3,3. Menang

24 2 0
                                    

Pekan olahraga antar kelas adalah hal yang paling Aradea tunggu setelah minggu remedial berakhir, terutama pertandingan basketnya. Apalagi Faza yang diutus langsung oleh ketua sekbidnya sebagai penanggungjawab pertandingan. Itu poin plusnya. Tetapi sungguhan Aradea memang mahir bermain basket sejak SMP. Bukan modus atau kerdus bilang suka bermain basket hanya untuk mendekati gadis dari sekbid 8 OSIS itu.

Bola karet jingga dari tangan Aradea sudah masuk ke ring lawan berkali-kali, baik itu dua maupun tiga poin. Kelasnya menang dengan mudah dan Aradea-lah yang menjadi ace pertandingan.

Selebrasi kemenangan kecil-kecilan diadakan mengelilingi lapangan. Aradea diangkut ramai-ramai ala becak mengitari kampung. Seremoni itu berlangsung tak lama karena moderator di pinggir lapangan secara halus meminta tim pemenang menyingkir agar pertandingan selanjutnya bisa segera dimulai.

Aradea dan teman sekelasnya memilih untuk beristirahat di aula, minum sebentar untuk kemudian makan siang. Dua set pertandingan tentu membuat tenaga mereka terkuras hingga ke titik nadir. Si pemuda kelas 11 baru akan bangkit menenteng tas dan seragam abunya ketika ponsel di saku berdering lama pun berulang.

"Bro, kalian duluan, gih. Saya angkat telepon dulu." Aradea mundur, pamit kembali ke dalam aula untuk menerima panggilan. Nama Faza berkerlip di layarnya. Sebuah reminder kecil, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar menunjukan cahaya berbinar, itu hanyalah filter di mata Aradea untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan Faza.

"Halo?" Aradea menggunakan nada selembut mungkin untuk menyapa sang penelepon. Barang-barang ditaruh di atas panggung aula sebelum tubuhnya mengiringi di samping ransel yang diletakkan asal.

"Hai, pemenang!" Suara di seberang menyapa antusias. "Selamat, ya. Juara angkatan!" Ada kekeh geli sebelum sebuah tanya meluncur. "Kamu di mana sekarang?"

"Saya di aula. Kenapa?"

"Di mananya? Aku juga di aula."

Aradea segera melarikan pandang ke sejumlah panitia OSIS yang masih membereskan sisa pertandingan bulu tangkis. "Kamu di mana? Saya samperin kamu aja, ya."

"Kamu pergi ke tempat yang orangnya agak sedikit, dong, Ara. Biar nggak bingung."

"Sebentar, ini saya berdiri, ya." Aradea menegakkan kakinya di atas panggung. "Saya di panggung. Pakai baju olahraga aja---eh, pakai celana juga maksudnya---celana basket warna dongker, kaus kaki putih---"

Tawa kecil dari ujung sambungan mengalir halus, menghentikan deret panjang penjelasan Aradea. "Ngeselin, ya, kamu." Lalu gadis berseragam abu dengan kucir rambut tampak berjalan mendekati panggung menatap Aradea geli.

Sambungan telepon ditutup, Aradea menyambut si gadis panitia dengan senyum lebar sebelum duduk di pinggiran panggung. "Hai." sapanya ketika Faza sudah berdiri tepat di depannya.

Satu tangan terulur ke depan, sebotol air mineral beranjak mendekati si atlet basket IPA 5. "Minum, ya." Si gadis menawarkan dengan kepala dimiringkan.

Aradea sudah minum, sebenarnya. Masih ada air dalam botol satu liter di dalam tas punggungnya. "Sebentar, kamu sendiri nggak haus? Pulang-pergi lapangan, sekre, podium, terus ke sini."

Faza menggeleng lucu. "Nggak, kok. Tapi aku lapar. Mau temani aku makan?" tanyanya to the point sembari membuka tangan Aradea untuk menerima sebotol air.

Aradea tersenyum sembari menyampirkan satu tali ransel ke sebelah bahu. Dua kaki pun menegak, tubuhnya langsung berhadapan sejajar dengan Faza. "Yuk! Saya belikan nasi kuning, ya. Tapi nggak bisa dibentuk tumpeng soalnya bukan lagi syukuran."

Ada kekehan kecil sebelum timbal balik diapungkan. "Ini semacam traktiran sehabis juara atau gimana?" Faza menebak ketika keduanya mulai melangkah beriringan ke luar aula.

"Iya, dong. Kamu boleh minta apa aja." Masih saja terpampang senyum jenaka yang sama. "Tapi nanti saya pamit ke kelas dulu sebentar, ya. Mau pinjam duit ke Axel."

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang