0,5. Sekolah

45 3 0
                                    

Satu per satu kancing dimasukkan ke lubangnya, Bunda begitu betah mematut penampilan si anak bungsu selagi dua sudut bibir menyunggingkan senyum. Wanita itu masih bersimpuh menghadap sang putra yang bertelanjang kaki menaruh atensi pada kemeja sekolahnya.

"Tampannya anak Bunda." Bunda berujar untuk memuji seraya menatap wajah anaknya yang berbedak tipis. Kini giliran rompi diarahkan dari ujung lengan hingga tepat sampai di atas bahu si pria cilik.

"Ara mau coba. Pakai kancing baju."

Celetukan kecil membuat Bunda menatap putranya cepat. "Oh, boleh. Coba Ara selipkan kancingnya ke lubang, ya" Tangan Bunda tak serta merta meninggalkan Aradea untuk mencoba sendiri. Ia masih menuntun pria kecilnya dengan lembut. "Pelan-pelan, Sayang. Nanti copot." Akhirnya setengah bagian kancing sudah masuk, Bunda tersenyum. "Sekarang lebarkan lubangnya. Eh, kancingnya jangan dilepas." Bunda tertawa ketika dua bagian pakaian yang harusnya disatukan malah jatuh di sisi perut putranya.

Aradea mengernyit, lalu tangannya mencoba lagi. "Jarinya Ara kebesaran." katanya sembari menatap Bunda, menyalahkan kancing yang terlampau kecil untuk bisa ia pegangi.

Bunda tertawa. "Ara, kan, belum biasa. Mau coba lagi atau Bunda yang pasang?"

Aradea tak menjawab, bibirnya mengerucut dengan jemari yang kembali bergerak mengikuti arahan Bunda. Sembari si lelaki cilik mengeluhkan tangannya yang terlalu besar, separuh bagian kancing pun sukses masuk ke dalam rongga. Aradea masih mencubit tepi si buah baju dengan ujung jemari ketika Bunda mengarahkan tangannya yang lain untuk menarik kain di sisi lubang. Dan kancing hijau itu berhasil lolos ke luar, mengait ke tebuk yang sesuai.

"Berhasil!" Bunda berseru, nadanya mengapresiasi sembari bertepuk tangan.

Aradea mendongak dengan senyum puas. Ia tertawa riang dengan kaki yang menghentak beberapa kali. Bunda perlu mengitarkan lengan ke tubuh sang anak sebelum mendaratkan sebuah kecupan hangat di pelipis sebagai hadiah.

"Satu lagi mau Ara yang pasang?" tanya Bunda sambil memiringkan kepalanya.

"Ara mau pasang sendiri, Nda."

Dan senyum Bunda semakin lebar.

_____

Ada filet ikan untuk lauk sarapan, sup wortel dan jamur pun tak ketinggalan sebagai sumber serat. Di lantai ruang tamu, Aradea seolah tak mau diam ketika Bunda menyuapinya cadangan energi untuk bersekolah sampai siang. Ia masih betah menarik kaus kakinya hingga setengah betis sampai Bunda mengarahkan kembali sendok bertumpangkan nasi dan lauk ke depan mulut.

"Bunda, Ayah pergi dulu."

Bunda mendongak sebentar dari kegiatannya, sebelum bangkit dan menyalami kepala keluarga mereka. "Hati-hati, Ayah." Disambung Rama yang mengecup punggung tangan sang ibu. "Yang pintar, ya, sekolahnya." katanya sembari mengelus kepala si sulung. "Bunda sayang Mas." Lalu kecupan kecil mampir di sebelah pipi.

Rama tersenyum sebelum mengecup balik pipi Bunda. "Hehe, dadah, Nda. Dah, Ara."

Aradea hampir merangkak mengikuti sang kakak yang tengah dipasangkan helm oleh Ayah. Namun Bunda menahan pergerakan lelaki cilik itu dengan memeluk perutnya cepat-cepat. "Mau ke manaaa?" tanyanya sembari menggosokkan ujung hidung ke ceruk leher Aradea.

"Ikut sama Mas." Aradea menjawab seolah pertanyaan Bunda adalah hal paling aneh yang bisa ia dengar.

"Loh? Kan, Ara berangkatnya sama Bunda. Ayah sama Mas." jawab Bunda sembari melirik jam dinding.

Makhluk kecil itu terdiam sebentar, seperti berpikir keras. Seolah dirinya tengah mencari alasan mengapa nilai tukar rupiah selalu menurun dari hari ke hari.

Dear AradeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang