2. Saingannya Bunda

128 7 4
                                    

Aradea sudah mendeklarasikan---secara sepihak---bahwa Faza Adistia Irsyad adalah sebagian dari jiwanya, terhitung semenjak kantin ketiga dari kiri memasang nasi soto ayam sebagai salah satu menu tawaran. Sebenarnya bukan si makanan berkoya yang menjadi rumusan perkara, tetapi hari itu Aradea sedang bolos ke kantin. Modusnya ke toilet, sebenarnya ingin sarapan karena Ayah mendadak harus ke Kediri kemarin sore---meninggalkan ia berdua saja dengan sang kakak lelaki. Alhasil meja makan keluarga Hadinata kosong sama sekali pagi itu. Mas Rama benar-benar tidak bisa diharapkan untuk urusan dapur dan keahlian Aradea cuma sebatas cuci piring dan baju. Hanya Ayah saja yang bisa menangani masalah perut dua anaknya.

Oleh karena itu, dua saudara ini sepakat untuk makan di luar saja; Mas Rama di kantornya, Aradea di kantin sekolah. Tetapi sedang naas sekali, Honda ganteng kesayangan Aradea ngadat karena tidak dipanaskan dahulu sebelum digunakan. Buru-buru, dalihnya, biar punya waktu sebelum bel upacara berbunyi---agar bisa sarapan bubur ayam lebih dulu di belakang sekolah. Namun bukannya gegas, si ganteng 70-an malah pundung tidak mau jalan.

Ternyata belum habis si sial ini, ketidakberuntungannya seolah dilipatgandakan menjadi dua. Selagi Aradea baru mengunyah satu suap nasi soto hangat di dalam mulut, Pak Sudirga sudah bersedekap di depan meja dengan wajah garang menatap sang murid kelas 11.

"Kamu, kok, di sini? Kabur dari kelas?"

Kuah yang melipir ke dagu segera diseka, dua kaki ditegakkan. Aduh, tertangkap basah. "Ng-nggak gitu, Pak." Aradea tidak bisa membela diri, kenyataannya ia ada di kantin makan nasi soto ketika jam pelajaran masih berlangsung. "Saya cuma---"

"Dia sama saya, Pak."

Aradea menengok ketika aroma khas bedak bayi menyapa indera penciuman. Seorang gadis meletakkan air mineral dalam botol di samping mangkuk makanannya. "Tadi dia pucat saat upacara, Pak. Saya lihat dia betulan lemas jadi saya temani dia makan di sini." sambung gadis itu memberi penjelasan.

Tak diduga bila Pak Sudirga langsung memasang wajah paham. "Saya kira dia bolos kelas. Kalau ternyata sama kamu, ya, sudah." Guru Fisika itu pun pamit untuk kembali berkeliling sebelum bertugas di balik meja piket.

Remaja putri itu tampak membuang napas lega sebelum mengambil tempat di tepi bangku. "Udah, kamu lanjutin makannya."

Aradea ikut duduk dengan kaku, dia tahu bahwa gadis yang sudah menolongnya ini adalah salah satu anggota OSIS---tampak dari pita merah putih yang terpasang di bawah badge lokasi sekolah. Kalau begini kejadiannya, ini, sih, sama saja dengan lepas dari lubang buaya lalu masuk lubang singa. Maju kena, mundur pun kena.

Hei, walaupun Aradea ini anggota geng motor sekolah, dia masih anak baik-baik; shalatnya rajin, jarang bolos sekolah---kecuali kalau diajak main bareng dota atau touring ala-ala ke Ciwidey. Buku siswanya pun masih kosong, bersih, belum ada catatan pelanggaran. Begini-begini juga, Aradea paling tidak mau Ayah dan Bundanya kecewa karena ia punya nilai merah.

"Masih lemas, nggak?" Gadis OSIS itu membuka kotak obrolan.

"Siapa?" Aradea bertanya balik.

"Kamu. Tadi aku lihat dari depan pas upacara, kamu udah nunduk-nunduk, kadang pegang lutut. Nggak ngerti kenapa nggak ada satupun anak PMR yang datangin kamu."

Aradea menggulirkan bola mata ke kanan. "Saya baik, kok." Lalu si anak lelaki tertarik melirik badge nama sang lawan bicara, ingin tahu malaikat penolongnya dari ceramah panjang Pak Sudirga. Memang dasarnya Aradea ini bokep, sih---

---alias bocah kepo.

Hayo, mikir apa kalian?

Aradea buru-buru mengalihkan pandang setelah mendapatkan nama sang gadis. Kan, tidak lucu kalau dia malah kedapatan memandang lama dan penuh minat ke area di bawah leher anak perempuan, heu!

Sebagai bayaran kejelian matanya, Aradea mendapatkan dua kata, ditambah satu abreviasi dari badge putih dengan tulisan hitam itu.

Faza Adistia I.

Aah, namanya cantik---secantik orangnya.

Semudah ia datang, semudah itu pula ia pergi. Awan putih di kepala si pemuda cepat sekali hilang, berganti letupan bola pemikiran yang lain. "Kamu, kok, bisa di sini?"

Gadis bernama Faza itu menaruh dua tangan di pangkuan. "Aku baru dari kelas 10-3 dan 10-5, nyerahin daftar murid yang nggak bisa ikut jam pelajaran pertama karena harus istirahat dulu di UKS. Aku pikir di UKS tadi ada kamu, ternyata nggak. Dan nggak tau kenapa akhirnya aku malah berpikir kamu ada di sini. Tapi ternyata insting aku benar." Ia tersenyum, sangat manis. Senyum paling menenangkan kedua setelah senyumannya Bunda.

Lumer, tuh, kan.

Serius, deh, sejak Aradea bisa mengingat, hanya Bunda satu-satunya perempuan yang pernah ia puji cantik. Tetapi mulai hari ini, Faza resmi menempati urutan kedua wanita tercantik setelah Bunda di benak Aradea.

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang