran tangan panas Pak Sudirga di pipinya.

Beberapa anggota OSIS akhirnya mendekati tempat perkara, menarik mundur Aradea diiringi Faza yang melepaskan pelukannya perlahan. Linang basah menjejak di wajah manis kekasihnya yang terus-menerus menggigit bibir. Gadis itu akhirnya memutar tubuh sebelum membungkuk di depan Pak Sudirga, memohon tulus sebuah pengampunan atas nama Aradea.

_____

Hasil finalnya, Aradea diskors selama seminggu, ia dipaksa merenungi kesalahannya sendiri di rumah. Dan Faza sudah tidak menemui pemuda itu ketika hari Rabu merangkak ke senja selepas bel pulang berbunyi. Bahunya agak nyeri, ditambah hatinya yang benar-benar kalut, semua itu karena Aradea.

Seluruh anggota OSIS maupun MPK tidak ada yang pernah mendengar rencana tawuran itu. Faza bahkan terkejut saat tahu Aradea-lah yang justru digelandang ke tengah lapangan oleh Pak Sudirga. Apa yang dilakukan pemuda itu setelah mengantarnya pulang ke rumah? Ke mana ia pergi setelahnya?

Faza kesal karena tidak berhasil menemukan petunjuk bahwa keributan itu memang direncakan. Atau minimalnya, alibi bahwa Aradea dan teman-temannya menjadi pihak yang diserang saat insiden terjadi. Paling tidak, Faza harus bisa menemukan sesuatu untuk membebaskan Aradea dari detensi.

Mengarungi jalur setapak menuju ke jalan utama sendirian, sebuah motor tua tampak mengiringi langkah gadis Irsyad itu dari tepi trotoar. Faza berhenti melangkah, disusul pemuda bermotor yang kini melepas stang gasnya.

Lelaki itu masih enggan menatap balik Faza. Helm cakilnya masih terpasang apik, tertunduk menatap spidometer.

"Bahu kamu gimana?"

Faza mengerutkan dahinya sewaktu suara si pria muda tak benar-benar sampai ke indera pendengarannya. "Apa, Ara?"

"Bahu kamu gimana?"

Faza mendireksikan kepala berlapis helm itu ke arahnya, kaca dan bagian bawah si cakil hitam dibuka sampai dahi. "Nggak kedengaran, Ara."

Aradea membuang muka, tidak suka dihujani tatapan subtil Faza. Sesuatu mungkin tengah menciptakan badai di kepala sang pemuda dan Faza menunggu semua itu untuk diungkapkan.

"Kalau dipikir-pikir lagi, saya memang nggak pantas buat kamu, ya. Udah dua kali kamu nangis karena saya, hari ini bahkan saya udah melukai kamu."

Faza terdiam sesaat. Dari banyak pemuda yang pernah ia kenal, Aradea adalah satu dari segelintir manusia paling sering gelisah yang pernah Faza tahu. "Yang ada justru aku yang nggak pantas buat kamu, Putra." Gadis itu mencoba memulai dengan memanggil nama tengah si anak laki-laki. Pandangannya juga mencari sorot redup di dua mata sang lawan bicara. "Kamu ganteng, terkenal, komandan tempur, punya banyak teman. Sementara aku ini apa, Ara? Perempuan yang nggak sengaja jadi teman kamu pulang-pergi ke sekolah, lebih banyak nyusahinnya, terus cerewet lagi. Nggak cocoklah sama kamu yang punya banyak hal di genggaman." Kekehan kecil menguar dari bibir Faza, namun tak mengundang ekspresi apapun dari Aradea.

Bibir tipis Aradea bergerak kecil, rautnya masih keras. "Jangan ngomong gitu."

Faza tidak yakin dengan daya dengarnya, ia menyatukan dua alis selepas mendengar ucapan samar Aradea.

"Dengan kamu bicara gitu, itu berarti kamu nggak tau kalau saya sayang sekali sama kamu." Mata pemuda itu menajam. "Kalau kamu tau saya sayang kamu, kamu nggak akan berani bilang diri kamu seburuk itu dan mengambil kesimpulan kalau kamu bukan orang yang tepat buat saya."

Faza tersenyum. "Itu juga yang aku pikirin, Ara. Kalau kamu juga tau aku sayang kamu, kamu nggak akan menjelekkan diri kamu sendiri kayak tadi. Aradea-nya aku nggak seburuk penilaian kamu. Dia laki-laki baik yang sampai hari ini masih punya janji buat bahagiain aku."

Iya, Aradea tidak akan lupa.

Begini, ya, kalau Aradea disebut Faza sebagai tukang gombal, maka bandingkanlah berapa kali jantung si pemuda meletup-letup dalam bahagia hanya karena ucapan sederhana gadis di depannya? Gelar tukang gombal lebih cocok untuk siapa, sih, sebenarnya?

Uh, apa ada sosok gadis yang lebih hebat dalam hal membahagiakan hatinya ketimbang Faza? Tidak ada, gadis ini hanya satu-satunya, dan Aradea telah digariskan menjadi pria paling beruntung karena mampu memiliki hatinya.

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang