44. Trouble Maker

1.2K 109 10
                                    

Sore itu pekerjaan cukup padat, setiap orang sibuk di tempatnya masing-masing.
"Aduh masa ketinggalan sih." Denata mencari sebuah dokumen di mejanya tapi tidak menemukannya.
"Cari apa den?"
"Berkas laporan bulanan."
"Yang tadi siang?"
"Iya."
"Kan tadi kamu suru balikin ke accounting?"
"Lupa. Tolong telepon suru anterin Tha."
"Iya." Neratha menelepon bagian accounting. Setelah dua puluh menit menunggu Denata gelisah di tempatnya.
"Duh lama banget." Ia melirik jam tangannya lagi.
"Aku turun deh ya. Bentar."
"Gak usah Tha. Kamu duduk aja jangan kemana-mana, aku yang telepon aja." Denata mencegahnya. Ia menelepon, tapi tak ada yang menjawab panggilannya.
"Ini pegawai pada kemana ya. Kok dikacangin." Pikirnya.
"Bentar deh." Neratha beranjak keluar ruangan.
"Tha, jangan!" Denata berteriak dari kursinya.
"Kenapa?" Ia menatap Denata dengan penuh tanda tanya.
"Jangan... Jangan tinggalin aku. Hehe." Denata tertawa kecil di tempatnya.
"Becanda terus sih kamu kerjaannya!" Neratha geleng-geleng kepala melihat sikap tunangannya itu. Ia pergi keluar ruangan, menuju lantai tujuh. Suasana sepi sekali, ia menunggu lift. Tak lama kemudian seorang pria muda berusia sekitar 27 tahun mendekatinya, berdiri di dekatnya. Neratha belum terlalu mengenal semua orang di gedung ini, tapi mungkin semua orang sudah mengenalnya sebagai sekretaris orang penting perusahaan. Neratha melihatnya sekilas dari sudut matanya, kemeja biru, celana dasar, sepatu pantofel, dan tatapan. Iya, tatapan. Pria itu ternyata sedang menatapinya daritadi. Apa ia mengenalnya? Rasanya mereka belum pernah bertemu. Pintu lift terbuka, Neratha masuk ke dalamnya, pria itu juga. Keduanya diam. Tapi firasat Neratha tidak enak. Ia ingin menekan angka 7, tapi pria itu menekan angka 1 terlebih dahulu. Mereka diam beberapa saat, sebelum pria itu mulai mendekat, tangannya menyentuh bokong Neratha dan meremasnya.
"Jangan kurang ajar ya!" Neratha mendorong pria itu kuat-kuat. Tapi pria itu balik menyerang Neratha, menahan tangannya, dan menyudutkannya. Neratha berontak, berusaha menghindari usaha pria ini untuk menciumnya. Tapi usaha itu gagal, pria itu berhasil menciumnya. Neratha masih berontak, cukup sulit usahanya, ruang geraknya terbatas karena rok yang dipakainya. Sampai akhirnya ia berhasil menendang bagian vital pria itu. Tepat saat pintu lift terbuka di lantai 1.
Neratha berlari keluar, air matanya tumpah, banyak karyawan menanyakan keadaannya sepanjang jalan yang ia lewati. Ia berlari mencari toilet.
***
Denata baru saja selesai memarahi pegawai accounting yang lama menyerahkan laporannya. Ia mengambil ponselnya, menghubungi Neratha yang daritadi tidak juga kembali ke ruangan. Ia memutuskan untuk turun, mencari keberadaan Neratha dengan cara termudah: bertanya pada setiap karyawan yang dilaluinya. Sampai akhirnya ia mendapatkan jawaban dari beberapa karyawan yang kebetulan lewat di lantai 1 saat kejadian tadi:

"Saya lihat tadi kearah toilet, Bu. Lagi nangis."

"Tadi habis keluar dari lift langsung lari Bu."

"Ada pria kesakitan di lift Bu, sepertinya terjadi sesuatu."

Denata tidak bisa santai mendengar ini semua, ia segera berjalan cepat menuju toilet.

"Tha, kamu dimana?" Denata mengecek bilik toilet satu persatu. Ia berhenti di pintu paling ujung yang tertutup.

"Tha? Kamu disini?" Tak ada jawaban, lambat laun terdengar suara isakan. Ia yakin itu isakan milik Neratha.

"Tha, buka pintunya!" Tak ada jawaban.

"Tha, kamu kenapa?" Masih tak ada jawaban.
Denata memutuskan mendatangi ruangan keamanan dan meminta rekaman cctv di lift. Matanya terbelalak, ia geram melihat apa yang terjadi pada kekasihnya itu.
***
Sekelompok pria di divisi pemasaran sedang berkumpul dan bersantai.

"Terus terus?" Seorang pria berkumis yang mengenakan kemeja kuning meniupkan asap rokoknya, mendengarkan cerita temannya yang berkemeja biru.

"Ya dia nangis. Hahaha!"

"Gila lu. Sekretaris bos lu gituin. Kalo ketahuan gimana?"
Seorang lagi yang berkemeja merah masih sibuk di depan laptopnya.

"Ya gak bakal ketahuan lah. Malu dong dia kalo cerita. Pokoknya nanti gue ancam." Pemuda berkemeja biru itu menyalakan rokoknya.

"Biar apa diancam?" Tanya pria berkemeja kuning.

"Biar bisa gue eksploitasi tiap hari! Sayang body sebagus itu kalo dilewatin! Hahaha!"

"Bagi-bagi donk."

"Iya jangan lu makan sendiri."
Mereka tertawa, menertawakan rencana busuk yang lebih busuk dari apapun juga.

"Brengsek kalian dasar binatang!" Denata menendang pintu yang memang sudah terbuka daritadi. Ia mendekat. Ketiga pria tadi pucat.

"Bu...?"

"Ada yang bisa kami bantu, Bu...?"

Denata tak menjawab, ia tak bicara, tinjunya lah yang berbicara.

"Kalian semua dipecat dengan tidak hormat! Tanpa pesangon! Jangan harap bisa dapat kerja di perusahaan mitra perusahaan ini!"

Ketiga orang yang sudah bonyok itu tidak bergerak lagi, ketiganya tersungkur di lantai tanpa perlawanan. Ruangan tempat terjadinya keributan itu mendadak ramai, ditonton banyak karyawan tapi tak satupun berani menghentikan penganiayaan yang dilakukan oleh bos mereka itu.

"Mereka predator seks! Dengar, ini peringatan bagi semua. Jika kalian melakukan hal yang buruk di perusahaan ini, kalian akan mengalami hal yang sama dengan mereka! Perempuan jangan takut mengadukan tindakan bejad atau bentuk pelecehan apapun. Jangan takut! Akan saya tindak lanjuti! Jangan mau diintimidasi!"

Karyawan riuh bertepuk tangan, Denata pergi meninggalkan ruangan yang sudah hancur lebur dibuatnya itu. Mencari Neratha di toilet tadi tapi tak ditemukannya, Neratha ternyata sudah kembali bekerja di ruangannya.
***

"Udah gapapa?" Denata duduk di samping Neratha yang baru selesai mandi. Tak ada jawaban, Neratha hanya menggeleng pelan.

"Gak mau ngomong kamu kenapa?"

Denata menatapnya dalam jarak dekat, berusaha menemukan tatapan mata Neratha, tapi Neratha mengalihkan pandangannya.

"Aku udah tau semuanya."

Satu kalimat Denata berhasil membuat mata itu menatapnya dengan terkejut.

"Dan aku udah beresin semuanya. Kamu gak usah takut lagi. Aku tau kamu susah jelasinnya. Maafin aku ya sayang, aku gagal jaga kamu. Aku-"  Denata berhenti berucap, Neratha memeluknya erat-erat, ia menangis. Pertama hanya isakan kecil tapi lambat laun berubah menjadi tangisan tersedu-sedu.

"It's okay, Tha. It's okay. Kamu udah aman." Denata mengelus lembut kepala dalam dekapannya itu.

"Sekarang kita tidur ya." Setelah cukup lama, Denata mengajaknya tidur.

Mata itu tak juga terpejam walau dalam pelukan.

"Kenapa?" Denata mengelus wajah di depannya. Mereka saling tatap.

Masih tak ada jawaban. Neratha hanya menatap Denata. Tak lama kemudian tangannya mengelus bibir Denata.

"Kamu mau?" Satu pertanyaan itu dibalas anggukan kecil oleh Neratha.

"Sebenernya aku mau ngelakuin ini daritadi buat bersihin bibir kamu, tapi takut kamu gak mau." Denata tertawa geli. Neratha tak menjawab, hanya menatap Denata dengan tatapan tajam.

"Pejam." Perintahnya, setelahnya ia langsung melumat bibir Neratha.

Neratha hanya diam menikmatinya, setelah cukup lama ia baru membalasnya.

"Udah?" Denata tersenyum melihat Neratha menarik jarak karena kehabisan napas.

"Lagi." Neratha menatapnya.

"Akhirnya ngomong juga. Tau gitu daritadi aja pas di kantor diciumnya biar bisa ngomong."

Denata tertawa lagi, Neratha tak menjawab. Ia mencubit perut Denata cukup kuat lalu melumat bibirnya.

"Mmh!" Denata kesakitan karena perutnya dicubit.

***
























Nuansa Rasa PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang