8

83 4 0
                                    


Di jalan yang nampak lengang itu sebuah mobil melaju dengan kencangnya, sesekali si pengmudi itu menambah kecepatan mobilnya. Entah akan kemana tujuan pengemudi itu, yang terpenting baginya sekarang adalah menyendiri. Menepi ke sebuah tempat yang sepi tanpa gangguan orang sedikitpun.

Sudah  dua puluh menit mobil itu melaju dengan kencangnya tak tentu arah. Di dalamnya pun si pengemudi nampak kacau, rambut yang tergerai acak-acakan, pipi merah dan mata sembab sehabis menangis. Sesekali dia menjambak rambutnya frustasi, dia berteriak berusaha meredakan sesak di dadannya tapi itu semua sia-sia yang ada dia semakin menyakiti dirinya sendiri.

" AAA...."  Teriaknya lagi. Entah sudah yang ke berapa kali Kia berteriak seperti itu, dia masih berusaha meredakan sesak di dadanya, tapi nihil semua itu sia-sia. Dadanya semakin terhimpit sesak, seakan ada sesuatu yang menindih dadanya hingga sesak. Air mata terus mengalir dengan derasnya meninggalkan luka yang mendalam. Masih teringat jelas di kepalanya saat dia di aniaya oleh ibu tirinya, bukan itu yang membuatnya sesak dan sakit hati. Tapi, sikap papanyalah yang membuatnya sakit hati. Di mana saat papanya lebih peduli akan istrinya ketimbang putri kandunya, darah dagingnya. Padahal jelas jika dia lah yang paling tersiksa di sini.

Dia di dorong, di jambak, di maki. Semua itu Kia rasakan seorang diri. Papanya seakan tutup mata akan kejadian itu, hanya karena dia kebetulan melihat istrinya yang di tampar oleh Kia, dia bersikap acuh pada Kia.

Dia sakit, dia butuh sandaran, dia butuh tempat untuk bercerita, dia butuh pelukan untuk menenangkan hati dan pikirannya. Tapi siapa. Siapa yang bisa Ia jadikan sandara, siapa yang bisa dia jadikan tempat bercerita, dan siapa yang mau memeluknya. Semua sudah pergi meninggalkanya sendirian. Pertama mamanya dan sekarang papanya jiga mengacuhkanya, menatapnya dingin seolah dia orang asing.

Ingin dia bercerita pada sahabatnya, tapi di tahanya. Sudah cukup sahabatnya mendengarkan cerita hidupnya, kesakitanya, dan kesedihanya. Dia cukup tahu diri kalau sahabat-sahabatnya juga mempunyai masalah mereka sendiri dan dia tidak mau membebani mereka dengan ceritanya.
 
Tangisnya sudah mereda di sepanjang jalan, hanya menyisakan sesak di dadanya saja. Dia menepikan mobilnya di pinggir jalan tepat di dekat taman. Dia rasa taman itu cukup sepi untuk sekedar menyendiri.

Kia melepas seatbelt yang sedari tadi mencekik tubuhnya. Dia melihat wajahnya di kaca sepion sebelum keluar, jelas terlihat di matanya kalau keadaanya sangat kacau, ambut berantakan bekas jambakan orang gila itu di tambah dirinya tadi, mata sembab dan pipi merah karena terlalu banyak menangis. Dia mendengkus, masa bodoh dengan wajahnya yang terlihat sembab ini, toh mau di apakan lagi. Dia juga baru menangis. Siapa juga yang akan melihat penampilanya. Pikirnya.

Kia merapikan rambutnya sedikit, kemudian keluar dari mobil. Dia berjalan menyusuri taman itu dengan wajah yang masih sendu. Matanya menangkap objek yang membuatnya teringat akan masa lalunya.

Dia memandang objek itu tidak dengan minat kali ini. Berbeda jika suasana hatinya sedang tidak mendung seperti sekarang, pasti dia akan memainkan ayunan itu dengan sangat semangat. Kia berjalan ke arah ayunan itu dengan langkah gontai kemudian duduk di atasnya dengan sesekali mengayunkanya dengan tidak semangat.

Kia tersenyum getir, mengungat keadaan kekuarganya yang kacau ini membuatnya rindu akan sosoknya. Sosok yang selalu ada untuknya dulu, sosok yang selalu menemaninya saat dia senang maupun sedih, sosok yang di anggapnya penting setelah kedua orangtuanya.

" Aku rindu kamu Rio, tapi aku harus buang rasa rindu aku jauh-jauh buat kebaikan Kita atau mungkin cuma buat kebaikan aku aja " Lirihnya. Kia tersenyum getir mengingat kehidupanya yang hancur ini setelah orang-orang yang di sayanginya mulai pergi.

<><><>

Gavin mengendarai mobilnya dengan santai dan riang, sesekali dia bersenandung kecil. Sungguh, senyumnya tak pernah luntur dari wajahnya saat lagi-lagi dia mengingat Kia. Dia senang bukan main saat tadi dia berhasil mengantar Kia pulang dengan selamat walau dengan sedikit paksaan darinya. Mengingat bagaimana wajah Kia yang memerah menahan marah dan malu terhadapnya membuat dia semakin tersenyum.

" Liat lo marah sama gue aja udah bikin gue cinta sama lo Ki apalagi kalo lo senyum manis ke gue, tambah cinta mati pastu gue lo buat Ki " Gumamnya seorang diri.

" Gue gak tahu kenapa gue suka sama lo padahal banyak cewek yang ngedeketin gue tapi mereka gak bisa nyingkirin doi di hati gue, tapi lo. Sekali gue lihat senyumlo waktu di kantin entah kenapa jantung gue berdetak lebih kenceng dan tanpa gue duga lo bisa nyingkirin doi di tahta tertinggi hati gue Ki " Lanjutnya.

Terlalu asik dengan pemimikirannya hingga tak sadar Gavim sudah sampai di rumahnya. Dia melepas seatbeltnya kemudian turun. Langkahnya ringan seperti tak ada beban sama sekali dalam hidupnya. Ini semua karnyanya, karena Kia yang tiba-tiba masuk dalam hidupnya.

<><><>

Kiaenghembuskan nafas lelahnya. Sudah dua jam dia menyendiri di taman ini dan dengan berat hati dia harus pulang kerumah papanya. Dia tidak peduli dengan apa yang akan dia hadapi saat di rumah nanti. Dia tidak peduli,  hati dan seluruh tubuhnya sudah sakit, yang di inginkan saat ini hanyalah tidur. Tapi, itu mustahil baginya.

.......

Setengah jam lamanya Kia berkendara dan kini dia sudah sampai di rumahnya. Berbeda dengan tadi sore saat dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, tadi dia hanya berkendara dengan kecepatan normal karena malas untuk segera sampai di rumah.

Sampai di dalam rumah, Kia di sambut dengan wajah gahar papanya dan wajah sok memelas dari ibunya. Kia mendengkus.

' Wanita sialan...' Desisnya dalam hati.

Dia sudah berencana untuk melewati orangtuanya agar segera sampai di kamarnya dan segera istirahat, tapi itu tidak akan mudah saat melihat wajah papanya yang nampak menahan marah itu.

" AZKIA IVA KALILA....keruangan papa sekarang " Panggil papanya menggelegar.

Kia hanya menghembuskan nafasnya pasrah saat mendengar panggilan dari papanya. Dia sudah tahu ini akan terjadi jadi dia hanya diam dan mengikuti langkah papanya meninggalkan wanita gila itu.

...

" Kia...papa sangat kecewa dengan apa yang kamu lakukan pada mama kamu tadi. Apa papa  pernah mengajarkanmu menjadi orang yang berani melawan orangtua hah ?" Tanya Arwan papa Kia.

Raut kecewa tercetak jelas di wajahnya saat melihat putrinya menampar mamanya. Walau bukan mama kandung seharusnya Kia menghargai dan tidak memukul mamanya seperti tadi sungguh dia sangat kecewa.

Kia masih diam dengan pertanyaan papanya tadi. Dia malas berdebat. Di tambah hatinya makin terasa sakit saat  papanya menatapnya dengan kekecewaan yang menyelimuti wajahnya.

" Jawab papa Kia. Apa papa pernah mengajari kamu untuk berbuat kasar pada orangtua ?"

" Gak....papa gak pernah ngajarin Kia berbuat kasar sama orang lain "

" Trus kenapa kamu nampar mama kamu sayang. Papa tahu kamu masih gak terima kalau papa nikah lagi tapi gak seharusnya kamu berbuat kasar sama mama kamu "

Cukup, hati Kia sakit mendengar papanya membela orang gila itu. Dia sakit. Tapi dia tidak bisa menceritakan apa yang terjadi padanya pada papanya. Cukup dia membuat papanya sakit karenanya tidak juga karena wanita gila itu dia tidak mau papanya merbalik menjauhinya dan membela wanita gila itu kerena dia di tuduk berbohong karena menceritakan kelakuan biadap orang itu.

Kia memilih diam sambil merapalkan kata maaf untuk menyembunyikan semuanya sendiri kesakitanya dan lukanya sendiri tanpa seorangpun tahu lebih dalam lagi.

SWETT & SOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang