13. Lapangan belakang sekolah

70 4 0
                                    

Sesuai kesepakatan awal, Aradea akan menunggu di warung bubur belakang sekolah untuk mengantar Faza pulang. Kamis sore, Bandung sedikit temaram dengan lampu penerang jalan yang mulai dinyalakan. Faza menghentikan langkah dengan agak ragu ketika sekelompok pemuda berseragam putih abu berhenti bersandar di dinding tinggi sewaktu melihatnya. Anak laki-laki itu menutupi seluruh badge lambang dan lokasi sekolah mereka dengan mengenakan jaket. Faza mengeluh dalam hati, lapangan futsal di belakang sekolah juga sangat sepi, hal yang hampir terasa tidak wajar.

"Maneh yakin nu ieu?" (Kamu yakin yang ini?) Salah satu dari mereka bersuara. Matanya belum juga melepaskan Faza barang satu detik saja.

"He-euh, awewe ieu nu sok dianter ku si Ara." (Iya, perempuan ini yang sering diantar oleh Ara.) Si teman menyahut agak pelan, namun Faza tetap mendengarnya dengan jelas.

"Geulis oge." (Cantik juga.) Orang yang semula bertanya kini melangkah sedikit lebih dekat, membuat kaki Faza mundur perlahan.

"Ka-kalian siapa?" Geletar suaranya yang tak bisa ditutupi, Faza mencoba untuk menelan ludah membasahi kerongkongan.

"Oh, teu ngartieun Sunda." (Oh, dia tidak mengerti bahasa Sunda.) Lalu ada dengus setengah tertawa meremehkan.

Tanpa diduga, pemuda paling depan justru menarik kerah seragam Faza sebelum menghempaskan tubuh gadis itu ke dinding beton. Napas yang tercekat nyaris membuat sang putri Irsyad kehilangan suara, teriakan yang hampir lepas kembali ditelan utuh.

"Kamu yang kemarin lapor ke polisi?"

Faza membulatkan matanya. Apa orang-orang ini yang kemarin menjadi lawan Aradea? "Kamu ngomong apa?" Ia berusaha bertanya balik dengan nada senetral mungkin.

Dengus separuh tertawa itu terdengar lagi. "Tawuran kemarin, heh. Jangan pura-pura nggak tau, Bangsat!" Bahu Faza dicengkeram kuat. "Kita semua dikeluarin dari sekolah karena tindakan kamu."

Mendengar gertakan itu, emosi Faza justru mendidih, teringat bahwa Aradea juga diancam hal yang sama oleh pihak sekolah. Bukan hanya mereka, Aradea-nya juga! Gadis itu menyentak cepat dua tangan yang mengurungnya, matanya menyala akibat naik pitam. "Aku nggak peduli soal kalian yang dikeluarin dari sekolah. Dan aku nggak ngerti sama apa yang kalian bicarain." Faza memilih pergi dari tempatnya sebelum sebelah tangan menarik ranselnya cepat. Sepasang kaki yang hilang seimbang akhirnya gagal menopang, hingga tubuh gadis berkucir itu jatuh membentur tanah.

"Ah!" Kerikil tajam melukai telapak tangan Faza, meninggalkan luka yang cukup dalam dengan sedikit darah di sekelilingnya.

"NARTHANA!"

Faza melihatnya begitu jelas. Aradea berjalan cepat penuh amarah dengan tatapan nyalang pada empat pemuda yang belum juga merasa gentar.

"Kamu apain Faza?!"

Satu-satunya gadis di sana segera berdiri, langkahnya berderap berusaha menerjang Aradea separuh memeluk. "Udah, Ara, udah. Aku baik-baik aja." Yang bisa Faza pikirkan hanyalah bertambahnya bukti Aradea terkait kasusnya mengeroyok murid sekolah lain. Dia tak menginginkan hal itu dan akan berusaha apapun untuk mencegahnya.

Bukannya terhalangi, dua tangan yang melingkar di pinggang pemuda Hadinata itu justru ditarik kuat hingga terpaksa menyingkir. Faza terhuyung ke samping sebelum mendekap rapat tubuh Aradea dari belakang, mencegah kekasihnya melangkah lagi.

"Udah, Aradea. Tolong, berhenti. Aku nggak apa-apa." Faza dapat merasakan torso dalam lingkaran tangannya berusaha mengatur napas. Jantung pemuda itu berdegup sangat keras di bawah sentuhan telapak tangannya.

Faza mendengar sebuah embusan keras dari organ ekspirasi Aradea, sebelum sebuah kalimat menyusul penuh rasa murka. "Pergi sebelum saya habisi kalian!"

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang