3. Kenalan

113 7 13
                                    

Faza tidak meminta Aradea menunggunya hingga rapat pleno OSIS berakhir, sungguh. Ia bahkan tidak menghubungi anak itu dan berhenti menggubris setiap chat yang dikirim. Maka ketika Faza hampir mencapai gerbang sekolah untuk pulang ke rumah, segelintir perasaan kaget bercampur tidak paham menyeruak di dada dan kepalanya. Kenapa Aradea mau menunggunya sampai nyaris maghrib begini?

Senyuman pemuda itu masih sama ketika menatap wajah Faza yang terburu-buru berlari mendekati lahan parkir depan aula. Benar-benar tidak tergantikan. Putri tunggal keluarga Irsyad tersebut menerima uluran helm bogo---yang sekarang jadi beraroma seperti samponya---dari Aradea. Kaitan masuk ke dalam slot tepat ketika jaket denim biru belel tersampir di dua bahu. "Pake, ya. Jangan nunggu dipakein." Aradea tidak menanti persetujuan selagi menyunggingkan senyum teduh.

Masih saja bisa menggombalinya, kalau Faza ada di posisi Aradea, mungkin gadis itu sudah kesal akibat terlalu lama menunggu.

Oleh karenanya, Faza memberanikan diri bertanya. "Kamu nggak marah?"

Honda ganteng di-starter, bunyi berisiknya membuat Aradea harus balik bertanya. "Apa, Cantik?"

"Kamu nggak marah karena nunggu aku selesai rapat?"

Aradea menggumam panjang, di tubuh pemuda itu hanya ada selembar seragam, tanpa potongan pakaian lain untuk melindunginya dari dingin. "Nggak perlu kayaknya. Saya yang mau nunggu kamu, ya, ngapain marahnya ke kamu?"

Lucunya, Aradea seolah tidak akan pernah kesal bagaimanapun dirinya kerepotan hanya untuk membersamai Faza, sampai harus ripuh menunggu sendirian di parkiran sekolah.

Eh, tidak sendiri, kok. Kan, ditemani Honda CB 1971-nya.

Stang gas diputar ke dalam, bunyi knalpot berasap semakin kencang. "Tunggu sebentar, ya. Sean suka nggak mau maju kalau nggak dipanasin dulu."

"Sean?"

Aradea seolah melupakan sesuatu dan diingatkan dengan cepat. "Motornya, maksud saya."

Faza tersenyum. "Oh, namanya Sean?" Kalau dipikir-pikir lagi, Aradea dan Faza tidak pernah berkenalan secara resmi. Masing-masing tahu nama lawan jenis pun karena curi pandang ke badge hitam putih yang dijahit di seberang saku. Dan Faza tidak mau mengulanginya untuk mengenal Sean. "Hai, Sean. Aku Faza. Makasih udah mau nganterin aku pulang-pergi rumah-sekolah sampai hari ini. Makasih juga udah temanin Aradea nunggu aku selesai rapat OSIS." Mata gadis itu malah tertuju pada Aradea yang bergeming di tempatnya.

Lalu sebelah tangan Aradea terulur. "Kenalan dengan yang ngendarainnya juga?" Nadanya bertanya setengah meminta.

Faza tertawa seraya meraih tangan di hadapannya. "Hai, aku Faza Adistia Irsyad. Kamu siapa?"

Senyum mengembang di bibir Aradea. "Kenalin, saya adiknya Sean, Aradea Putra Hadinata." Tautan tangan digoyangkan statis ke atas-bawah.

"Kok adiknya Sean? Bukan yang punya?"

Gelengan pelan yang menjawab. "Nggak, soalnya Sean lebih tua dari saya dan Mas Rama. Sean udah jadi sahabatnya Ayah sejak Ayah dan Bunda baru ketemu di Maluku lewat program pengabdian masyarakat puluhan tahun lalu. Sean juga masih temanin Ayah sampai Ayah dan Bunda kepaksa LDR Depok-Bandung buat lanjut kuliah. Sean tetap nganter Ayah cari souvenir pernikahan Ayah-Bunda 25 tahun lalu. Sean juga ikut tinggal dengan Ayah dan Bunda di Cimahi sampai saya sebesar ini. Dan Sean masih setia jadi sahabatnya Ayah sampai Ayah dan Bunda harus LDR Dunia-Surga sejak dua tahun lalu."

Penjelasan Aradea membuat Faza tercenung. Gerakan tangan keduanya yang bertaut terhenti. "Maaf, aku nggak bermaksud ngebuka luka lama kamu." Suara gadis itu sangat menyesal, sorot pandangannya redup.

Jembatan alis Aradea lenyap karena berkerut menjadi satu. Tautan tangan masih belum juga dilepas. "Saya nggak terluka, kok."

Faza menaikkan pelupuk mata bawahnya, sangsi akan jawaban sang lawan bicara. "Bukan itu..."

Aradea tersenyum lembut. "Saya masih komunikasi setiap hari dengan Bunda lewat doa, kok. Sama kayak Ayah atau Mas Rama. Kalau masih kangen juga, tinggal kunjungin Bunda di sepertiga malam. Mungkin bukan saya yang sampai ke tempatnya Bunda, tapi bagian dari diri saya yang lain, doa saya, hafalan saya, yang diharapkan juga bisa mengobati kangennya Bunda di atas langit sana."

Faza ingin menangis. Ucapan yang terlampau polos itu seolah menggetarkan hatinya yang memang tengah mengheningkan diri. Dari sini, Faza memahami bahwa Aradea Putra Hadinata bukanlah pemuda nakal yang kegemarannya ribut mencari masalah. Anak laki-laki ini dibesarkan dengan cinta yang begitu sempurna dari kedua orang tuanya.

Napas ditarik dengan perlahan dari pihak perempuan sebelum sebuah suara menginterupsi. "Aku masih ingin kenalan, Aradea."

Raut bingung sang pemuda tidak tertutupi. "Saya udah jelasin semuanya."

"Nggak, aku juga mau kenalan sama Bunda kamu." Wanita yang telah membesarkan kamu menjadi pria sekuat ini.

Kebingungan lenyap, berganti senyum cerah yang sangat Faza sukai. "Nanti, ya. Bunda pasti senang banget kenalan dengan gadis seperti kamu."

_____

Aradea menghentikan motornya di trotoar sebelum mengangkat helmnya hingga ke dahi. Kepalanya berputar menghadap sang lawan bicara. "Faza, maaf, saya nggak bisa nganter kamu cepat-cepat. Kamu keberatan, nggak, kalau kita cari masjid buat maghriban dulu?"

Faza mengangguk, "Iya, boleh, Aradea."

Aradea tersenyum berterimakasih sebelum kembali menarik gas untuk menggulirkan roda motor.

Finalnya, sepasang manusia itu berhenti di sebuah masjid di tepi Jalan Elang. Beberapa jamaah laki-laki mengisi deret sajadah di bagian depan, namun tidak ada satupun wanita yang mengikuti imam di balik hijab dekat pintu keluar.

Aradea dan Faza berpisah di dekat rak kemudian mengambil air wudhu. Setelah selesai beribadah, keduanya berendengan duduk di tangga masjid untuk mengenakan sepatu.

"Masjidnya sepi, ya."

Aradea hanya menggumam, masih menalikan sepatu kanvasnya. Sementara Faza menghitung hari dan terpikirkan sesuatu kemudian.

"Mungkin karena malam Minggu. Jadi banyak orang yang masih di luar."

Aradea tersenyum. "Tapi, kan, itu bukan alasan yang benar. Tuhan nggak berhenti memberi karunia hanya karena ini hari Sabtu."

Faza terkekeh sembari membenarkan pernyataan sang lawan bicara dalam benak. Dadanya terasa menghangat bahkan hanya dengan duduk berdampingan bersama Aradea di tangga pualam masjid seperti ini. Faza merasa lengkap, hidupnya begitu berarti.

Aradea selesai lebih dulu, bergegas menegakkan kaki dan mengenakan ransel. Faza menyusul kemudian, keduanya melangkahkan kaki meninggalkan pelataran masjid untuk pulang ke rumah. Di atas motor, Aradea masih saja mengajak Faza mengobrol, membahas banyak hal yang tak ayal membuat si gadis dalam balutan jaket denim tertawa.

Siapa itu Dilan? Siapa Nathan? Siapa Prince Charming? Faza memiliki Aradea dan itu sudah cukup membuatnya bahagia.

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang