Kebingungan Tak Berujung

757 73 1
                                    

A L E V

Terkadang ada beberapa hal yang menurut gue gak perlu kita bagi ke media sosial, contohnya kayak lagi bersamaan sama temen-temen gini. Hal-hal indah itu cukup buat kita aja, bukan untuk konsumsi publik.

Jam 4 sore gue, Naomi, dan Jendra memutuskan untuk bertemu di Solaria karena nongkrong di Starbucks udah bosen.

Seperti biasa Jendra bercerita banyak perihal Ibunya yang baru saja melahirkan, lalu Naomi dengan cerita gaynya (oke biar gue jelasin, jadi Naomi itu selalu tertarik dengan hal-hal yang berbau LGBT), dan gue dengan cerita nyokap yang baru balik dari Perth.

Sampai gue teringat di suatu hal.

"Nao, Jen," Gue memanggil mereka dengan nada serius. Mereka mengalihkan tatapannya ke arah gue lebih serius lagi, sesekali Jendra mengepulkan asap rokoknya.

"Lo berdua tau Jane kan?"

Naomi jelas-jelas mengangguk.

"Ya tau lah, Jane yang mukanya imut itu kan? Yang matanya kaya orang Korea, idungnya itu idung orang Spanyol gitu, terus kulitnya kaya kulit Eropa?" Celetuk Jendra, ucapannya berhasil membuat gue tertawa ngakak sementara Naomi hampir tersedak jus jeruknya.

Naomi memukul kepala Jendra, "Gobloknya kebiasaan," Jendra menoleh sinis lalu mengaduh kesakitan.

"Udah serius dulu lah," Ucap gue lagi, mereka pun kembali serius dan gue pun langsung menjelaskan perihal Meemawnya yang meninggal, Naomi juga Jendra sudah mengetahui hal itu.

"Tapi lo belum tau kan hal yang kagetnya apa." Lanjut gue lagi membuat mereka makin mencondongkan posisi tubuhnya ke arah gue.

"Ya apa sih? Lo jangan bikin penasaran gitu dong." Protes Naomi, ia menghunuskan tatapan tajamnya dan Jendra masih santai saja.

"Pertama, gue ketemu dia di Starbucks deket Bandara Soekarno-Hatta," Dapat gue liat Naomi melebarkan matanya seolah tak percaya, Jendra berhenti menyulut rokoknya, "kedua, foto dia sama Meemawnya ketinggalan di tempat yang gue dudukkin." Lanjut gue seraya merogoh saku untuk mengeluarkan foto polaroid milik Jane.

Naomi yang merebut polaroid tersebut, "Lah iya, ini kan yang di status dia, iya gak sih Jen?" tanyanya meminta pendapat Jendra.

Jendra menatap fotonya sebentar lalu mengangguk. "Bukannya seorang Alev itu benci sama Jane ya? Meskipun gue tau mereka ada di satu organisasi yang sama. Tapi apa pernah liat Alev berinteraksi sama Jane? Ngga kan?"

Naomi menggeleng dengan cepat gue hanya diam saja menunggu temen-temen gue yang sok menjadi ahli tafsir.

"Sulit dipercaya. Dua orang yang saling membenci—eh ralat, sepertinya Jane tidak membenci Alev. Tapi mengapa mereka bisa bertemu?" Jendra mengetukkan jarinya di dagu, sambil terus berpikir dengan wajah sok serius.

Naomi menjentikkan jarinya, "Apa jangan-jangan mereka..."

"Ah apa-apaan sih," Tukas gue kesal, omongan mereka tuh ngelantur jauh banget. "lo semua nggak nyambung. I don't give a damn anyway. Yang jadi permasalahannya ini nasib polaroid gimana?" Gue mengibaskan foto polaroidnya ke udara.

"Nggak bukan begitu, Lev," Naomi mencoba menjelaskan "maksud gue aneh aja gitu bisa ketemu—Oh iya, pas ketemu kalian sempet eye contact gak? Atau sempet ada interaksi?"

Gue terdiam sebentar mengingat kejadian tadi pagi. "Nggak sih," Gue menggeleng, "gak ada interaksi sama sekali. Gue liat dia nangis, awal gue kira kenapa gitu kan, ternyata dia masih sedih. Terus dia balik ngeliatin gue, dan kocaknya," Gue menarik napas memberi jeda, "dia langsung buang muka gitu dong sambil ngusap air mata. Dan gak lama setelah itu dia cabut." Gue menjelaskan secara rinci meski gak rinci-rinci banget yang penting poin pentingnya.

Jendra mengangguk-anggukkan kepalanya, "Yaudah tanpa bermaksud GR atau gede rasa, mending cepetan lo balikin polaroidnya."

Gue menggigit bibir, "Bukannya gak mau... Cuma gue tuh," seketika rasanya kelu, gue diam mencari kalimat yang pas "kayak masih ragu. Jangan gue deh yang ngasiin, lo aja atau Naomi ya? Ya? Please." Gue memberikan puppy eyes terbaik.

"Gak gitu Lev. Gini deh ya, bukannya gue sama Jendra gak mau bantuin, tapi lo masa gak mikir sih. Kan awal yang ketemu di sana tuh elo, bukan gue ataupun Jendra," gue menyimak Naomi, "pasti Jane sadar kalo polaroid dia ilang dalam waktu dekat deh. Ga mungkin tiba-tiba polaroidnya ada di gue atau Jendra, kan terakhir emang di Starbucks yang cuma ada lo." jelas Naomi

"Iya bener! Apalagi lo kan temen deket gue sama Naomi, ya gak lucu aja kalo tiba-tiba kita yang ngembaliin itu ga make sense banget." timpal Jendra.

"Yang ada, Jane mikir lo itu pengecut karena ga berani ngasihin sendiri." Naomi benar-benar menambahkan klimaks, membuat gue berpikir lebih luas lagi. Ada benarnya yang dikatakan oleh mereka, tapi kenapa harus gue sih?

Gue menghela nafas berat, "Yaudah liat nanti aja. Soalnya gue males liat dia."

"Lo sih, gak jelas banget. Benci sama orang yang lo kenal aja boro-boro." sindir Naomi tepat menusuk di ulu hati. Tapi gue ga peduli.

"Bodo."


J A N E N I N A

Landing atau pendaratan pesawat kali ini cukup mengganggu, setelah sejam berkutat di pesawat dengan perasaan gundah gulana.

Aku udah sedikit melupakan perihal polaroid meski rasanya masih ada yang ganjel di hati. Aku ga akan menceritakan step by step karena jujur hal ini sangat melelahkan ditambah beban pikiran.

Tadi di Boarding Room aku sempet buka LINE dan masuk pesan dari Ayah yang bilang hati-hati, tapi males bacanya. Jadi aku biarin aja.

Banyak yang me-replies statusku tapi aku bener-bener ngga mood buat bales pesan satupun. Yang aku pikirin sekarang; Meemaw dan ke mana perginya polaroidku. Masalah ketemu Alev di Starbucks beberapa jam yang lalu udah ga aku pikirin, meski sempat kepikiran ngapain dia di sana.

Dulu ya dulu, aku sempet mikirin kenapa Alev bisa sebegitu ga sukanya sama aku, padahal aku ga pernah tuh yang namanya cari gara-gara atau melakukan hal yang bersangkutan sama dia.

Cuma Ryandi Ardikta doang yang menganggap kalo Alev kayak membangun chemistry sama aku. Ryan selalu beranggapan tentang gaydar dia kalau suatu saat nanti Alev dan aku bakal dekat.

Ya mungkin sebagai teman. Tapi kayaknya ga mungkin, mengingat betapa anehnya raut wajah Alev ketika jarak kita berdekatan.

Aku hanya menanggapi hanya dengan bodo amat aja, karena Alev ga sama sekali ngusik, aku juga ga penah denger sama sekali Alev bilang di depan muka langsung kalo dia benci aku, aku hanya dengar dari orang-orang aja.

aleviajaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang