3,2. Agenda mingguan

31 3 0
                                    

"Faza?"

"Iya?"

"Nggak jadi."

"Hah? Apa?" Kepala Faza mendekat ke bahu kanan Aradea. Deru suara Sean bersahutan dengan kendaraan lain di jalanan Bandung, membuat gadis di boncengan tak mendengar pasti ucapan si pengendara. "Sorry, nggak kedengaran."

"Nggak, Faza. Nggak jadi."

"Ih, Aradea!"

Si pemuda di bagian depan jok Sean hanya tertawa pelan. "Za, manggil Aradea utuh kayak gitu nggak capek?"

"Capek?" Lucu rasanya mendengar gadis itu selalu mengulang pertanyaan yang diajukan padanya.

"Iya. Kepanjangan, kan?"

Faza mengerutkan alis sebelum mengungkapkan argumennya. "Soalnya aku nggak tahu kamu sukanya dipanggil apa. Dipanggil Ara? Atau dipanggil Putra? Terus barangkali aja kamu punya panggilan unik masa kecil dan lebih suka dipanggil kayak gitu."

"Kalau di rumah, sih, seringnya dipanggil Ara. Dipanggil lengkap Aradea Putra kalau Ayah udah habis kesabaran."

"Anak bandel." Faza tergelak geli.

"Kalau nggak bandel, berarti bukan lelaki."

"Juara ngelesnya, tuh."

Aradea memundurkan kepalanya hingga dua helm hitam itu berbenturan. "Kamu boleh panggil saya pakai nama apapun. Ara, boleh. Putra, boleh. Pangeran Aradea dari kahyangan langit ketujuh, juga boleh. Panggil sayang, apalagi. Boleh banget."

"Aradea sayang?"

"Iya, sayang?"

Rasanya mual sekali. "Geli, ih." protes Faza sembari memukul bahu Aradea. "Bukan siapa-siapa juga udah minta panggil sayang." ucapnya agak menggerutu.

"Bilang apa, Za?"

"Besok aku mau ke KUA." Gadis itu menjawab asal.

"Eh, mau apaan, nih? Saya belum siapin persyaratan." Nada bertanyanya sumringah, jelas sekali terdengar walaupun teredam kaca si cakil.

"Bukan. Cuma mau lihat di depannya ada tukang batagor apa nggak."

Perlu dua detik sebelum Aradea menyahut. "Lagi mau batagor?"

"Iya, tapi besok."

Kebingungan makin membuat tanda tanya besar di kepala Aradea. Kalau gitu, kenapa ngomongnya sekarang? Terus saja ia memikirkan sejumlah spekulasi kecil hingga Sean berhenti di gerbang depan kediaman keluarga Irsyad.

Faza menapak tanah dengan sebelah kaki sebelum tungkai satunya menyusul menyeberangi jok si Honda 70-an. Helm bogo dilepas, diserahkan pada pemiliknya yang tersenyum dengan cakil setengah terbuka.

"Masuk dulu, yuk, Ara." ajak Faza menunjuk rumahnya dengan dahi.

Si pemuda di atas motor tidak perlu menimbang apapun untuk segera menggeleng. "Nanti lagi aja, ya. Hari ini saya mau langsung pulang."

Faza mencebikkan bibir bawahnya, setengah merajuk. "Lagi banyak tugas?"

Gelengan kembali yang menjawab lebih dulu. "Udah malam soalnya, Za. Kalau saya bertamu, nggak enak sama Mama Papa kamu. Mereka pasti lagi istirahat."

"Nggak, kok. Masuk dulu, yuk. Sebentaaar aja." Faza separuh memohon sembari memiringkan kepalanya. Tampak begitu lucu seolah ada filter berkelap-kelip di mata Aradea.

"Besok aja, ya, Za. Maaf banget."

"Aku bantuin kamu kerjain tugas, deh. Pokoknya masuk dulu." Dua tangan Faza memegang erat lengan kanan Aradea.

"Nggak, bukan soal tugas, Za."

"Terus apa?"

"Ya, nggak ada terusannya."

Mata memicing, Faza semakin keras kepala. Pegangannya pun mengerat. "Ngomong dulu ada apa, baru aku bolehin kamu pulang."

"Hari ini hari meninggalnya Bunda." Aradea mencoba tersenyum tipis, agak tak enak membeberkan sesuatu yang sebenarnya masih terlalu asing untuk diceritakan kepada orang lain. "Saya, Mas Rama, sama Ayah punya agenda sendiri setiap hari Jum'at khusus buat Bunda. Maaf, ya."

Sepasang lengan yang semula melingkar ketat akhirnya lepas, Faza menunduk salah tingkah. "Ma-maaf, Aradea. Aku nggak tahu."

"Nggak apa-apa." Telapak kanan Aradea menemukan tempatnya di pucuk kepala Faza. "Udah, sana masuk ke dalam. Jangan pasang muka kusut kayak gitu, nanti cantiknya ketutupan."

Faza melirik ke atas ragu-ragu, menatap wajah teduh Aradea. "Jadi tiap Jum'at kamu harus pulang cepat?"

Angguk kecil menyambut. "Udah, sana masuk. Besok sore, saya boleh kamu ajak ke manapun, ke KUA cuma buat lihat mang batagor juga boleh." Senyum menjadi penutup ketika bagian dagu helm cakil diturunkan. Kepala itu mengendik ke arah rumah sementara Faza membuka pintu pagarnya.

"Hati-hati, ya." Faza menyelipkan tubuh di sela pagar, lalu menguncinya. "Aku ingin ketemu kamu besok dan besoknya lagi, teruuus sampai nanti yang nggak tahu kapan."

Dibalik helm, Aradea tersenyum lebar, mewakili hatinya yang melonjak girang.

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang