4~Sapu Tangan Merah

2.9K 353 97
                                    

September 1943

Dewa dan Raka sudah memasang strategi untuk menjarah senjata dari pasukan Jepang. Dewa mendengar bahwa senjata itu disimpan di kediaman Kolonel Sato Tasuku yang bertugas di Semarang. Namun kediamannya di Ungaran disinggahi oleh anak-anaknya.

"Itu lebih baik daripada kita menyerang barak tentara Jepang," kata Dewa antusias. Matanya berbinar tak sabar ingin menjalankan misi itu.

"Biar aku yang berangkat," kata Raka tegas.

"Tidak! Kita satu tim dan akan selalu bersama," sergah Dewa bersikukuh.

"Kamu akan menikah dengan Keinan. Bagaimana kalau terjadi apa-apa?" tanya Raka cemas.

"Dengar, aku tidak akan meninggalkan adikmu. Mengerti?" Dewa menepuk punggung sahabatnya.

"Aku ikut, Mas!" seru Keinan yang muncul dari belakang. Gadis itu mendengar sekilas percakapan Kakak dan kekasihnya.

Dewa terkejut karena tiba-tiba Keinan sudah muncul di markas persembunyian mereka.

"Aku akan menjadi sukarelawan...."

"Tidak!! Kamu di rumah!!" hardik Dewa.

"Tapi—"

"Turuti Dewa, Dik. Misi ini terlalu berbahaya," kata Raka pada adiknya.

Dewa mengantar Keinan pulang setelah timnya berdiskusi tentang strategi penyusupan itu. Keinan merasa galau, tidak ingin berpisah dengan Dewa tunangannya. Dewa menggandeng tangan mungil itu. Sesekali Dewa mencium punggung tangan kekasihnya. Membuat Keinan merasa melayang dengan perlakuan manis sang kekasih.

Dewa menghadapkan badannya ke arah Keinan. Menatap tajam perempuan kecil yang ada di hadapannya dengan tatapan yang teduh. "Kei ... setelah kita menikah, kamu tidak usah ikut Mas bergerilya ya. Mas tidak ingin kamu terluka."

Dia memeluk Keinan sambil berbisik, "Aku akan selalu melindungimu, dan akan mengirimkan malaikat pelindung untukmu."

***

Bukan Keinan namanya kalau hanya menurut saja. Malam saat akan rombongan gerilya berangkat, Keinan mengendap-endap ikut dalam kelompok pasukan yang semuanya adalah laki-laki.

"Dewa, kamu bawa tunanganmu?" tanya Bimo berlari menyusul Dewa yang ada di barisan depan.

Langkah Dewa terhenti. Wajahnya masam karena marah sebab Keinan tidak mengindahkan larangannya. Dewa berjalan mundur mencari Keinan yang masih berada di belakang. Tak lama kemudian, dilihatnya Keinan dengan baju putih dan tanda palang merah di lengannya menenteng tas yang berisi obat - obatan.

"Kei ... kamu kenapa ikut?" Mata Dewa mendelik saking marahnya. Tangannya mencengkeram lengan Keinan membuat tubuh Keinan sedikit terangkat.

"Aku akan memastikan Mas Dewa baik-baik saja," jawab Keinan dengan mata menantang. Dewa membuang napas kesal.

"Kumohon ... tunggulah di sini," pinta Dewa dengan sangat.

"Tidak, Mas ... aku ikut!" tandas Keinan tak mau kalah.

"Kumohon, Kei... aku tidak ingin kamu terluka. Tunggulah di sini," pinta Dewa dengan tatapan memohon. Dewa melepas sebuah kalung berukir namanya Dewa Pamungkas dan menarik tangan Keinan untuk memberikan kalung itu di telapak tangannya.

Keinan menerima kalung tersebut. Manik mata bulat jernih milik Keinan menatap kalung yang kini berada di atas telapak tangannya. Keinan benar-benar tidak ingin berpisah dengan Dewa. Namun kali ini Dewa tidak seperti biasanya. Dewa bersikeras tidak memperbolehkannya ikut dalam misi gerilya kali itu.

Kei...(completed- Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang