Warm

1.1K 232 14
                                    

Akhir pekan hampir tiba. Hari-hari Changbin dihabiskan dengan bermain bersama para penghuni istana juga membantu Paman Matthew di ladang. Hubungannya dengan sang pangeran juga membaik setelah coklat yang dibawanya hari lalu diberikan pada sang pangeran dan prajuritnya. Kini dia tidak lagi menyandang nama penyusup. Changbin naik pangkat menjadi ksatria karena sudah menyelamatkan Felix sang raja yang hampir terpeleset di dapur beberapa hari yang lalu. Bahkan Brian mengangumi model rambut undercut milik Changbin.

"Aku perlu ke kota, mencari bahan makanan." Changbin duduk di sofa balkon Felix. Ah, ini  juga menjadi cara Changbin untuk mengahbiskan harinya.

"Ajaklah Daniel ke sana saat akhir pekan. Aku tak mau kau tersesat." Felix menyeruput teh hangat yang Changbin buatkan.

"Anak-anak tidak sekolah?"

"Ini musim libur Changbin. Lagipula baru Daniel yang sekolah. Tahun depan baru sang pangeran, panglima, dan prajuritnya yang masuk sekolah."

"Di mana sekolah Daniel? Aku tak melihat ada sekolah di sini"

"Satu setengah mil dari sini. Dia harus berangkat pagi lalu ikut para pengirim gandum waktu subuh dan ikut pulang sore harinya."

Changbin diam. Ia jadi ingat dulu sering bolos waktu kuliah. Changbin merasa malu dengan Daniel. Di Korea dia menyianyiakan ilmu, tapi di sini, di desa kecil ini banyak masa depan cerah yang membutuhkan ilmu.

"Kenapa kau diam?" tanya Felix yang merasa Changbin sedang melamun.

"Tidak. Aku hanya berpikir kalau akan baik jika ada sekolah di sini. Kenapa tak ada pemerintah yang turun tangan?"

"Setelah perselisihan dengan kakekmu? Mustahil."

"Apa maksudnya?"

"Dulu pemerintah setempat tidak mengijinkan kakekmu berbisnis di sini, mereka menganggap bisnis kakek bisa merusak alam. Padahal itu hanya alasan mereka saja yang tak suka orang asing berbisnis di tanah mereka. Tapi karena kami yang di sini mendukung kakekmu mereka bilang terserah. Dan busuknya lagi, pasokan gandum dari kami mereka terima juga di kota."

Changbin kembali terkejut. Banyak yang berkorban di sini ternyata.

"Lantas kenapa kalian menganggap kakek sebuah keberuntungan kalau kalian sendiri menderita akan itu?"

"Menderita? Tidak, kami tidak menderita. Hidup kami jauh lebih baik setelah kakekmu datang. He's like our savior. Dulu sebelum kakek ke sini, kami sangat menderita. Akses ke kota susah, tidak ada listrik mengaliri rumah kami, orang-orang hanya menangkap ikan dari danau. Tidak banyak, sebagian digunakan untuk bahan makanan, sebagian di jual ke kota dan perlu waktu dua hari untuk ke sana lalu kembali lagi. Dan semua berubah saat kakekmu kemari. Kalian penyelamat hidup kami." Felix mengakhiri kalimatnya dengan senyuman hangat.

Changbin tak mengira keluarganya sangat berarti dihidup orang lain. Ada sesuatu dari Felix yang Changbin rasakan setelah Ia mendengar cerita dari Felix. Seperti suatu keinginan untuk tetap hidup bernafas dan menjadi arti bagi orang lain.

"Fel, kau dingin?" Felix mengangguk, udara malam memang selalu begitu.

Tangan Changbin merengkuh pundak Felix, menariknya ke tubuh Changbin lalu meletakkan kepala Felix pada dadanya dan tangan Changbin melingkar pada perut ramping Felix.

Felix terkekeh, "bilang saja kau mau memelukku"

Changbin tersentak, tangannya melonggar pada perut Felix, namun segera diraih kembali oleh Felix dan digenggamnya.

"Kalau tidak mau ya sudah" cibir Changbin tidak terima.

"Tak perlu basa-basi kau bisa mendapatkannya tanpa kau minta. Dan kapanpun kau mau."

metanoia || changlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang