Si Mata Elang

31 4 10
                                    

Sebelumnya mohon maaf author kelamaan publishnya ... karena sempat mentok di jalan cerita. Padahal belum apa-apa :'v oke, selamat membaca~

+++++++++++++++++++++

Pemuda berambut sehitam malam melangkahkan kakinya dengan lunglai. Kota baru saja hancur, seperti hidupnya. Tak ada tempat tinggal, orang tua, bahkan nama sendiri pun ia tak tahu. Orang-orang sering memanggilnya 'Si Mata Elang.' Begitulah ... ia tidak tahu, alasan dari nama panggilan itu. Pada awalnya dia juga tidak mengenal orang-orang dari kaum putih. Semenjak menjadi bagian dari mereka. Pemuda ini jatuh cinta. Pada keramahan kaum putih. ia diperlakukan bagai saudara ... padahal, dia adalah orang asing. Bahkan bukan siapa-siapa.

Dalam hatinya telah tertanam rasa ingin melindungi. Kaum putih dalam bahaya. Namun bagaimana caranya? jangankan untuk melindungi, dia bahkan tidak tahu apakah bisa berhenti untuk melukai. Diumurnya yang menginjak 15 tahun, sudah menjadi pembunuh bayaran. Tapi, tidak lagi. Setiap luka, dan rasa sakit dari korbannya seolah tak pernah lepas dalam pikiran.

Hingga tidur pun rasanya tak tenang. Perasaan berdosa akan terus terbawa, meski ia telah berubah.

Si Mata Elang berjalan lunglai di jalanan sepi kota. Listrik hampir seluruhnya padam. Hanya lampu-lampu jalan dan menara sentra sebagai penerang malam yang memilukan ini. Bangunan-bangunan yang semula kokoh berhiaskan cahaya lembut, sekarang teronggok bagai daun kering sehabis diremas. Hancur.

Si Mata Elang terus melangkah. walau terlihat lunglai, bola mata birunya bergerak waspada. Berjaga-jaga jikalau ada bom susulan. Dia berhenti. Tiba-tiba perhatiannya teralihkan oleh sebuah suara yang menyayat hati, membuatnya tertarik untuk menghampiri.

Siapa yang menangis? batinnya.

Di balik bangunan hancur dekat persimpangan jalan. Seorang gadis kecil meraung dalam tangis, bajunya yang berwarna putih, kusam oleh debu dan bercak darah. Posisinya membelakangi si Mata Elang. Terus menangis, tak sadar ada orang yang menghampirinya.

"Ayah ... Ibu ... haaa ...!"

Mau tak mau, pemuda berparas tegas ini harus menghampirinya. Dari cara gadis itu menangis. Dia tahu, pasti anak itu terpisah dari orang tua.

"Kaum hitam brengsek!" batinnya, kalau bukan karena kaum hitam. Bencana ini tak mungkin terjadi. Dan dia tidak akan terlibat masa lalu yang kelam.

Perlahan, si Mata Elang menepuk pundak sang gadis kecil.Tak sampai dua detik, anak itu membalikkan badan. Sesaat kemudian nampak kaget, tangisnya semakin deras. Sekonyong konyong ia lari menjauh, lantas sembunyi di balik tembok yang masih tersisa.

"Hei ... aku, bukan orang jahat."

Benarkah? sambungnya dalam hati.

Bukannya keluar, gadis itu gemetar ketakutan. Berjongkok di belakang tembok, sembari memeluk lutut. Tidak punya keberanian sama sekali untuk mendekati orang yang baru saja bicara padanya.

"Kau tidak akan kuapa-apakan." lanjutnya.

Ternyata membuahkan hasil. Gadis kecil bermata hazel itu mengintip dari balik tembok, wajahnya nampak separuh.

"Aku janji!"

Perlahan, anak berusia enam tahun itu keluar. Ketakutan tergambar dari matanya.

"Kemarilah ...."

Dia melangkah, mendekati pemuda itu. Kelihatan ragu. Tepat ketika mereka berhadapan, tangisannya semakin deras, seolah meminta bantuan. Pemuda tinggi dihadapannya tersenyum lembut. Walau dalam hati tersayat perih. Kapan kondisi seperti ini akan usai? Batinnya.

Ordion's HunterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang