3,1. Jam kosong

31 4 0
                                    

Musim panas tiba, namun Bandung yang sejuk masih saja diselingi hujan tanpa mendung. Terkadang pula ia turun di waktu yang kurang tepat, misalnya saat jadwal kegiatan renang triwulanan dicanangkan, atau ketika upacara penurunan bendera baru saja dimulai. Kalau begini kejadiannya, kegiatan renang mau tak mau diganti dengan sprint dan penurunan bendera dilakukan begitu saja tanpa upacara.

Kemaraunya Bandung, masih di bulan Maret. Sejumlah guru ditugaskan rapat dengan MGMP-nya di gedung kedinasan, menyebabkan beberapa kelas dibiarkan berjalan tanpa pendidik. Walau begitu, kegiatan belajar tak boleh diakhiri. Malah diganti tugas individu yang harus dikumpulkan di beragam waktu sesuai silabus materi KBM. Tetapi ada sebuah pengecualian di hari itu---karena ketidakberuntungan yang kebetulan mengetuk pintu, kelas Faza masih saja padat oleh pelajaran tanpa jam kosong barang satu kali saja.

Memasuki pukul tiga sore, pelajaran matematika untuk kelas 11 IPA 2 pun dimulai. Soal latihan di buku paket dibantai masing-masing murid. Faza belum selesai mengisi separuh soal latihan sewaktu sejumlah murid di lapangan tampak menciptakan siluet kabur di sudut indera pengamatnya. Ia menengok ke kiri, tampak oleh dua matanya anak-anak berseragam olahraga bertanding basket melawan murid lain yang berbaju putih-abu. Sekali saja memandang, bisa ditebak siswa mana yang memang sedang menghabiskan durasi pelajaran olahraganya dan mana yang sedang membebaskan diri di jam kosong.

Salah satu pemuda berseragam abu tampak berulang kali mencetak score, entah itu poin dua maupun tiga angka. Yang melihat tidak perlu paham basket untuk mengetahui bahwa siswa dengan kemeja yang dikeluarkan dari ban celana itu memanglah sangat mahir dalam permainannya. Seremoni kecil kemenangan berulang kali dilakukan dengan high five sederhana disusul pegerakan kompak yang sama-sama dihapal si pelakon.

Menopang dagu di sebelah tangan, Faza kembali menggerakkan jemari, membuat sebuah jalan penyelesaian salah satu soal matematika. Pikirannya berhenti sejenak ketika bunyi debam keras seolah menjebol dinding tepat di samping kiri. Ia menoleh lagi, menemukan pemuda dengan wajah berpeluh berlari ke arahnya. Bola yang semula membentur dinding lekas diambil dan dilempar ke teman sekubu. Faza masih saja kerasan memperhatikan, sampai pandangannya berserobok dengan mata si pemuda pemungut bola.

Anak lelaki itu melebarkan mata segera, lalu tersenyum geli. "Belajarnya yang rajin." katanya dengan artikulasi mulut yang jelas.

"Kamu juga, jangan main aja." Faza membalas, tanpa suara---hanya gerakan bibir yang mempertegas ucapannya.

Siswa itu tersenyum lebar seraya mengangkat telunjuk dan jari tengah tangan kanannya, kemudian kabur tanpa dosa ke tengah lapang. Ia disambut permainan yang kembali dimulai beserta tawa sejumlah teman sekelas.

Jam pelajaran matematika untuk kelas IPA 2 pun berakhir. Ibu Mala selaku guru pengampu melangkah keluar meninggalkan kelas berbarengan dengan sebuah telunjuk yang mengetuk bidang kaca di samping kiri Faza. Jendela dibuka perlahan hanya untuk menemukan si pemain basket di waktu bukan pelajaran olahraga berjongkok dengan senyum sumringah.

"Hai!"

Faza terkekeh ringan, tangannya terlipat di atas kusen. "Jam kosong?"

"Iya, dong. Dari istirahat pertama."

"Wiii, nanti tugasnya numpuk, loh."

"Kan, bisa nyontek kamu."

Faza mengernyit. "Aku nggak mau kamu nyontek."

Si pemuda tertawa, satu tangannya memainkan ranting di atas tanah. "Iya, sayangnya Aradea---eh, kelepasan." Lalu ia berdeham. "Iya, Faza kesayangannya Pak Irsyad. Nanti saya nyontek Axel aja."

"Nggak boleh juga."

"Yah, kan, saya nggak ngerti." Ranting dipukul-pukulkan ke atas tanah. "Gimana tugasnya bisa dikerjakan sendiri kalau ngerti aja nggak?" Anak lelaki itu ngeyel. Jika bakat mencari alasan punya perlombaan sendiri, pemuda yang berjongkok di depan Faza ini sudah pasti akan menjadi juaranya.

"Kan, aku bisa ajari kamu." Faza memberi solusi dengan nada sabar.

"Eh? Kamu mau?"

"Kamu nggak mau?"

"Maulah." Pemuda itu berhenti berjongkok, ranting di genggaman dijatuhkan. "Za, dua ditambah tiga berapa, sih?"

Iya, pria muda di depannya ini juga raja random sedunia. "Lima."

"Tunjukin pakai jari, dong."

Mata memicing sebelum Faza membuka telapak tangan kanannya, agak sangsi dan waspada. Tak dinyana bila setangkai bunga Gypsophila yang diuntai melingkar menjatuhkan diri di jari manis Faza.

"Ini dari saya, si pangeran kerajaan yang kurang kerjaan."

Tahu, jangan dipertegas!

"Aduh, tuan putri tersipu malu." Dengan gelak yang tidak ada putusnya, siswa kelas IPA 5 itu melarikan diri dari tepi kelas Faza.

Begitu, ya. Sukanya membuat Faza salah tingkah dan kemudian pergi. Hobi entah gemar, Faza juga bingung.

_____

Boom, filler!

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang