2~Di neraka atau surga

4.3K 462 197
                                    

Operasi perburuan gerilyawan pemberontak itu sengaja dilakukan di sebuah desa di Ambarawa, karena Raka Narayana—otak dari pemberontakan yang terjadi beberapa hari lalu di kediaman Sato—berasal dari desa itu. Operasi penyisiran dikomando oleh Sato Keita. Tentara muda Jepang yang energik berpangkat Letnan. Di usianya yang masih muda, kecakapan dan ketegasannya memimpin membuat Keita disegani oleh bawahannya

Siang itu cuaca Ambarawa sungguh terik. Keita mengipas-kipaskan topinya menahan gerah. Dengan mengang-kat lengan, lelaki itu mengusap peluhnya dengan baju yang juga sudah basah oleh keringat.

"Sato-chui, kaihougun ga kakureta mura wo manbennaku sirabemashita. anninka taiho shimashita (Letnan Sato, kita sudah selesai menggeledah satu desa yang menjadi sarang dari para gerilyawan. Ada beberapa orang yang kita tahan)," lapor seorang tentara Jepang kepada atasannya, Sato Keita dalam bahasa Jepang.

Keita menerima laporan anak buahnya. Bola mata yang dibingkai kelopak sipit itu mengedarkan pandang, mengabsen jumlah pasukan yang ada di kelompoknya.

"Sasaki-Gocho to Inoue-Gocho wa doko itta (Ke mana kopral Sasaki dan Inoue)?" Keita kembali menghitung satu-satu jumlah tentaranya sebelum kem-bali ke posnya di Ungaran.

"Ano...." Letnan Yamada Hiro, nama tentara yang men-jadi orang kepercayaan Keita dan kebetulan ikut membantu penggeledahan ini tidak bisa menjawab. "Saya akan cari."

"Nanninka buka wo tsurete, sagasu! Kimi wakokonii-ro (Kamu di sini, saya akan mencari bersama beberapa tentara)!" perintah Keita. Entah kenapa, kali ini Keita ingin turun tangan sendiri menumpas gembong pemberontak yang sudah membuat onar di tempat kediamannya. Pemberontak itu hen-dak merampas senjata yang baru saja dikirim oleh Kekaisaran Jepang.

Lelaki itu lantas meraih senjata laras panjangnya. Katana yang merupakan warisan dari sang kakek, menggantung di pinggang. Keita dan beberapa anak buahnya berjalan me-nyusuri jalan pedesaan yang sudah sepi. Beberapa terdengar ratap tangis anak kecil. Namun tak dia pedulikan.

Mati. Hati Keita sudah mati. Belas kasihan seolah lenyap dari dalam hatinya. Keinginannya membunuh dan membesar-kan nama Kekaisaran Dai Nippon di Asia Raya bergolak di dalam darahnya. Hukum alam yang berlaku dalam jiwanya; Membunuh atau dibunuh! Dan Keita memilih membunuh.

Perang sudah mengubah hatinya sekeras batu. Tangisan pilu anak-anak itu tak menyentuh hatinya. Dan, Tuhan memberikan cara lain untuk mengubah hati sekuat karang, dengan sesuatu yang bahkan tak pernah Keita pikirkan.

Wajah tirus berkulit kuning terbakar mentari negeri khatulistiwa itu menampakkan wajah bengis yang membuat disegani sekaligus ditakuti oleh anak buahnya. Wajahnya tak menunjukkan belas kasihan. Mata sipitnya bagai elang yang siap menerkam mangsa. Langkah semua boot-nya menyibak debu ja-lanan, menggariskan ketegasan pada setiap jejak tertoreh pada tanah kering.

Satu per satu rumah Keita masuki untuk mengecek apakah anggotanya disekap atau mungkin dicelakai di situ. Namun sudah sepuluh rumah Keita datangi tetapi tetap tidak mendapati yang dicari.

"Ato ikken, sono ato modorimashou!" seru Keita pada anak buahnya memberi tahu bahwa setelah satu rumah lagi mereka akan kembali ke barak. Tangannya terangkat menunjuk ke sebuah rumah yang berada di sisi kanan jalan.

Keita bergegas masuk ke halaman rumah tradisional yang sederhana itu. Pelataran kecilnya terlihat asri dengan bunga melati yang ditanam di sisi pagar. Begitu masuk, bau harum bunga berwarna putih itu menyeruak karena saat itu bunga kecil tersebut berbunga lebat. Keita meluruskan langkah, dan pandangannya tertuju pada pintu yang sudah rusak karena didobrak.

Keita menaiki beberapa undakan dan ketika berada di ambang pintu, wajahnya berubah mengerikan. Matanya melotot tatkala melihat pemandangan tak senonoh yang dilakukan oleh dua bawahannya.

Kei...(completed- Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang