1. Dek, itu calon kamu?

173 8 5
                                    

"Dek."

Faza masih mengunyah nasi goreng ketika menyahut panggilan Papanya. "Iya, Pa?" Matanya menatap lelaki di depannya lekat, menunggu kelanjutan ucapan sang ayah.

"Itu teman cowok kamu yang Selasa kemarin jemput ke sini, beneran calon kamu?"

"HAH?" Kata siapa?

_____

Semua dimulai sejak seminggu lalu, Aradea Putra Hadinata, si komandan geng motor sekolah, datang dengan bekjul---bebek jadul---ke kediaman keluarga Irsyad. Papanya Faza saat itu sedang menggunting semak---rutinitas berkebun setiap Selasa pagi. Tak lama, terdengar suara berisik knalpot khas Honda CB keluaran 1971 yang standarnya ditegakkan mengetuk aspal, parkir manis tepat di depan pagar. Helm cakil si pengendara dibuka, seraut wajah serampangan menyambut pandang sang kepala keluarga Irsyad. "Pagi, Om!" sapa anak muda dengan celana abu SMA press body, membuat Papa di balik semak menaikkan sebelah alis.

"Pagi." Agak ragu, Papa dengan seragam PNS-nya mendekati gerbang, ingin menggunting semak di dekat pagar. "Cari siapa, Nak?"

"Ini, Om, mau antar Faza ke sekolah." jawab si pemuda dengan sopan.

Papa menggumam paham. "Lagi di dalam, tuh, kayaknya masih kemas bekal. Kamu siapanya Faza?" Pria dengan janggut halus itu bertanya penuh selidik.

Si lelaki paling muda menggeleng. "Bukan temannya, Om. Hehe."

Dahi berkerut heran. "Terus mau apa antar-antar Faza kalau bukan teman?"

Anak itu tertawa. "Faza belum bilang saya temannya, Om. Saya cuma mau ngejaga dia biar aman sampai sekolah aja. Ya, kalau bisa, sih, aman sampai balik ke rumah juga." jelasnya dengan senyum yang menular ke sepasang mata.

"Oh," Papa masih menggerakkan gunting rumputnya. "Jadi calon pacar, nih?"

Kekehan tengil itu muncul lagi. "Hehe, Om, doain aja."

_____

"Ya, terus Papa kaget dia jawab gitu. Gunting rumput sampai lepas murnya pas pengungkitnya salah Papa tutup. Dia langsung diam setelah itu. Awalnya dia mau Papa kasih pepaya yang baru mateng itu, eh, ternyata besoknya dia nggak datang lagi."

Faza memijit pelipis. Ya, mana mau datang lagi setelah lihat gunting rumput sebesar gaban rusak di tangan Papa? Ngeri, kan, yang ada?

"Papa, ih, jangan bikin takut anak orang, dong. Pantes dia jadi jemputnya di gang depan Bu Haji."

"Lah, bikin takut gimana? Masa nggak berani sama calon mertua? Mau dikasih pepaya, yo, mbok, yo, malah ngacir." Aksen Jawa Papanya kental sekali, mengundang tawa kecil Faza mengudara.

"Ih, Papa! Aradea bukan pacarnya Faza."

Ayah tersayangnya itu malah balas tertawa. "Iya, deh, bukan. Tapi besok-besok, dia disuruh tunggu di depan rumah aja, Dek. Ajak masuk sekalian. Papa mau tanya-tanya sedikit."

Ada kejut tak kasat saat Faza mendengar ucapan ayahnya. Biasanya interogasi kecil macam ini tidak akan berakhir baik, sama kejadiannya seperti Kak Reza, mantan gebetan Faza setahun lalu. "M-mau tanya apa ke Aradea, Pa?" tanya gadis itu agak gugup.

"Itu, teman kamu ikut komunitas bebek jaman baheula, nggak? Papa mau ikut gabung, dong. Biar bisa ikut touring ke mana gitu."

Tangan berjemari lentik itu kembali memijit pelipis. Dasar suami kesayangan mama berjiwa perjaka beranak satu!

_____

Faza akhirnya mendatangi Aradea yang setengah terduduk di jok Honda-nya. Kontan anak laki-laki itu tersenyum, "Pagi, Cantik." sapanya tulus sembari mengambil helm bogo hitam dari stang.

Si gadis menerima pelindung kepala berkaca bulat itu, lalu mengenakannya. "Papa bilang, besok kamu tunggu di depan rumah aja kalau mau jemput."

Wajah Aradea berbinar, agaknya menangkap maksud lain. "Jadi saya resmi boleh antar-jemput kamu? Kamu nggak akan nolak-nolak lagi?"

Kaitan helm masuk ke slot. "Ya, mau gimana? Papa juga nggak bisa ngantar, terus kamu nawarin. Ya, udah." Faza menatap wajah Aradea yang tiada hentinya tersenyum. "Kamunya juga kayak yang nggak keberatan."

Gelak tawa mengalir, lalu senyum menjadi penutup. "Saya senang banget." Si pemuda berujar lembut, namun antusias. Kakinya melangkahi jok motor, lalu kunci diputar di lubangnya. Bunyi knalpot nyaring Honda 70-an itu setengah merengek sebelum Aradea menarik stang gas dengan mantap. "Yuk, naik."

Faza mengambil tempat di belakang Aradea, tangannya masih enggan berpegangan di pinggang si pengendara. Motor tua yang masih kuat itu akhirnya melaju di tepi jalan. "Tadi Papa bilang mau kasih kamu pepaya kemarin. Tapi nggak jadi, soalnya kamu nggak jemput aku lagi di depan rumah." Faza membuka obrolan, berusaha mendekatkan alat bicaranya ke tepi helm Aradea.

Dahi si pemuda mengerut bingung. "Eh, betulan? Makasih, ya." Aradea berbicara setengah berteriak, khawatir suaranya kalah oleh gas si Honda kesayangan.

"Kenapa kamu nggak jemput depan rumah lagi? Papa sangar, ya?" Bukan kalimat yang menjawab, Faza tidak pernah tahu bila Aradea adalah jenis makhluk yang terlampau suka tertawa untuk menanggapi situasi.

"Sangar, sih. Tapi baik."

"Kok bilang gitu? Mau ambil hati, ya?"

"Eh, ya. Buat apa ambil hati caranya receh begini? Lagian nanti kamu yang bakal menyerahkan sendiri, kan? Jadi saya nggak perlu ambil."

"Ge-er!"

"Makasih."

Faza mengintip melewati bahu Aradea, menemukan spion yang menampilkan wajah tampan si pemuda tanpa henti tersenyum. Putra keluarga Hadinata ini ganteng sekali kalau sudah anteng dengan dua sudut bibir ditarik ke atas, Faza merona sebelum kembali menunduk.

"Di rumah biasanya Bunda yang siram tanaman."

Faza menaikkan kepalanya. "Apa?"

"Di rumah saya, kalau Bunda siram tanaman, Ayah pasti memandikan perkututnya, terus kasih makan kucing." Mata pemuda itu menerawang ke depan sebelum pedal rem diinjak perlahan. Lampu merah persimpangan menyala di ujung tiang. "Ayah kamu pagi-pagi udah bawa gunting besar, kayak mengancam mau sunat dua kali cowok-cowok yang berani ganggu putrinya."

"Kok ngeri, sih, kamu mikirnya? Haha."

"Ya, habisnya, Ayah saya, kan, mainnya sama perkutut dan kucing munchkin, terus Ayah kamu temannya gunting besi. Nggak biasa saya lihatnya."

Iya, mana gunting besi itu sekarang dimuseumkan karena belum juga dibetulkan. Berkat tangan ajaib Papanya Faza.

Si gadis tertawa, merasa lucu sendiri mengingat insiden gunting lepas mur itu. "Nanti Papa ada rencana adopsi kucing juga. Kamu mau temani aku merawatnya, nggak?" Faza meminta. Di kepala Aradea, semua itu bertransformasi menjadi tawaran yang membuatnya akan dikutuk bila sampai menolak.

Kalau begini, mereka akan punya bahan obrolan lain untuk dibicarakan. "Mau, Cantik. Saya siap 24 jam dalam seminggu." Lampu di persimpangan akhirnya berubah hijau, Aradea kembali menarik stang gas. Honda ganteng meluncur mulus di jalanan Bandung.

"Yeee, nggak tidur-tidur, dong! Nanti aku minta jam 4 subuh datang ke rumah, kamu harus sanggup, ya?" Faza berniat menggoda, kembali melongokkan wajah melihat ke spion.

Aradea tampak menimbang. "Jam 4 lewat aja, ya. Nggak bisa tepat, saya harus shalat fajar sama subuh dulu."

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang