Kok Ada Jane?

472 51 0
                                    

Pada bagian ini adalah berdasarkan sudut pandang Alev.

•••

KAMI lebih terdengar seperti anak-anak yang sedang nongkrong untuk menghilangkan penat daripada anak-anak yang sedang mengerjakan tugas kelompok kayaknya.

Karena daritadi kita ketawa terus, gimana ga ketawa, Tagor mules sampai wajahnya memerah, kayaknya anak itu bakal diare deh.

"Udah sana ke toilet dulu lah, daripada berak di sini." Usir Jendra sambil mendorong dorong Tagor untuk segera pergi ke toilet. Begitu juga Yuna, ia menyuruh Tagor untuk pergi ke toilet.

Akhirnya Tagor pun pergi menuju toilet sembari memegangi perutnya dengan kedua tangan. Hal itu berhasil mengundang tawa kami berempat.

Sampai akhirnya Kazel datang dan duduk di sebelah gue, "Haloo!" Ia menyapa dengan suara riang.

"Eh gimana? Siapa nih penyanyinya?" Naomi yang sedang bersender pada kursi langsung menegakkan tubuhnya.

Kazel tersenyum jahil, "Tunggu aja. By the way, lo semua udah mesen makan sama minum kan??"

Jendra menunjuk gue dengan dagunya, "Tuh, bocah ini belom."

"Iya, sih belom." Gue menaikkan kedua alis sambil nyengir.

Kazel tersenyum, "Yaudah, ayo pesen dulu gue temenin." Katanya kemudian langsung menarik tangan gue tanpa persetujuan terlebih dahulu.

Gue menoleh ke belakang. Naomi, Jendra, dan Yuna memasang wajah tersenyum senang alias ceng-cengin gue sama Kazel.

"Lo mau pesen apa, Lev?"

Gue terperangah, "Bentar, oh ini aja deh." Sembari menunjuk ke arah Hazelnut Milk Tea pakai boba.

"Lah? Bukannya lo suka kopi?" Seloroh Kazel bingung. Tangan Kazel masih megangin tangan gue dan rasanya ini aneh banget duh.

Gue mengerjap kemudian terkekeh canggung, "Gue suka semua minuman kok."

Sekembalinya dari memesan minuman, tangan gue masih dipegangin sama Kazel dan tangan kiri gue megang minuman.

"Halo, nama gue Janenina," Terdengar suara yang seperti tak asing dan gue tau persis siapa pemilik suara ini.

Entah mengapa tiba tiba Jendra mengarahkan tatapannya ke arah gue, seolah dia merasakan hal yang gue rasakan.

Gue mengerlingkan mata berusaha bersikap normal, sementara kaki Naomi menyenggol sepatu gue, langsung gue balas senggol dengan lebih keras agar memperingatkan Naomi tidak berisik dan membuat yang lain menjadi curiga.

"Gimana?? Kaget gak?" Kata Kazel tersenyum lebar mengarah ke gue dan yang lain, "Gue yakin pasti kalian semua kenal. Kan satu angkatan sama Jane."

Yuna mengangguk, "Tau kok. Kan anak OSIS. Cuma kalo gue pribadi cukup tau doang, engga kenal sama dia. Tapi dia cakep sih." Sahut Yuna tanpa menoleh, ia sibuk menatap Jane yang sedang bernyanyi di depan.

"Yoi!" Sahut Jendra "Kalo gue sih kenal sama Jane. Kenal doang sih, tapi ga deket."

"Eh iya," Naomi berucap seolah ia baru menyadari sesuatu, "Bisa-bisanya lo ngundang Jane gimana deh?"

Kazel menoleh lalu tertawa, "Sumpah, gue sama dia sepupuan. Sori, gue baru cerita." Kekehnya.

Jir?

Hal yang barusan diucapkan oleh Kazel berhasil membuat gue—termasuk Jendra dan Naomi terkejut setengah mati. Namun kami berusaha menutupinya dan bertingkah normal, karena jujur... Jane sama sekali tidak terlihat ada kemiripan dengan Kazel.

Naomi menganggukkan kepalanya, "Oooh, jadi lo berdua tuh sepupuan... Eh kok gak mirip ya???" Gumam Naomi bingung sambil menatap ke Kazel dan Jane bergantian.

Kazel tertawa, "Iya lah. Kan beda orang tua, nangis nih gue." Candanya sambil masih tertawa dan sesekali tangannya menggenggam erat tangan gue.

"Gue kaget. Jujur banget nih ya." Timpal Jendra.

Kazel mengaduk aduk minumannya, "Kenapa pada kaget sih? Emang salah ya kalo gue sepupuan sama Jane?? Apa karena dia terlalu cantik?" Nada Kazel menjadi sedih, ia merasa bahwa dirinya tidak secantik Jane namun itu hanya gurauan belaka.

"Bukan gitu tau. Maksudnya tuh, Jane sama lo kan sama-sama blasteran ya? Tapi kalo Jane tuh kayak yang... Ketara aja gitu." Waktunya gue bersuara, semoga perkataan gue kali ini gak terdengar memuji Jane.

Lagian siapa juga yang mau muji dia.

Kazel menepuk bahu gue sambil terkekeh, "Iyaaa. Soalnya, Oma kita kakak beradik dan mereka orang Irlandia. Otomatis gue dapet turunan muka bule dari Bunda. Nah, kalo Jane dapet turunan bulenya dari Ayahnya alias Om gue. Tapi, kenapa muka Jane lebih bule...," Kazel menggantungkan ucapannya untuk menarik napas.

Ooh, jadi Ayah Jane adalah sepupu dari Bunda Kazel.

"Karena, Ibunya Jane itu campuran Pakistan Indonesia. Makanya dia dapet muka yang ga terlalu bule tapi agak ke Timur tapi ke Indonesia juga kan?"

Akhirnya Kazel menjelaskan dan sekarang gue tau kenapa muka Jane terlihat kayak beda dari yang lain. Seperti bule tapi bukan pure bule.

"Pantesan cakep." Tukas Jendra dan Yuna hampir bersamaan.

Perkataan dua orang itu nyaris membuat mata Kazel membelalak, "Tapi bukannya gue mau gossip ya. Gue yakin aja tuh anak ga suka cowok."

"Hah?! Maksud lo, dia suka cewek??" Potong Naomi langsung.

Memang ya, mentang-mentang Naomi menyukai hal-hal seperti ini, jika ada pembahasan mengenai seputar hal tersebut. Radarnya langsung jalan.

"Bukan begitu," Sergah Kazel, "Maksud gue... Yang kayak... Jane tuh susah buka hati. Tapi bisa jadi sih dia suka cewek. Cuma yaaa ini dugaan gue doang, soalnya gue ga pernah curhat curhat sih sama dia." Ia melanjutkan dengan menempatkan opininya di zona aman, karena tidak mau seolah menebarkan rumor kalau Jane itu suka perempuan.

"Ye, kebalikannya Jendra dong alias gak demen cewek." Timpal Yuna ngasal dan langsung ditoyor pelan kepalanya sama Jendra.

"Congor lo ye! Gak pernah bisa sopan. Suka cewek kok!" Sewot Jendra.

"Gue pribadi sih sama kayak gitu ya biasa aja. Tipikal yang support malah, karena ya mereka ga boleh dikasarin juga kali. Sama-sama manusia, terus kenapa harus saling diskriminasi cuman hanya karena perbedaan seksual preferensi." Entah kenapa gue malah mengemukakan pendapat dan Kazel terlihat agak kaget namun ia berusaha menutupi supaya terlihat normal.

Naomi mengangguk, "Bener banget. Yaiyalah kan lo suka semua." Katanya sambil meledek gue, tapi gue cuma natap dia dengan sinis.

"Love is love, hehe." Ucapnya pelan sambil tersenyum tipis kemudian ia mengeratkan kedua tangannya di tangan gue.

Perbincangan perbincangan tadi lama kelamaan menjadi bosan dan akhirnya gue memilih untuk menonton Jane yang sedang menyanyi di depan.

Rambut cokelatnya tergerai indah, entah kenapa tatapan gue enggan beranjak ke arah lain, Jane kali ini jadi satu-satunya sosok yang paling ingin gue tatap.

aleviajaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang