The Truth: I Won't Leave You

702 134 0
                                    

"Ku temani ya?"

"Tidak usah."

"Tapi aku ingin ikut, ya?"

"Tidak."

"Sekali saja, ok?"

"KUBILANG TIDAK, JEONGIN!"

plak!

Jeongin mendapat tamparan di pipi. Ia terkejut Hyunjin melakukan itu padanya. Tangannya memegang pipi kanannya yang baru saja ditampar Hyunjin. Ini adalah kali pertama di hidupnya Jeongin ditampar seseorang. Nafas Hyunjin memburu. Keringat mengucur dari pelipisnya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Ia terduduk lemas di hadapan Jeongin. Sedang Jeongin masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Matanya sembab ingin menangis. Ia tak percaya Hyunjin melakukannya.

"Pulanglah Jeongin." Jeongin menangis saat itu juga.

"PULANG SEKARANG!" setelah teriakan Hyunjin yang terakhir itu Jeongin menyambar tasnya lalu pergi dari rumah itu tanpa menunggu lama.

"Maafkan aku Jeongin, maafkan." ucap Hyunjin lirih setelah Jeongin pergi. Badannya bergetar hebat, Hyunjin menangis di sana. Kepalanya sakit. Sangat sakit. Pandangannya kabur. Hyunjin pingsan saat itu juga.

"Jeongin, kenapa pipimu merah?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jeongin, kenapa pipimu merah?"

"Aku tersandung batu di jalan. Aku tidak apa-apa, Kak." Minho terlihat khawatir dengan Jeongin. Namun ia percaya begitu saja karena Jeongin belum pernah berbohong sebelumnya.

"Kalau begitu, gantilah pakaianmu. Istirahatlah, akan ku ambilkan kompres supaya pipimu lebih baik." Jeongin mengangguk. Bibirnya ingin tersenyum tapi pipinya sangat sakit. Rupanya tamparan Hyunjin tadi cukup keras, hingga membuat pipi Jeongin sedikit bengkak. Setelah Minho datang mengompres pipinya, Jeongin berbaring di kasur. Ia masih memikirkan di mana letak kesalahannya hingga Hyunjin menamparnya. Kenapa juga Hyunjin menamparnya. Jeongin memikirkan itu semua hingga tanpa sadar ia terlelap.

Hampir tiga minggu Jeongin tidak bertemu dengan Hyunjin. Ia tak berkunjung ke sana, dan mereka juga tak berkomunikasi melalui ponsel. Jeongin rasa ia masih belum siap bertemu dengan Hyunjin setelah kejadian itu. Namun otaknya tak pernah berhenti memikirkannya. Siapa yang akan mengobati luka Hyunjin kalau ia terluka? Apakah Hyunjin baik-baik saja setelah itu? Kenapa ia tak menghubungi Jeongin? berbagai macam pertanyaan berlalu-lalang di pikiran Jeongin.

Hingga ia memutuskan untuk mengunjungi Hyunjin sepulang sekolah. Diketoknya rumah Hyunjin, namun tak ada jawaban. Ia menunggu di sana hampir setengah jam, tapi Hyunjin tetap tidak ada. Ia menyerah lalu memilih untuk pulang. Keesokan harinya ia kembali berkunjung, namun tetap tidak ia temukan Hyunjin. Jeongin melakukan itu setidaknya selama tujuh hari, tapi tetap saja nihil. Ia juga mencoba untuk menghubunginya, tapi tak pernah ada jawaban ataupun balasan.

Jeongin menyerah. Benar-benar menyerah kali ini. Ia kembali menjalani kehidupannya seperti biasa. Kini Jeongin disibukkan dengan kompetisi-kompetisi yang ia ikuti di sekolah maupun di luar sekolah. Sampai dua tahun berlalu, Jeongin kini sudah lulus dari sekolahnya. Ia berniat meneruskan untuk kuliah, namun ia ingin istirahat sebentar. Kecintaannya pada buku yang awalnya hanya sekadar tuntutan membuat Jeongin sekarang menjadi kutu buku dan ia habiskan waktunya untuk membaca buku saja. Minho bahkan membuatkan perpustakaan kecil di rumahnya karena buku-buku Jeongin perlu ruang.

metanoia || changlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang