17. Aradea pamit

60 2 0
                                    

Masih berjalan di samping Aradea, Faza lebih tertarik memperhatikan selingkung gang di samping konter seluler. Ia tidak pernah menjelajahi sayap kanan sekolah, area yang cenderung lebih padat oleh pemukiman penduduk. Tetapi kali ini Aradea mengajak Faza membelah jalan kecil untuk menemukan sebuah warung yang di bagian depan pagarnya terparkir begitu banyak kendaraan roda dua.

Baru melirik sebentar, Faza bisa menilai bahwa di sinilah basecamp penyamun bandel sekolah mereka. Ada Axel dan Semesta, juga sejumlah anak lain yang pernah Faza temui saat menengok Aradea.

Faza mengenal wajah-wajah itu, meskipun tidak dengan namanya. Mereka terlampau dikenal akibat selalu bertamu ke depan podium di hari Senin ketika amanat pembina upacara baru saja usai. Merekalah juga yang menjadikan kata terlambat datang seremoni pengibaran bendera sebagai bagian dari tradisi geng. Hampir tidak pernah ada ceritanya mereka sudah ada di lapangan sewaktu bel pertama di pagi hari berbunyi.

Sewaktu Faza sampai di muka toko, pemuda dengan badge nama "Pangeran Kerajaan" tempelan dari kertas adalah yang paling awal berdiri. Gilang namanya, dari kelas IPS 3. Wajah anak laki-laki itu tampak tidak bersahabat, terutama saat matanya bertemu pandang dengan sosok Faza. "Maneh naha mamawa anak OSIS ka dieu?" (Kamu kenapa membawa-bawa anak OSIS ke sini?) Ia bertanya seolah mengajak adu mulut.

Refleks, Faza memegang bagian lengan atas seragamnya. Masih terpasang apik pita merah putih kebanggaan organisasinya di sana. Gadis itu meringis, merutuki sifat pelupanya. Kembali meluruskan pandang, bisa Faza tebak bahwa keberadaannya siang ini dianggap sebagai ancaman untuk markas tempat mereka berkumpul. Tetapi bukan posisinya untuk membela diri, Faza cenderung menunggu hingga Aradea memutuskan untuk buka suara.

Sedikit banyak, Faza akhirnya menggerutu karena Aradea lambat mengambil tindakan. Isi kepalanya juga mulai bertanya-tanya sendiri, mengapa Aradea berani membawa ia ke basecamp kelompoknya. Mengerling ke samping, Faza dapat melihat gerik kekasihnya yang tampak menarik napas dalam.

"Hampir semua dari kalian pasti pernah ketemu perempuan di sebelah saya sekarang. Entah waktu itu di rumah pesantren atau mungkin di gerbang depan sekolah saat inspeksi seragam." Mengabaikan pertanyaan Gilang, Aradea mencoba memulai. Sebelah tangannya meraih telapak Faza, menggenggamnya erat. "Namanya Faza, anggota OSIS yang kepengurusannya sebentar lagi lengser. Saya percaya dia nggak akan mengatasnamakan organisasinya untuk membuat kalian berada dalam masalah." Satu per satu, Aradea berusaha menatap mata seluruh lawan bicaranya, mencari sebuah kepercayaan.

Beberapa dari teman sekelompok Aradea langsung bertukar pandang, masih sangsi sepenuhnya. Faza menarik tangannya segera, meraih atensi Aradea untuk bersitatap. "Ara, kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat buat mengenalkan aku ke mereka."

Aradea tak menanggapi banyak, ibu jarinya justru mengelus lembut punggung tangan Faza, menenangkan gadis itu. "Jadi samain aja dengan kepengurusan OSIS, saya juga lengser jadi pemimpin kalian---atau apa aja kalian nyebut saya lah. Karena mulai tahun ajaran baru nanti, saya udah nggak di sini."

Ada sirat bersalah di wajah seluruh anggota kelompok, mungkin menyayangkan keputusan sekolah yang mengeluarkan Aradea secara sepihak. Walaupun eksekusinya dilakukan dengan mengikuti prosedur yang valid, tindakan ini tetap tak terasa adil. Terlebih anak-anak markas di warung pojok inilah yang juga dilindungi pemuda Hadinata itu.

"Sebenarnya saya nggak suruh kalian buat melakukan hal yang sama. Kalian juga ngerti, kelompok kita nggak cuma sekadar sekumpulan orang yang punya satu hobi. Yang namanya darah akan selalu lebih kental dari air, tetapi saya nggak minta kalian bubar. Terus, ya... kalau kalian berhenti nongkrong di sini, Bi Suti bisa kehilangan anak-anak angkatnya yang saban hari nggak pernah berhenti rusuh ngehabisin kacang sama stok Nutrisari. Terus Neng Dina di sana nggak akan ada yang godain lagi. Eh, itu mah malah bagus, ya."

Aradea menaik-turunkan alis dengan jahil selagi menatap Dina, anak gadisnya Bi Suti yang sebentar lagi akan masuk SMP. Gadis bertubuh mungil itu balas melirik kesal dengan bibir mencebik.

Faza ingin menampar dahinya keras-keras. Di depan etalase, Axel tampak menggaruk belakang telinga sementara Semesta menggeleng-gelengkan kepala kehabisan akal.

"Poin inti selanjutnya, saya juga mau menitipkan perempuan ini." Aradea melirik kepada Faza sembari tersenyum. "Jangan dijahilin, jangan dibuat nangis, sama jangan digodain juga, apalagi sampai dipacarin. Soalnya hatinya udah saya bawa, jadi percuma kalian ngedeketin. Nggak akan ada hasil bagusnya." Tawa jenaka itu muncul lagi, sesuatu yang kelak akan jarang Faza dengar.

Reno yang cedera hidungnya belum pulih kini meninju main-main bahu Aradea. "Deuh, sa ae, nyere lemper." (Duh, bisa aja, lidi lemper.)

Disahuti begitu malah membuat tawa Aradea mengeras. "Titip pesan aja, nih, kurang-kurangin terima ajakan gelut, ya. Kalau kepaksa, jangan di tempat ramai kayak kemarin. Saya nggak mau dengar ada salah satu dari kalian yang dikeluarin sama sekolah." Satu tarikan napas menjeda rangkaian kalimatnya. "Terus jangan keseringan bolos, udah kelas 3. Nanti nggak masuk PTN, motor kalian bisa aja disita sama orang tua." Lalu sepasang mata melirik ke atas, seolah memikirkan sesuatu. "Nggak, sih, kayaknya. Itu mah saya aja, Ayah udah ngancam gitu soalnya."

"Lah, Sean dirumahkan atuh ai gitu ceritanya?" Gilang yang belum melepas atribut kecil kepangeranannya angkat bicara.

"Iya, mau dipake Ayah buat ke pasar aja cenah (katanya)." Aradea terkekeh, lalu melepaskan sebentar tangan Faza. "Dieu atuh, lur. (Sini, dong, Saudara.) Nggak mau perpisahan dulu ini teh?" Dua tangan terentang ke depan, menanti pelukan antar saudara. Irgi maju paling awal, disusul Gilang dan Axel. Lalu kesemua anak di warung Bi Suti ikut nimbrung menjadi satu mengelilingi Aradea.

Gelak tawa yang muncul pada akhirnya, Faza hanya menonton dengan kekehan kecil.

Aradea belum juga berhenti menarik dua sudut bibir, membentuk sebuah senyum menawan menatap semua teman dekatnya. "Kalau ada apa-apa, jangan biarin saya nggak tau. Sejatinya, ponsel saya in syaa Allah lebih sering aktifnya dari pada mati. Dan sejujurnya, Aradea Putra bukanlah manusia sombong yang tega ngusir kalian kalau ke rumah di pesantren. Minimal masih kasih kalian suguhan air sama kue lah. Atau pisang goreng kalau lagi ada."

Kerumunan itu menanggapi beragam ucapan Aradea. Banyak tepukan kecil mampir di punggung tegap mantan pimpinan mereka, begitu juga usakan tangan di atas kepala.

"Geus, nya. Cing saroleh, nya. Sholatna tong belang betong. Deuh, Axel, tong ceurik, ah. Era." (Sudah, ya. Yang pada shaleh, ya. Shalatnya jangan bolong-bolong. Aduh, Axel, jangan nangis, ah. Malu.)

"Naon ai maneh?" (Apa, ih, kamu?) Yang dijahili justru menyahut sewot.

Kekeh geli belum juga sirna dari indera bicara Aradea. "Ente dieu lah. (Kamu ke sinilah.) Jangan jual mahal gitu. Utututuu, tayaaang." Sebelah tangan Aradea sampai ke kepala Axel yang langsung menghindar dengan cepat.

"Hilih, ditu, ah. (Halah, sana, ah.) Najis!"

_____

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang