Hujan deras sore itu. Renata dan Vania sedang menunggu bus di halte.
"Dingin ya?" Renata merangkul Vania yang tampak kedinginan.
"Iyalah hujan. Gimana sih." Vania ngedumel sambil melipat tangannya di depan dada.
Tak lama bus pun datang.
"Eh tunggu!" Renata menutupi kepala mereka dengan jaket denimnya.
"Hahaha"
"Kok ketawa?" Renata bingung.
"Inget dulu hujan-hujanan pas balik ke asrama sama kamu!"Renata hanya tersenyum mendengar jawaban Vania. Mereka segera masuk ke bus, tapi tidak dapat tempat duduk. Jadi mereka berdiri. Renata berdiri di belakang Vania. Ia memegangi pundak Vania, sebelah tangannya memegang penyangga.
"Kok kamu di belakang sih? Sini aja." Vania menoleh ke belakangnya."Di belakangku banyak cowo."
"Ya makanya sini!" Vania menarik tangannya.
"Diem." Renata menahannya.Seperti biasa, Vania kalah kalau sudah soal kekuatan. Renata tidak bilang, kemeja merah yang ia pakai sekarang ada cap dan logo organisasi serta tulisan anggota perkumpulan muaythai, sudah cukup membuat takut pria-pria yang berdiri di belakangnya.
"Kamu gak kontek sama Dena sama Etha?" Tanya Vania tiba-tiba.
"Belum, udah lama ya. Akunya terlalu sibuk. Mereka juga pasti sibuk disana." Renata menatap kaca bus di depannya, menerawang jauh.
"Ya hubungin donk, Ren. Jangan diem aja. Jelasin maksud kamu yang dulu itu apa." Vania menoleh, membalik badannya dan menatap Renata.
"Ya kan tau sendiri."
"Ada hal yang harus dijelasin, Ren. Jangan mager ngejelasin deh."
Renata terdiam, ia cemberut. Tiba-tiba bus berhenti mendadak.
"Aduh!" Renata maju, menabrak hidung mancung Vania yang berambut sebahu itu.
"Eh sori. Hahaha!" Renata tertawa melihat Vania kesakitan memegang hidungnya. Renata melepas pegangan tangannya di bahu Vania.
"Makasih kek. Untung gue pegangin, kalo enggak udah jatoh lu ke belakang." Renata tersenyum sinis.
"Iya deh iya makasih ah!"
"Yeeeeh galak pisan."
"Teuing ah."
"Ini kenapa mendadak sunda dah?"
"Ya elu!!"
***
"Terus dia kejedot. Terus marahin gue masa." Renata sudah berceloteh sekitar satu jam di depan laptopnya bersama Vania, di layar laptop itu mereka berkomunikasi dengan dua orang sahabatnya yang ada di negeri kincir angin.
"Bagus Van. Gue dukung! Tu anak emang harus dimarahin sehari tiga kali biar waras." Denata tertawa di seberang sana.
"Eh jauh-jauh lu Den, gak usah nyender-nyender sama Etha!" Renata menunjuk layar laptop itu dengan jari telunjuknya.
"Biarin. Sirik. Orang udah tunangan juga." Denata mendekap Neratha yang tidur di sampingnya lebih erat. Mereka tengkurap sambil melihat laptopnya.
"Bangun lu berdua! Di kasur terus! Doyan amat!" Tiga gadis yang mendengar omelan Renata tak kuasa menahan tawanya.
"Sirik deh. Makanya lu ajak Vania ke kasur, bawa laptopnya, jadi pantat lu gak pegel duduk di depan meja belajar." Neratha memberi usul.
"Ih kalian sekongkol! Tau deh Tha yang udah dilamar." Renata melakukan rolling-eyes.
"Jadi udah ngapain aja kalian? Gitu-gitu?" tanya Renata blak-blakan.
"Ih anjir! Ni anak masih perawan ya!" Denata melempar bantal ke layar laptop di depannya.
"Lah dia masih perawan. Elu?" Renata tertawa keras sekali.
"YA MASIH LAH ANJIR!" gantian, sekarang dua orang teman Denata dan satu tunangannya yang kini tertawa keras sekali.
"Ya bagus deh. Inget pesan gue ya pokoknya. Jangan ngelakuin hal yang bikin kalian nyesal." Renata berpesan dengan mimik seriusnya.
"Siap bos."
"Ashiyaap."
Dua jawaban yang serempak namun berbeda. Kalian pasti tau itu jawaban milik siapa masing-masing. Mereka lalu berpamitan sebelum memutus sambungan.
"Gak dia bilangin juga aku tau kali!"
"Tau apa?" Neratha menatap Denata lekat-lekat.
"Tau kalo aku harus jagain kamu." Denata mendekatkan hidungnya hingga bersentuhan dengan hidung Neratha.
"Emang kamu gak mau gitu-gitu?" Neratha tertawa, pertanyaannya sukses menimbulkan semburat merah di wajah Denata.
"Gak!" Denata menutup wajahnya dengan selimut. Hal yang selalu dilakukannya jika sedang malu ketika berada di kamar.
"Ih buka selimutnya!" Neratha menarik-narik selimut itu.
"Enggak!"
"Buka!"
"Enggaaaaaaak!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuansa Rasa Padamu
Dla nastolatków"Kamu sayang gak sama aku?" ".." "Sayang, gak sayang, sayang biasa aja, apa sayang banget?" Dia tersenyum. "...yang terakhir." Aku memalingkan wajah.