7. Sejuta mengapa

53 4 2
                                    

Iya, Aradea masih mengantar Faza pulang sekalipun demamnya baru turun siang lalu. Dia masih mendatangi Papa dan meminta maaf karena membiarkan Faza dijatuhi hujannya Cimahi seolah itu adalah kesalahan besar. Dia juga masih pamit dengan kalimat menenangkan, seperti meminta Faza untuk percaya bahwa Aradea akan menjemputnya lagi di hari Rabu.

Tetapi Rabu itu tidak pernah datang bersama Aradea yang tersenyum teduh di depan pagar, tidak datang bersama Aradea yang sabar menunggu Faza mengenakan helm bogo hitam berkaca bulat.

Rabu itu tak kunjung datang membersamai Aradea dan Sean yang menanti Faza di muka rumah. Dan Rabu itu pun masih membiarkan Faza pergi ke sekolah sendiri dengan kendaraan umum bercat hijau kepunyaannya Kota Bandung.

Masih di hari Rabu itu juga, Aradea tidak Faza temukan di manapun.

_____

Aradea Putra Hadinata.

Satu nama, tiga kata, sejuta mengapa.

_____

Aradea mendorong pintu kaca warnet 24 jam ke arah luar, menikmati udara sejuk dan kering milik Bandung di musim kemarau. Langkah kaki membawanya ke minimarket, sekotak susu ditukar dengan sejumlah kecil uang. Sesap lambat, disusul hela napas lega, Aradea memilih mendudukkan diri di kursi besi depan dinding kaca ketika matanya menemukan sosok tinggi yang dia kenal.

"Loh, Ara?"

Keberuntungannya belum teruji. Aradea terlampau terbiasa bermain di daerah ini, sampai tak ingat bahwa kediaman keluarga Irsyad berada tak jauh dari lokasi warnet langganan.

Dua tungkai menegak, Aradea mengulurkan tangan sebelum menyalami ayahnya Faza. "Pagi, Om."

Tidak disangka jika papanya Faza akan memilih duduk di seberang kursi si pemuda, kontan Aradea ikut mengambil tempatnya kembali. "Saya kira kamu masih antar-jemput Faza." ujarnya sembari menatap langsung ke wajah sang lawan bicara. Inginnya menyinggung mengapa anak muda itu belum juga pergi ke sekolah, tetapi jawaban yang didapat pasti mabal---alias bolos.

Aradea meringis, tidak siap diberi ucapan pembuka semacam itu. "Kak Naren yang gantikan saya, Om."

Ada tautan alis akibat rasa bingung. "Naren ini siapa lagi?"

Kali ini kebingungan menular pada Aradea. Pemuda itu tidak tahu sebanyak apa porsi yang bisa ia ceritakan kepada papanya Faza. "Kakak kelas di sekolah, Om. Dekat dengan Faza juga."

"Masa, sih? Faza nggak pernah ngomong apa-apa." Malah setahunya, semenjak Aradea berhenti menjemput, Faza hanya satu kali diantar seorang murid laki-laki. Mungkin anak itu yang disebut sebagai Naren.

Tengkuk digaruk canggung. "Mungkin Faza belum cerita aja, Om."

Papanya Faza mengangguk pelan. "Saya nggak tau masalah kalian itu kayak apa, saya juga nggak bisa ikut campur." Pria di awal paruh abad itu masih menatap tepat di mata Aradea. "Faza memang jarang cerita sama saya, biasanya dia selalu ngomong apa-apa ke mamanya." Jeda sebentar saat orang tua Faza memainkan kunci mobilnya. "Mungkin karena mamanya lagi pulang ke Padang, Faza jadi nggak tahu harus bicara ke siapa. Tapi kemarin Faza cerita tentang kamu ke saya sambil merengek, kayak yang nggak ngerti lagi harus gimana soal kamu."

Dua mata Aradea membulat, seberkas gelisah membuatnya kehilangan kata.

"Saya berani bilang kalau Faza sayang sekali sama kamu. Nggak pernah ada bahasanya dia pergi ke rumah temannya hujan-hujanan cuma buat jenguk. Nggak pernah juga ada hari di mana dia bicarain sebuah motor jadul dengan antusiasnya di meja makan. Motor bebek lama punya papanya pun udah berapa kali dia suruh buat dijual aja." Pria lawan bicara Aradea terkekeh, mengundang senyum kecil pemuda yang lebih muda.

"Makasih, Om." Tidak mengerti pula mengapa ia mengucapkan terima kasih. Tetapi seketika Aradea merasa dirinya berarti, untuk gadis yang ia sebut sebagai bagian dari jiwanya itu. Kepercayaan diri yang sempat tenggelam akhirnya bangkit. Keputusannya sudah tetap sekarang.

Senyum tersungging dari pria yang lebih tua, membalas binar senang di wajah Aradea. "Ya, udah, saya pamit ke dalam, ya. Mau isi e-Money dulu."

_____

Faza berlari mendekati pagar ketika matanya menemukan Aradea setengah terduduk di atas jok Sean. Dua sudut bibir terangkat sebelum sapaan mengudara. "Pagi, Ara."

Aradea tersenyum. "Pagi juga." balasnya sembari menyerahkan helm kepada Faza. Pemuda itu menunggu gadis di depannya selesai sebelum mendireksikan padangan Faza ke wajahnya.

Dua mata Faza membulat. Udara Bandung seolah berubah menjadi merah jambu ketika Aradea menatapnya lekat.

Lalu bisikan pelan terdengar. "Maaf, ya."

"I-iya." Faza menyahut sebisanya, tetapi Aradea seolah belum selesai dengan seluruh kata untuk diungkapkan.

Saliva ditelan dengan lambat sebelum si pemuda mulai bicara. "Saya pemarah kalau menyangkut kamu, saya baru tau itu. Saya nggak suka kalau saya nggak sama kamu, saya juga baru tau itu. Saya banyak nggak taunya, banyak nggak ngertinya, banyak hal yang saya sendiri nggak tau kalau saya bisa begitu karena ada kamu. Tapi kamu bukan alasan saya marah, bukan alasan saya berpikir dengan salah, bukan juga alasan saya bertindak keliru."

Faza masih diam memperhatikan.

"Saya nggak mencari pembenaran. Yang harus kamu tau, nggak ada satupun kesalahan yang sudah kamu lakukan. Semuanya karena saya. Jadi jangan merasa bersalah." Aradea tersenyum menatap teduh wajah gadis yang dicintainya. "Faza, laki-laki egois ini nggak minta kamu maafkan, tapi dia punya satu permohonan yang dia harap kamu mau dengarkan."

Satu tarikan napas lambat sebelum suara didengungkan lirih. "Jangan menangis karena dia, jangan terluka karena dia. Dia mohon."

Sungguh, arah ucapan Aradea semakin memancing denyut menyenangkan di dada Faza. "Sudah itu saja?" tanyanya dengan bibir berkedut menahan senyum.

Dua tangan di helm Faza akhirnya jatuh. "Sudah."

"Sekarang kamu yang harus dengarkan aku. Bilang sama laki-laki egois itu kalau aku memaafkan dia asalkan dia berjanji nggak akan diam kalau ada yang mengganggu pikirannya." Senyum lembut yang kemudian menutup kalimat balasan Faza.

Aradea menarik dua sudut bibir dengan tawar. "Makasih." Urusan pertama akhirnya selesai, kini giliran yang terakhir. "Saya punya satu permintaan lagi ke kamu."

Faza menggumam pendek dengan alis terangkat, menunggu Aradea melanjutkan ucapan.

Ada jeda yang digunakan Aradea untuk memberanikan diri. "Mau siapapun nanti yang membersamai kamu, tetap saya yang akan mengantar kamu ke sekolah dan bawa kamu pulang ke rumah. Saya hanya minta itu."

Dan kilas bahagia di raut Faza lenyap tanpa sisa.

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang