The Kids

1.4K 257 31
                                    

Matahari masih baik membangunkan Changbin dengan cahaya hangatnya. Belum memanas karena hari masih pagi. Tidak ada suara kendaraan atau suara bising lainnya, membuat pagi Changbin kali ini jauh berbeda dengan pagi biasanya. Yang ada hanya suara burung yang berkicau, dan riak air danau yang sedikit terdengar karena jaraknya lumayan dekat. Pemuda itu tak langsung bangun. Ia masih telentang menghadap ke arah balkon yang tertutup tirai putih rajutan tepat di depannya. Samar-samar terlihat air danau yang mengkilat tertimpa sinar mentari. Pandangan pemuda itu beralih ke rumah putih di sebelah rumahnya. Terasnya lebih luas dari milik Changbin. Rumah itu dikelilingi pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa yang ditumbuhi tanaman bersulur dan bunga-bunga liar. Changbin mengarahkan matanya ke balkon rumah itu yang semalam memperlihatkan seorang pemuda berambut pirang. 

Lamunannya buyar saat suara Bibi Seojin memanggilnya dari bawah. Beliau mengantar waffle dan coklat panas untuk sarapan Changbin.

"Kau mau ke mana hari ini?" tanya Bibi Seojin sambil menata waffle di piring. Changbin hanya menggeleng.

"Ikut Matthew ke ladang saja."

"Aku boleh ikut?"

"Tentu saja, itu juga ladangmu Nak. Habiskan ini, satu jam lagi dia berangkat. Aku pulang dulu."

Changbin melahap waffle nya dengan semangat. Segera setelah makanannya habis, Changbin membersihkan diri dengan air dingin. Badannya sedikit menggigil karena airnya terlalu dingin, tapi menyegarkan. Dipilihnya kaos berwarna abu-abu gelap dengan jeans hitam dari kopernya. Belum sempat Changbin pindahkan pakaian ke lemari. Saat dirinya berkaca, terdengar suara tawa yang cukup riuh dibarengi derap kaki berlari.

"Yang terakhir sampai sana harus menggendong pemenangnya!"

"Hey! Jangan mendorongku!"

"Aku akan jadi yang tercepat!"

"Cepatlah sedikit! Kau menghalangiku!

Changbin yang penasaran melihatnya dari balkon. Ada tujuh anak laki-laki berlarian ke arah rumahnya. Dan tiba-tiba...

Bruk!

Anak yang terakhir berlari tersandung batu di depan rumah Changbin. Pemuda yang melihatnya dari lantai dua itu bergegas turun menemui anak yang terluka di bagian lutut. Setiba Changbin di bawah, anak itu meringis memegangi lututnya.

"Kau tak apa?" Changbin menghampiri anak itu, dan berjongkok menanyakan keadaannya.

"Aku tak apa, tapi aku tak bisa menggendong Brian dengan lutut terluka seperti ini." Changbin yang tadi sempat mendengar taruhan mereka tertawa kecil. Anak ini masih memikirkan hukumannya padahal dia sendiri terluka.

"Mari, ku obati lukamu." Changbin mengangkat tubuh kecil anak itu, dan sebuah suara membuat mereka berdua menoleh.

"Ken?! Ken?! Kau di mana? Temanmu bilang kau jatuh, kau di mana?" pemuda berambut pirang yang semalam Changbin lihat, keluar dari pagar rumahnya dengan sebuah tongkat.

Dia buta.

"Kak Felix! Aku di sini" bocah bernama Ken itu berteriak pada si pemuda, dan membuatnya berjalan pelan ke arah suara Ken. Ken melepaskan tangan Changbin dari tubuhnya, dan berjalan tertatih ke si pemuda buta itu.

"Kau tak apa?" Felix, nama yang tadi Ken panggil mengusap kepala si bocah.

"Ya, aku ditolong pria itu." Ken menunjuk ke arah Changbin, padahal Felix juga tidak akan bisa melihatnya. Changbin yang dibicarakan, mendekat ke arah mereka berdua.

"Dia tadi jatuh tersandung batu di depan rumahku, aku mau mengobati lukanya dan kau datang."

"Ah, jadi kau cucu kakek? Maaf membuatmu khawatir karena Ken, biar temannya yang mengobati lutut Ken. Terima kasih sudah menolongnya. Dan Ken, pergilah menemui Daniel di rumah, minta dia mengobati lukamu." Ken segera berjalan ke rumah Felix setelah diperintah.

metanoia || changlixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang